LEMBAGA praperadilan, yang memberi wewenang kepada hakim untuk mengontrol instansi penyidik dan penuntut, kembali diuji. Kali ini, bukan karena sangat kecilnya jumlah permohonan praperadilan yang dikabulkan hakim. Tapi ternyata perkara yang sudah diputus lembaga praperadilan realisasinya sering berjalan seret. Contohnya, pelaksanaan putusan praperadilan yang dimohonkan Zainal Effendy, Dirut PT Nila Kandi, baru-baru ini. Awal Oktober lalu, Zainal Effendy, 59 tahun, mempraperadilankan Polsek Pulogadung, Polres Jakarta Timur, dan Polda Metro Jaya, ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pasalnya, Zainal melaporkan tindak pidana pemerasan dengan kekerasan yang dialaminya pada tanggal 5 Oktober 1985, ke Polsek Pulogadung. Namun, "Dua tahun lebih perkara itu tak tentu nasibnya," ujar Zainal. Apalagi Zainal menyaksikan pelakunya sama sekali tak ditahan. Ketika perkara itu diproses polisi, Zainal selalu menanyakan perkembangannya. Pernah diperoleh kabar, berkas perkaranya dilimpahkan ke Polda Metro Jaya guna pengembangan penyidikan. Selanjutnya, Polda mengirim perkara itu ke kejaksaan. Tapi, instansi penuntut itu mengembalikan berkas, dan meminta penyidikan disempurnakan. Setelah pengembalian tanggal 18 September 1986 itulah proses perkaranya tak lagi jelas. Zainal pun berkesimpulan, penyidikan dihentikan. Itu sebabnya, ia meminta polisi melanjutkan penyidikan tersebut. Ternyata, Hakim Ishak Rachim, lewat putusan praperadilannya tanggal 26 Oktober lalu, mengabulkan permintaan Zainal. Putusan itu juga memerintahkan Polda Metro Jaya melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan dalam waktu 14 hari. Namun, hingga pekan lalu, belum ada tanda-tanda dilaksanakannya putusan praperadilan, yang telah berkekuatan tetap sejak awal bulan lalu itu. "Saya sudah menanyakan pada kejaksaan, memang perkara itu belum dikirim lagi," kata Zainal Effendy. Lantas, upaya apa yang bisa ditempuh agar putusan tersebut dilaksanakan? KUHAP ternyata belum mengatur soal itu. Beberapa praktikus hukum ada yang berpendapat, sebaiknya dilakukan lewat teguran secara perdata. Atau, yang dirugikan berkirim surat pada atasan dari pejabat yang seharusnya melaksanakan putusan itu. Zainal agaknya menempuh kedua cara di atas. Atas saran pengacaranya, Syafidan Yasrin, ia segera berkirim surat pada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur agar menegur pihak Polda. Seorang hakim di Jakarta menganggap upaya dengan pendekatan acara perdata itu, "bisa njelimet nantinya." Hakim ini lebih setuju pada cara Zainal, yang juga melaporkan persoalan itu ke Irjen Polri. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Waluyo Sejati, agaknya lebih memilih cara administratif antar-instansi. Sedianya pihak pengadilan akan mengirim surat ke Kapolda, dengan tembusan ke Kapolri. "Mudah-mudahan saja termohon mau melaksanakan bunyi putusan praperadilan itu," kata Waluyo Sejati. Cara yang ditempuh Waluyo itu, menurut Ketua Muda Bidang Mahkamah Agung, Adi Andojo Soetjipto, merupakan suatu perkembangan baru. "Soal boleh-tidaknya, 'kan tak ada larangannya," kata Adi Andojo. Mungkin ada benarnya, lantaran dengan adanya upaya semacam itu akan bertambah perbendaharaan bagi praperadilan sebagai lembaga yang menjamin hak asasi pesakitan, juga korban kejahatan. Menurut sebuah sumber TEMPO, seharusnya polisi dengan sendirinya menyempurnakan penyidikan atas perkara itu. Keharusan itu tersurat pada pasal 110 dan 138 KUHAP. Artinya, tanpa perlu ditegur lagi, kendati pihak penuntut punya hak untuk mcnegurnya. Kalaupun penyidikan tambahan itu berhenti, "Polisi seharusnya memberi kabar agar penuntut bisa mengambil sikap: mengesampingkan perkara, melanjutkan, atau mau menghentikan penuntutannya," kata sumber itu. Tapi, bagaimana kalau polisi tak juga mau mematuhi putusan itu? "Ya, kami ndak bisa apa-apa lagi," kata Waluyo Sejati. Itu tak berlebihan, karena soal sanksi ataupun upaya paksa lainnya memang tak diatur dalam KUHAP. Humas Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Sarimoen, berpendapat jika Zainal atau termohon lainnya merasa dirugikan karena polisi tak menjalankan keputusan praperadilan, ia bisa menuntut ganti rugi secara perdata. Nasib yang dialami Zainal juga dialami Mahyudin, 30 tahun, di Sumatera Utara. Sopir bis yang masih lajang itu, gara-gara berkelahi, ditahan Polsek Panyabungan melebihi batas waktu yang ditentukan KUHAP. Sudah dua tahun lebih, Mahyudin memenangkan praperadilannya. Tapi ganti rugi, akibat penahanan yang melebihi batas waktu itu, sebanyak hanya delapan kali Rp 4 ribu per satu hari penahanan -- ia ditahan selama 8 hari -- belum juga diterima. Kadispen Polda Sum-Ut, Letkol Yusuf Umar, mengatakan ganti rugi buat Mahyuddin tak bisa dilaksanakan karena belum adanya pengaturan tata cara pelaksanaannya. Padahal, soal ganti rugi sudah masuk dalam PP No. 27 tahun 1983. Kemudian dipertegas oleh Menteri Keuangan dengan keputusan tanggal 31 Desember 1983. Tapi, "Isinya masih bersifat umum," kata Ketua Pegadilan Negeri Medan, Suharto. Sebenarnya, pelaksanaan putusan praperadilan yang menyangkut ganti rugi akibat penahanan tidak sah pernah dilakukan untuk pertama kalinya di Jakarta. Sekitar Mei tahun silam, Sugeng -- anggota Satpam Kantor Inspeksi Pajak Jakarta Timur Dua -- memenangkan praperadilan akibat ditahan selama 4 hari di Polsek Kramat Jati. Pihak polisi diputus membayar ganti rugi Rp 200 ribu. Pelaksanaan pembayarannya, melalui Kantor Perbendaharaan Negara (KPN). Nah, kalau sudah ada kasus sebelumnya, mengapa anti rugi Mahyudin tidak bisa segera dilaksanakan? Soal pelaksanaan putusan praperadilan, barangkali, bukan sekadar adanya lubang pada perundang-undangannya. Tapi mungkin juga bergantung pada faktor pelaksananya itu. Jika merujuk kembali pada jiwa dan semangat KUHAP. Supaya jangan sampai lembaga praperadilan -- yang kerap kali menyoroti tindakan polisl atau jaksa -- itu telanjur disebut "macan kertas" yang krisis wibawa. Happy Sulistyadi (Jakarta) dan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini