Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Subuh Berdarah di Bengkulu

Haji Ali Basri di Sebelat, Bengkulu Utara, membunuh istrinya, Siti Nurhayati. Kades Ali Nurman ikut dibacok pula. Pasalnya,Basri ingin menjual 100 gram emas yang ditolak istrinya.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Subuh Berdarah di Bengkulu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TAK ada lagi wirid subuh kali ini. Yang ada: perang mulut, sengit lagi. Itu antara Haji Ali Basri, 67 tahun, dan istrinya Hajah Siti Nurhayati, 52 tahun. Ali Basri, yang kini diperiksa Polsek Ketahun, Bengkulu Utara, pagi itu ingin menjual 100 gram emas milik istrinya. Jika barang berharga itu terjual, uangnya, katanya untuk penambah modal usaha. Tapi permintaan itu tak diluluskan istrinya. Sebab, selain perhiasan itu merupakan satu-satunya harta berharga yang dimilikinya, ia juga tak yakin, karena selama ini suaminya tak punya kerja alias nganggur. "Lebih baik aku mati daripada pisah dengan perhiasan ini," teriak istrinya. Sebagai kepala rumah tangga, tantangan itu oleh Pak Haji dianggap merongrong kewibawaannya. Lalu tangan Pak Haji melayanglah ke muka istrinya. Plak-plak. Tinjunya juga "bicara". Bu Haji tentu saja tak kuasa melawan. Ia terhuyung, dan jatuh. Pak Haji rupanya belum puas. Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi, kemudian dihunjam ke tubuh istrinya. Ngeeek. Kata para tetangganya, sampai-sampai ada kotoran keluar dari tubuh Siti Nurhayati. Sementara itu, Upik Kaban gemetar melihat majikannya teraniaya. Pembantu rumah tangga itu masih sempat lari ke rumah Ali Nurman, Kepala Desa Sebelat. Tapi kedatangan Ali -- yang juga adik Siti -- bukannya menenteramkan hati Basri. Kakek bertubuh jangkung dan tampak masih sehat ini tersinggung. "Keributan di rumah ini tak usah dicampuri," kata Basri. Dan matanya tampak makin galak. Ketika mata itu menangkap kelebatan golok yang sedang dipegang cucunya, Dedy, 11 tahun, dengan tangkas ia menyambarnya. Dalam waktu sekejap, Basri yang sudah kalap mengayunkan golok ke arah Ali Nurman. Tapi Ali, yang masih tenang, mengelak. Malah ia berhasil menangkap pergelangan tangan Basri, dan urat nadinya dipijit. Golok lepas. Tapi rupanya setan sudah menguasai ubun-ubunnya. Basri cepat berbalik masuk kamar, dan keluar lagi sembari menimang golok panjang. Diubernya Ali. Dan, crek-crek. Dada kanan Ali terkoyak. Tetapi ia masih sanggup lari menyelamatkan diri. Bahkan ia sempat berteriak memperingatkan kakaknya, Siti, agar lari. Tapi golok di tangan Basri menyabet dia lebih gesit. Seperti punya mata, golok itu berkelebat ke muka Siti. Perempuan itu menjerit panjang. Dan "tingkah" senjata tajam yang biasa digunakan menyembelih kambing itu malah menjadi-jadi: membabat bahu, belikat, leher. Leher perempuan tua itu terputus hanya sedikit yang tinggal kulit penahan kepala. Siti sudah seperti ayam dipotong. Ia terkapar meninggal di tangan suaminya yang sudah 24 tahun serumah. Ali Basri, tukang penambang ponton di kali yang menghubungkan Desa Sebelat dengan Ipuh, pagi itu telah "membalas" budi istrinya. Ia, yang telah terangkat martabatnya karena menikah dengan janda kaya itu -- ya Hajah Siti itu, bahkan diajak naik haji pula -- telah membantainya. Tak ada warga desa yang berani mendekat. Tahu-tahu asap tebal mengepul dari rumah itu. Hati lelaki itu gelap, dan menggiring pikirannya yang mulai tak waras. Untuk menghilangkan bukti, jenazah istrinya ia bakar. Mayat itu ia bungkus dengan kasur. Lalu disiram minyak tanah. Lalu dibakar. Tapi kelebat api yang kian membesar itu segera dicegah. Dan Basri sendiri juga bisa diselamatkan orang yang berduyun-duyun menolong. Ia segera diseret ke kantor polisi. Hanya pemeriksaan terhadap Basri kini malah dianggap lamban. "Kalau mau diperiksa, Pak Basri selalu mengeluh kepalanya pusing," kata polisi. Soal dihinggapi gangguan jiwa, ia belum diperiksa dokter. Di dalam tahanan, ibadat Basri tetap jalan. Ia juga sembahyang Jumat, meski dikawal. Tapi untuk apa Basri mau menjual perhiasan itu ? Konon, uangnya akan diberikan kepada anaknya. Widi Yarmanto (Jakarta) dan Sjaiful A. Ateh (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus