SELAMA empat tahun terakhir ini, Saib tidak lagi mengolah sawahnya. Warga Desa Semelako di Kabupaten Rejanglebong, Bengkulu, itu malah memilih menjadi buruh tani saja. Seperti yang dialami 21 kepala keluarga tetangganya, Saib memang tak punya pilihan lain. Akibat kekeringan, sawah mereka seluas 82 hektare kini tak bisa diapa-apakan. Anehnya, kekeringan itu tidak melanda seluruh sawah di desa itu. Nyatanya, di antara sawah yang kering kerontang itu, menghampar dua petak sawah seluas 3 ha yang ijo royo-royo. Di sawah yang sekelilingnya dipagari kawat berduri itu air tenang mengalir dari "bendungan" Sungai Air Gelang. Usai mengaliri seluruh sawah, air itu kembali melimpah ke bendungan buatan tadi. Tak ada jalan lain, empat orang di antara petani yang kekeringan itu, termasuk Saib dan Yauman, terpaksa menggugat pemilik sawah eksklusif itu, yang tak lain dari Wali Kota Bengkulu, Achmad Rusli. Mereka tak menuntut uang, tapi ganti rugi sebanyak 64.000 kaleng gabah kering. Menurut keempat warga tersebut, jumlah itu adalah panenan empat tahun yang mestinya mereka dapatkan dari 20 ha sawah mereka. Biasanya dalam setahun sawah bisa dipanen dua kali, masing-masing sebanyak 400 kaleng. Mereka terang-terangan menuding kegagalan panen mereka akibat sawah Pak Wali. Kekeringan di sawah mereka, menurut penggugat, akibat sumber air dari sungai itu dibendung orang-orang Pak Wali hanya untuk mengairi sawah berpagar itu. Sedangkan pembuangan air itu tidak dialirkan lagi dengan siring tersier seperti umumnya persawahan, ke sawah di bawahnya, tapi dikembalikan lagi ke Sungai Air Gelang. Berbagai protes penduduk sebenarnya sudah muncul sejak Wali Kota Achmad Rusli membeli sawah itu pada 1988. Menurut cerita penggugat Yauman, yang sawahnya berdekatan dengan sawah Pak Wali, ia pernah mencoba membuka pintu air bendungan. Akibatnya, tidak hanya ia kena semprot pemilik sawah ketika sedang mudik ke desa kelahirannya itu, tapi juga ditegur melalui sepucuk surat nota dinas. "Diberitahukan kepada Saudara, siring itu adalah siring saya, satu kesatuan dengan sawah yang saya beli itu. Siring itu telah saya tutup, jangan diganggu. Untuk perhatian". Begitu antara lain bunyi surat yang ditulis di atas kertas kop surat Pemda Tingkat I Provinsi Bengkulu. Semua tudingan para penggugat yang masih ada hubungan saudara dengan Wali Kota Achmad Rusli dibantah tergugat. "Sebenarnya mereka menggugat bukan karena kepentingan air. Mereka punya interes politik yang ditunggangi pihak ketiga untuk merusak nama baik saya," kata Achmad. Dalam gugatan yang segera akan disidangkan awal bulan ini memang dilampirkan sebuah surat yang menyebutkan bahwa sanak famili Achmad pernah tersangkut G30S-PKI. Akan halnya soal kekurangan air, Achmad mengelak bahwa hal itu disebabkan oleh bendungannya. Sebelum ada bendungan itu, katanya, penduduk biasa menggunakan air dari Sungai Benang, bukan dari Sungai Air Gelang. Sejak semula, sumber air yang digunakannya berbeda dengan yang dipakai para penggugat. Maka, menurut Achmad, sawah-sawah saudaranya itu, yang kering sejak empat tahun lalu, disebabkan oleh sebab lain. "Sejak semula air Gelang Kecil itu memang dipergunakan khusus untuk mengairi sawah yang saya beli. Saya memang menutupnya karena irigasi itu telah saya beli dan menjadi hak saya," kata Achmad. Bagaimana irigasi yang notabene adalah milik umum bisa dibeli, barangkali akan jadi cerita tersendiri yang menarik di persidangan. Dan lagi bolehkah barang milik umum dikuasai untuk kepentingan pribadi, mengalahkan kepentingan umum pula? G. Sugrahetty Dyan K., Marlis Lubis (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini