Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengadili sepatu mimi

Mimi lidyawati yang melemparkan sepatunya ke arah hakim abdul razak, diadili karena melakukan contempt of court. dijaring dengan pasal 207 kuhp. belum ada uu-coc. pelanggaran terus meningkat.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIMI Lidyawati, 37 tahun, pekan pekan ini membuat sejarah sebagai orang pertama yang diadili dengan tuduhan telah menghina martabat pengadilan (contempt of court). Wanita itu dituduh mencemarkan lembaga terhormat tersebut karena nekat melemparkan sepatunya kepada hakim yang lagi bersidang. Pada 8 Agustus 1987, Mimi menggemparkan dunia peradilan. Hanya gara-gara kecewa atas vonis Hakim Abdul Razak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mimi mencopot sepatunya dan melemparkannya ke arah hakim. Tindakan Mimi itu semakin meramaikan perbincangan masalah contempt of court (COC), yang sudah diperdebatkan pakar-pakar hukum sejak akhir 1985. Sebagian pakar hukum, ketika itu, menghendaki agar perundang-undangan pidana dilengkapi pasal COC, yang sangat dikenal di negara-negara Anglo Saxon. Sementara itu, ahli-ahli hukum lainnya beranggapan bahwa pasal tersebut tak diperlukan karena KUHP telah mengatur sanksi hukum untuk semua tindakan yang tak patut dilakukan di pengadilan. Perdebatan ilmiah itu muncul ke permukaan menyusul berbagai insiden dalam perkara subversi Tanjungpriok dan pengeboman BCA. Dalam sidang subversi A.M. Fatwa, misalnya, peradilan merasa tersinggung karena tiba-tiba tim pengacara meninggalkan sidang. Sementara itu, pada persidangan H.R. Dharsono, pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution menginterupsi hakim ketika membacakan vonisnya. Pembuat undang-undang rupanya lebih cenderung kepada pendapat pertama. Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung 1985, tercantum pentingnya undang-undang COC demi terjaganya martabat lembaga peradilan. Ternyata, sampai kini undang-undang COC tak kunjung lahir. Sementara itu, penghinaan ataupun penyerangan terhadap hakim malah semakin sering dilakukan pencari keadilan. Ada pencari keadilan yang merusakkan pengadilan, menuduh hakim makan suap, bahkan mengeroyok hakim. Klimaks dari semua penghinaan terhadap peradilan itu memang kasus sepatu Mimi. Ketika Hakim Abdul Razak selesai membacakan vonisnya terhadap Nyonya Nani, 8 Agustus 1987, tiba-tiba Mimi melayangkan sepatu sandal hitam bertumit tinggi ke arah hakim itu. Untung, Abdul Razak bisa mengelak. Tapi palu hakim yang terletak d meja sidang terpental kena sepatu tersebut. Nyonya Mimi rupanya tak puas atas vonis hakim yang hanya menghukum Nani 10 bulan penjara karena penggelapan. Sebab, Mimi, yang mengaku ditipu Nani Rp76 juta, merasa telah memberi suap kepada hakim Rp2,5 juta agar Nani dihukum berat. Sebab itu, setelah sepatunya nyasar, Mimi masih mencoba mendekati meja hakim. Petugas keamanan segera memegang wanita yang sedang kalap itu. Mimi, yang belum puas, malah berteriak histeris, "Hakim tidak adil. Hakim menipu saya. Hakim sudah makan uang saya." Menurut Mimi, yang mengaku belum pernah menikah itu, ia menyerahkan uang suap di ruang kerja Abdul Razak 4 Agustus 1987. Uang itu, katanya, atas permintaan Razak, langsung dimasukkannya ke laci meja, hakim itu. Ternyata, katanya, Razak ingkar janji dan hanya memvonis Nani dengan hukuman ringan. Hakim Abdul Razak, yang kini Ketua Pengadilan Negeri Slawi, Jawa Tengah, membantah tuduhan tersebut. Saya berani sumpah, tak pernah menerima duit dari dia maupun terdakwa sesen pun," ujarnya. Hakim itu hanya mengaku pernah dua kali ditemui Mimi di ruang kerjanya. Tapi, katanya, dalam pertemuan itu Mimi cuma menceritakan keburukan lawannya. Pihak Itjen Departemen Kehakiman, yang memeriksa tuduhan itu, belakangan memang menyatakan Razak tak bersalah. "Isu itu tidak terbukti," kata Humas Pengadilan Jakarta Pusat, Amarullah Salim. Berdasarkan itu, Razak mengadukan Mimi ke polisi. Sementara itu, ketua pengadilan melaporkan Mimi karena telah menghina pengadilan. Pihak kejaksaan ternyata menjaring Mimi dengan pasal 207 KUHP --pasal ini mengancam penjara satu tahun enam bulan bagi siapa saja yang menghina kekuasaan negara. Menurut Jaksa M. Noerdin, pasal itu tepat untuk Mimi, yang telah melakukan COC. "Ia telah menghina lembaga peradilan, yang semestmya dihormati" ujarnya. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, I Gde Sudharta, sependapat bahwa Mimi pantas dijaring pasal 207 KUHP. "Karena pasal COC belum ada, maka pasal 207 KUHP-lah yang diterapkan," katanya. Seharusnya, kata Sudharta, Mimi menempuh upaya banding jika tak puas atas putusan hakim. Dan soal uang itu, "kan bisa dilaporkan kepada atasan si hakim," ucap Sudharta. Mimi sendiri mengaku tak bermaksud menghina pengadilan. Tindakannya itu, katanya, semata-mata terdorong emosi karena tak menduga Razak memvonis ringan. Sebab, sebelumnya ia sudah memenuhi permintaan hakim, uang Rp2,5 juta tadi. Seorang hakim senior di Jakarta memuji pihak kejaksaan, yang berani menggunakan pasal 207 KUHP -- baru kali ini digunakan semenjak dilahirkan seabad yang lalu dalam kasus Mimi. "COC itu sebenarnya sudah ada dalam KUHP, hanya letaknya yang berserakan," kata hakim itu. Karena itu, menurut hakim senior tadi pembuat undang-undang tak perlu membuat undang-undang khusus tentang COC. Tapi cukup merumuskan delik COC pada bab tersendiri di KUHP tentang kejahatan terhadap kekuasaan umum. Bagaimanapun juga, katanya, pasal COC itu penting. "Pasal itu tak hanya sekadar melindungi hakim, tapi juga lembaga peradilan. Hakim 'kan cuma simbol peradilan saja," katanya. Happy S. dan Sidartha P. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus