RUMAH peninggalan Belanda, yang bertebaran di kotakota besar, ternyata sarat perkara. Di Bandung saja, misalnya, sejak Ateng Wahyudi menjadi wali kota pada 1983, dari 80 kasus rumah peninggalan warga Belanda dulu, baru separuh yang bisa dibereskan. Celakanya, upaya wali kota menyelesaikan sengketa kini malah mendudukkan pejabat itu di kursi terhukum. Kamis dua pekan lalu, buktinya, Pengadilan Negeri Bandung menyalahkan Wali Kota Ateng Wahyudi karena memerintahkan pengosongan rumah peninggalan warga Belanda di Jalan Ciateul 119, Bandung. Sebab, penghuni rumah sengketa itu punya surat izin menghuni (SIM) yang sah. Berdasarkan itu, majelis juga menghukum M.A. Gandawiharja dan Djaja Sembiring Meliala, pihak yang mengosongkan dan membongkar rumah itu hingga rata dengan tanah. Keduanya diharuskan membayar ganti rugi Rp 50 juta kepada si penghuni, keluarga Usman Tanumihardja, yang kini terpaksa berpindah-pindah. Sebagaimana kebanyakan kasus rumah peninggalan Belanda, perkara rumah Ciateul 119 ini juga terhitung sudah berlumut -- sekaligus alot. Rumah itu merupakan bagian dari lima rumah di atas tanah seluas 3.250 m2 di Jalan Ciateul 119-123. Hatta, pada 1938, Nyi Mas Siti Aminah, selaku direktris NV Blomkring, membeli kelima rumah yang beralaskan tanah hak milik barat (eigendom verponding) itu, dari Aloise Gabriel van Dooren. Sejak itu, kelima rumah dan tanah yang kini diperkirakan bernilai Rp 2,25 milyar itu disewa lima keluarga. Dua rumah ditempati keluarga Tanumihardja, sedangkan tiga rumah lainnya masing-masing didiami keluarga Nyonya Chan Lin Ieng, Herman Kurnia, serta Daun Gunawan. Sekitar 1950, Nyi Mas meninggal. Tiga orang anaknya dari perkawinan dengan seorang warga Belanda hijrah ke Belanda. Setelah tanah kelima rumah itu dinasionalisasikan pada 1965, para penghuni kemudian membayar sewa ke agraria setempat. Pada 30 Maret 1983, Usman Tanumihardja, yang menghuni rumah nomor 119, misalnya, memperoleh SIM dari Dinas Perumahan Bandung. Sebagai penghuni lama, yang berdasarkan ketentuan bisa diprioritaskan, Usman memohon sertifikat. Sertifikat itu tak kunjung muncul, yang datang malah klaim dari M.A. Gandawiharja dan tujuh saudaranya. Ganda bersaudara mengaku ahli waris Nyi Mas, merasa lebih berhak atas tanah kelima rumah itu. Belakangan, pada April 1988, mereka diakui agraria sebagai pemilik tanah itu. Sementara itu, pada Maret 1988, Dinas Perumahan mencabut SIM Usman. Setelah itu, sesuai dengan perintah Wali Kota, pada 25 Februari 1991, kelima rumah tadi dikosongkan secara paksa oleh Dinas Perumahan. Esoknya, kelima rumah itu diserahkan Ganda kepada Djaja Sembiring Meliala. Rupanya, Ganda, pada April 1990, telah menjual rumah itu kepada Djaja seharga Rp 100 juta. Esoknya lagi, Djaja meratakan kelima rumah itu dengan tanah. Tentu saja para penghuni tak menerima. Mereka kemudian memperkarakan soal itu. Namun, gugatan Nyonya Chan, Herman, maupun Daun dikalahkan pengadilan. Menariknya, gugatan Usman, berbeda dengan gugatan rekan-rekannya, Kamis dua pekan lalu itu, dimenangkan hakim. Menurut majelis, Ganda tak berhak atas tanah dan rumah itu. Sebab, kata Hakim Eko Wardoyo, tanah tersebut milik NV Blomkring, bukan punya Nyi Mas. Karena itu, majelis juga menganggap jual-beli antara Ganda dan Djaja tidak sah. Alhasil, keputusan pengosongan dari Wali Kota dan pencabutan SIM oleh Dinas Perumahan pun dinyatakan tak berkekuatan hukum. Keruan saja, pihak Djaja naik banding. "Selaku pembeli yang beritikad baik, seharusnya kami dilindungi. Seharusnya penjual tanah yang dihukum," kata pengacara Djaja, Yufendi Yuhiandi. Sayang, Ganda bersaudara kini entah berada di mana. Sementara itu, Wali Kota Ateng Wahyudi, yang terkena bumerang, menyatakan akan banding. "Kami tidak merasa bersalah. Dasar tindakannya jelas, berdasarkan hukum. Dengan banding akan terbukti nanti siapa yang benar," kata Ateng kepada Sri Pudyastuti R. dari TEMPO. Happy S. dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini