HARGA kasih sayang seorang ibu asuh kini diuji di pengadilan. Seorang ibu, Siti Djainur, 50 tahun, pekan-pekan ini menuntut ganti rugi Rp54 juta kepada bekas anak asuhnya, Sartidjah, 35 tahun, di Pengadilan Negeri Banjarmasin. Sartidjah dianggap Siti selaku anak angkat tak membalas guna. Setelah si ibu angkat mengasuhnya selama 15 tahun, sehingga meraih gelar sarjana ekonomi, kini si ibu asuh dilupakannya begitu saja. Menurut Siti, ia bertemu pertama kali dengan Sartidjah di sebuah tempat kos di bilangan Tanah Sareal, Jakarta, pada 1971. Ketika itu Siti, yang pegawai Kanwil Depdikbud Banjarmasin, sedang tugas belajar di Pusat Pembinaan Perpustakaan, sedangkan Sartidjah kuliah di tingkat pertama Universitas Trisakti. Sekitar Oktober 1972, setelah tugas belajarnya selesai, Siti bermaksud kembali ke kota asalnya. "Waktu itu, Sartidjah, yang sudah yatim, menangis minta diajak," ujar Siti, ibu empat orang anak lelaki yang kini sudah menjadi sarjana semua. Permintaan itu pun dikabulkan. Sejak itu, Sartidjah diasuh dan tinggal bersama keluarga Siti di Kayu Tangi, Banjarmasin. Asuhan Siti ternyata membuahkan hasil. Pada 1986, Sartidjah meraih gelar sarjana ekonomi dari STIE di kota itu. Bahkan waktu itu Sartidjah sudah bekerja di Kantor Kodya Banjarmasin. Tapi pada Juni tahun itu juga, Sartidjah, dengan alasan sudah mampu mandiri, ingin memisahkan diri dari ibu asuhnya. Siti keberatan. Tapi Sartidjah nekat. Ia minggat. Siti, yang kini tinggal d rumah dinas, menganggap ulah anak asuhnya itu telah melanggar azas kepatutan. Itu sebabnya, ia menggugat ganti rugi Rp54 juta. Jumlah itu, katanya, adalah biaya pemeliharaan dan pendidikan yang telah dikeluarkannya selama 15 tahun mengasuh Sartidjah -- Rp300 ribu per bulan. "Gugatan itu merupakan peringatan bagi para anak angkat supaya tidak begitu saja meninggalkan orangtua yang telah memelihara dan mendidiknya hingga jadi orang," kata pengacara Siti, Idehani. Tapi Sartidjah menilai gugatan itu berlebihan. Menurut wanita kelahiran Riau ini, justru Siti yang memaksanya ikut bersama keluarganya di Banjarmasin. "Waktu itu, saya dianggap pengganti anak gadis Bu Siti yang telah meninggal," ujar Sartidjah, yang kini kos di daerah Kebun Bunga, Banjarmasin. Ia juga membantah dituduh tak membalas budi. Sebab, selama belasan tahun, ia selalu memberikan gajinya kepada ibu angkatnya. Ia, katanya, selalu menyetor sejak honornya di Kantor Kodya, sebesar Rp2.250 pada 1973 sampai Rp 100 ribu lebih pada 1986. Padahal, kalau mau hitung-hitungan, sambungnya, biaya kos di Banjarmasin sekarang hanya Rp15 ribu sampai Rp30 ribu. Sebab itu pula, Sartidjah menganggap gugatan Siti itu bisa merusakkan citra kasih sayang seorang ibu asuh. "Wajar jika ibu angkat seperti itu tak perlu lagi dihormati ataupun disantuni," kata wanita yang masih berstatus nona itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini