HAK waris asuransi kecelakaan lalu lintas, ternyata tak bisa diperoleh begitu saja oleh setiap famili almarhum. Mereka yang berhak atas santunan itu kalau tidak janda atau duda dan anak-anaknya, ya, hanya pihak orangtua almarhum. Hubungan saudara, sekalipun sekandung, ternyata tak masuk hitungan sebagai ahli waris dalam peraturan yang berlaku. Dan inilah yang terjadi pada Soeganda Priyatna -- bersama empat saudaranya yang menggugat PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja, cabang Bandung, ke pengadilan akhir September lalu. Soeganda, 44 tahun, kecewa karena klaim atas adiknya, Benny, yang meninggal akibat kecelakaan, ditolak perusahaan asuransi itu. Kecelakaan lalu lintas yang merenggut jiwa Benny, 25 tahun, itu terjadi 11 Desember tahun silam. Ketika peristiwa itu terjadi, Benny sedang mengemudikan Toyota Hiace, dari Bandung menuju Banten. Di daerah Ciloto, Cianjur, mobil Benny ditabrak bis Parahiyangan yang sebelumnya sudah menumbuk beberapa kendaraan lainnya. Benny mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sebagai kakak kandung korban, yang tinggal di Bandung, Soeganda lantas mengurus santunan asuransi atas nama Benny itu. Tapi pihak Jasa Raharja Bandung menolak pembayarannya. Dengan alasan, Almarhum Benny tidak mempunyai ahli waris sah. Dasarnya, pasal 12 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1965. PP tersebut hanya mengenal janda/duda atau anak atau orangtua korban sebagai ahli waris. Pihak Soeganda bersaudara tak bisa menerima alasan itu. Bagi mereka, ketentuan hukum perdata tentang warisanlah yang seharusnya diberlakukan. Dalam pasal 856 KUH Perdata memang diakui hak waris sekalian saudara laki dan perempuan si meninggal. Apalagi PP yang didalilkan pihak Jasa Raharja itu lebih rendah tingkatannya ketimbang undang-undang yang berwujud KUH Perdata. Dan ini sesuai dengan pendapat Prof. Komar Kantaatmadja. Menurut guru besar FH Unpad itu, ketentuan waris dari hukum perdata tak bisa lagi dikurangi. Karena itu pula, Soeganda bersaudara menolak biaya penguburan sebesar Rp 50 ribu yang diberikan oleh Jasa Raharja. Lewat kuasanya, Edi Suwardi, mereka menuntut santunan Rp 5 juta. Sebagai perusahaan asuransi, sepatutnya, "Jasa Raharja menjalankan program jaminan sosial, yang menyantuni korban kecelakaan dan keluarganya," kata Soeganda, yang pernah menjadi anggota DPRD Bandung selama 10 tahun itu. Agaknya, pihak Jasa Raharja tetap berpegang pada PP itu. "Si korban terjamin," kata sebuah sumber TEMPO di perusahaan asuransi itu, tapi, "karena tidak punya ahli waris, maka hanya diberikan biaya penguburannya saja." Hal ini pun diatur pasal 10 ayat (2) huruf (d) PP No. 17 dan 18 tahun 1965 sebagai pelaksanaan UU No. 33, 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan UU No. 34/1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Alasan Jasa Raharja di benarkan oleh Dr. Indri Hattary, 53 tahun. Menurut ahli aktuaria terkemuka itu, prinsip ketentuan waris dalam hukum perdata amat berbeda dengan prinsip yang dianut dunia perasuransian. Hukum perdata mengenal hak seseorang sebagai ahli waris, mungkin diperkuat dengan adanya putusan pengadilan, tanpa menilik apakah orang tersebut memerlukan dana yang diinginnya. Sedangkan asuransi menganut prinsip ketergantungan atas kelangsungan hidup dan penghasilan si korban (insurable interest, II). Prinsip ini mengandung makna orang tersebut menderita kerugian akibat meninggalnya si korban. Untuk Indonesia, prinsip itu berlaku bagi anak, istri/suami, atau orangtua si korban, disebut dengan istilah hubungan keluarga langsung (Immediate Members of the Family, IMOF). Di Amerika, IMOF tak berlaku bagi orangtua. Dengan begitu, persoalan klaim santunan asuransi atas nama Almarhum Benny itu bukan berkisar pada hak waris. Namun, "Bisa tidak si penuntut membuktikan bahwa ia memang bergantung 100% pada hidup si korban," ujar Dr. Indra Hattary, Dirut PT Jasa Aktuaria Pensiun dan Asuransi. Happy Sulistyadi, Bachtiar Abdullah, dan Hedy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini