GEBRAKAN Gubernur Wiyogo, agaknya, mulai terbentur pada bangunan tambahan Blok B, Pasar Tanah Abang, Jakarta. Perintah bongkar yang sudah mulai dilakukan terhadap lantai dasar Blok A bagian lain yang mesti dibongkar -- sejak 26 November, sampai pekan lalu, belum merambat ke Blok B tambahan itu. Bahkan Senin pekan lalu, pada bangunan tambahan yang belum selesai itu tertempel sebuah pengumuman. Isi pengumuman menyatakan bangunan itu sedang dalam perkara, dan karenanya tidak bisa dilakukan tindakan hukum kecuali dengan perintah pengadilan. Padahal, menurut instruksi gubernur Jakarta nomor 286, tanggal 21 November -- sebagai tindak lanjut pelaksanaan keputusan gubernur tanggal 18 November 1987 -- disebutkan, perintah bongkar itu harus dilakukan selambatnya satu minggu setelah tanggal instruksi itu dikeluarkan. Bahkan dinyatakan pula, bila dalam batas waktu itu pembongkaran belum dilaksanakan, Pemda DKI sendiri akan melakukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Banyak pedagang yang bersorak terhadap instruksi gubernur itu. Tapi ternyata ada juga yang melakukan protes. Bahkan 34 calon pemilik kios blok B tambahan itu, yang mengaku mewakili 100 orang lainnya, berbondong-bondong ke gedung DPR, Sabtu pekan lalu. Kepada para wakil rakyat di sana, mereka mengeluh entang rencana pembongkaran itu. Keputusan pembongkaran itu terburu-buru," kata Pengacara O.C. Kaligis, membacakan keluhan para calon pembeli itu, di depan enam orang anggota FKP. Alasan pembongkaran pun, katanya, terlalu bersifat teknis. Karena itu, ia meminta agar pembangunan kios-kios di Blok B diteruskan. Menurut Kaligis, para pedagang itu sebelumnya sudah membayar uang muka untuk membeli kios di bangunan tersebut. Mereka bersedia membayar uang muka lantaran adanya izin prinsip yang diperoleh PT Graha Saba Kencana Sakti (GSKS) dari Gubernur Soeprapto -- lewat SK No. 23327 tanggal 7 September 1987. Di samping itu, juga sudah ada persetujuan antara PD Pasar Jaya dan Gubernur DKI Jakarta, dan gambar Usul Tata Letak Bangunan perluasan Pasar Tanah Abang. Bukti izin prinsip tersebut, tutur Kaligis, menunjukkan adanya izin sah. Karena itu, keputusan pembongkaran jelas bertentangan. "Kalau setiap pergantian gubernur kebijaksanaan juga berubah, di mana kepastian hukumnya?" kata pengacara itu. Pembangunan kompleks pertokoan berlantai tiga di Blok B itu, sebenarnya, baru dimulai dengan pemancangan tiang beton dan penggalian fondasi, ketika Wiyogo Atmodarminto melakukan inspeksi mendadak ke lokasi itu (TEMPO, 28 November 1987). Gubernur DKI Jakarta yang baru dilantik awal Oktober lalu itu ternyata menemukan berbagai ketidakberesan. Selain pada bangunan tambahan Blok B itu, juga bangunan tambahan di Blok A, yang hampir rampung. "Gedung itu didirikan tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB)," kata Wiyogo, dalam jumpa pers, ketika itu. Sebuah Tim Peneliti yang diketuai Wagub Bun Yamin Ramto meneliti kedua bangunan dimaksud selama l0 hari. Ternyata, bangunan tambahan itu bukan hanya tak memenuhi persyaratan administrasi, melainkan juga teknis. Baik dari segi sirkulasi udara maupun keamanan bila terjadi kebakaran. Pihak yang langsung terkena oleh instruksi gubernur itu tentu saja developer-nya, GSKS. Untuk biaya prasarana pemberian izin penataan perpetakan saja, GSKS, yang membangun gedung tambahan di Blok B, pernah membayar Rp 57 juta lebih. Dengan sejumlah pengeluaran yang lain, GSKS akan membangun 140 buah kios dengan ukuran 2 X 2 meter, dengan harga jual bisa sampai Rp 30 juta per buah. Selain developer, ternyata sejumlah pedagang ikut resah. Pedagang yang pergi ke DPR itu, rupanya, sudah membayar uang muka 50% dari harga kios di Bangunan Tambahan Blok B. "Selama ini saya masih menyewa, 'kan ingin juga punya kios sendiri," kata Arifin, 30 tahun. Pedagang pakaian jadi itu mengaku sudah membayar Rp 7 juta guna pembelian sebuah kios. Malah, bila kios jadi, mereka pun bermaksud mengembangkan usaha. Soalnya, usaha di Pasar Tanah Abang itu cukup subur. Tak heran kalau kebanyakan dari mereka bersemangat membeli dua kios sekaligus. Contohnya, pedagang yang bernama Chai Yun Hai, 28 tahun. Ia sudah membayar Rp 14,7 juta sebagai uang muka pembelian dua buah kios di lokasi itu. Maka, memang bisa dipahami bila kelompok pedagang ini memanggil Kaligis. Dan pengacara itu, selain menggiring kliennya ke DPR, juga membawa perkara itu ke Pengadilan Jakarta Barat, menggugat developer sekaligus gubernur. Adakah dengan gugatan itu Gubernur Wiyogo akan mundur dari putusannya? Agaknya Wiyogo akan tetap berpegang teguh pada keputusannya. Pihak DKI, seperti pernah ditegaskan Wakil Gubernur Bun Yamin Ramto, menganggap izin prinsip seperti yang dimiliki tambahan Blok B itu bukan berarti boleh langsung membangun. Artinya, untuk membangun tetap harus ber-IMB. Denan kata lain, izin prinsip belum punya kekuatan hukum. "Belum ada ikatan apa-apa," kata Bun Yamin Ramto dua pekan lalu. Menurut Bun Yamin Ramto, izin prinsip diberikan sebelum kegiatan pembangunan dilakukan. Itu berarti pada prinsipnya pemerintah setuju atas rencana si developer. Asal saja, persyaratan membangunnya dipenuhi. Antara lain, penyelesaian soal tanah, perencanaan pemetakan, dan IMB itu. Gugatan para pedagang itu, menurut Humas DKI Jakarta, Soedarsin, kalau ditujukan pada developer-nya wajar saja. Tapi, kalau pada Gubernur Wiyogo, tentu tak beralasan. "Pak Wiyogo 'kan mau meluruskan aturan yang tak ditaati developer," kata Soedarsin. Happy Sulistyadi, Linda Djalil, dan Ahmadie Thaha (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini