TAK mudah rupanya menjadi orang kaya. Orang terkaya di Kota Malang, Jawa Timur, mendiang Han Poo Hok, misalnya, selain meninggalkan harta kekayaan melimpah -- sekitar Rp 60 milyar, atau setara dengan aset perusahaan rokok Bentoel -- juga meninggalkan sengketa warisan yang tak kepalang rumitnya. Padahal, selain harta kekayaan melimpah tadi, mendiang tak meninggalkan istri dan keturunan. Itulah sebabnya, semua pihak yang kini berurusan di Pengadilan Negeri Malang untuk mendapatkan warisan Han Poo Hok tak ada hubungan darah sama sekali dengan mendiang. Hingga pekan ini, Pengadilan Negeri Malang masih memeriksa terdakwa ketiga, Budi Tejamulya, 70 tahun. Budi dituduh bersama-sama Endy Mulya, 50 tahun, dan Bangun Sutrisono, 30 tahun telah memalsukan testamen mendiang. Han Poo Hok, yang selama hayatnya dipanggil "Om", wafat pada 10 April 1985 dalam usia 81 tahun. Ia meninggalkan warisan mulai dari delapan rumah mewah, sebuah gedung bioskop, tiga toko, sejumlah saham, rekening, sampai setumpuk perhiasan dan barang antik yang seluruhnya bernilai lebih dari Rp60 milyar. Tapi, sayangnya, selain istri mendiang sudah lebih dulu meninggal, Si Om juga tak punya keturunan. Dua bulan setelah meninggal, muncullah wasiat si Om yang menggemparkan. Sebuah testamen bertanggal 3 Maret 1984 menyebutkan, semua hartanya diwariskan kepada Budi dan Endy, yang nota bene tak punya hubungan darah dengan si Om. Semasa si Om hidup, Endy sehari-harinya bertugas mengurus bioskop Merdeka, milik mendiang. Sedangkan Budi, yang kini menjadi dosen di FH Unibraw, adalah pengacara mendiang. Kedua orang itu kemudian mengukuhkan testamen lewat penetapan Ketua Pengadilan Malang, ketika itu Roewiyanto, dan selanjutnya disahkan Notaris Hadi. Belakangan beberapa kerabat si Om menuduh kedua orang itu memalsukan testamen tersebut bersama Bangun, yang bertugas sebagai pengetik surat palsu itu. Akibatnya, Bangun, Endy, serta Budi diseret ke meja hijau. Bangun, yang pertama diadili, mengakui pemalsuan itu, dan Februari lalu menerima vonis 3 tahun penjara. Setelah itu, Endy divonis 4 tahun penjara dan kasasi ke Mahkamah Agung. Kini menyusul Budi duduk di kursi pesakitan. Berbeda dengan Bangun, baik Endy maupun Budi membantah telah memalsukan testamen itu. Tapi anehnya, kini proses persidangan Budi terasa berlarut-larut dan lamban. Persidangan yang sudah berjalan lima bulan lebih itu berkali-kali ditunda. Berbeda dengan persidangan perkara Bangun dan Endy, yang hanya memakan waktu sekitar dua bulan. Sebuah sumber menyebutkan bahwa sidang itu tertunda-tunda karena hakim menemukan berbagai kejanggalan dalam perkara tersebut. Bangun, misalnya, ternyata tak bisa mengetik. "Dia baru diajari mengetik sewaktu diperiksa polisi," kata Endy beberapa waktu lalu. Selain itu, ketika kasus tersebut disidik polisi, tiga buah rumah si Om terjual dan rekening mendiang di bank ditarik orang yang semuanya dinilai sekitar Rp700 juta. Sampai kini tak jelas siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya sebagian warisan si Om tersebut. Menurut sumber tersebut, persidangan ketiga terdakwa sesuai dengan skenario seorang kerabat si Om yang merencanakan menguasai semua warisan itu. Skenario itu tersingkap sewaktu Bangun bertemu dengan Budi dan pengacaranya, Mohammad Amin, di Batu (sekitar 20 kilometer dari Malang). Ketika itu Bangun berjanji akan membuka "kisah" sebenarnya, asal dijamin keamanannya. "Sebab, saya diancam akan didor," kata Bangun. Si perancang skenario itu, sebagaimana dibenarkan Pengacara Mohammad Amin, tak lain keponakan istri mendiang, Max Liem, 70 tahun. Liem, setelah tahu Endy dan Budi mengantungi testamen, segera berupaya menjebloskan kedua orang tersebut ke tahanan. Ia, misalnya, konon membujuk Bangun agar membuat pengakuan bahwa testamen itu palsu. Untuk itu, Bangun akan mendapat hadiah sebuah rumah mendiang senilai Rp200 juta. Max Liem membantah keras tuduhan selaku perancang skenario itu. "Saya tidak kenal Bangun. Dan saya sama sekali tak punya kepentingan dengan wasiat itu," ujar Liem. Padahal, pendiri Rotary Club Malang ini, didampingi dua pengawal, rajin mengikuti persidangan kasus pemalsuan testamen itu . Kini Liem sekeluarga tinggal dan mengelola restoran Eropa "Oen" -- sebuah bangunan kuno seluas 300 m2, yang juga milik mendiang. Liem mengaku pernah memohon penetapan waris atas harta peninggalan si Om ke Pengadilan Negeri Surabaya. Permohonan itu ternyata dikabulkan. Itu berarti Liem selaku keponakan istri mendiang berhak atas semua warisan si Om. Tapi kemudian, kata Liem, ia mencabut kembali permohonan itu. "Sebab, saya khawatir, rumah dan restoran ini malah terkena kasus warisan itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini