IBARATNYA selesai berkelahi baru ingat silat, lebih kurang begitulah kasus pasangan suamiistri O'ot Thyssen dan Tiur Ida Manurung. Ini kisah lengkapnya. Bermula dari bisnis O'otwTiur dengan Hasan Wahyu, bos PT Stefanco Putra Perkasa, rekanan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tahun 1989 O'ot berhasil mempercepat keluarnya Surat Tanda Daftar Rekanan (STDR) atas nama perusahaan Hasan, hingga mulus mengikuti tender projek senilai Rp 500 juta dari pemerintah daerah ini. Mereka lalu berkongsi mendirikan dua perusahaan kontraktor. Sebagai modal awal, O'ot menjual perusahaannya, PT Daya Tunas Mekar Wangi, kepada Hasan. Mereka mendapat tiga projek pembangunan pusat kesehatan masyarakat senilai Rp 600 juta. Namun, belum setahun berjalan, mereka cekcok. Hasan menuduh O'ot-Tiur menggelapkan uangnya Rp 60 juta. "Mereka bilang ada beberapa projek dari Pemda DKI. Setelah dicek ternyata projek itu tak ada. STDR-nya juga palsu," kata Anton Dedi Hermanto, pengacara Hasan Wahyu. O'ot dan Tiur lalu digiring ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Tanggal 2 Mei 1990 mereka diperiksa enam polisi, dipimpin Kepala Kesatuan Reserse Ekonomi Letnan Kolonel Sardjono dan Kepala Unit Perbankan Kapten M. Hasyim. Dari perkara yang lebih berbau perdata ketimbang pidana ini lalu muncul berita kurang sedap. Menurut O'ot, keenam penyidik menekan dan memaksanya segera melunasi utang Rp 60 juta kepada Hasan. "Jika tidak, saya dan istri diancam akan ditahan. Tentu kami takut mati konyol," kata O'ot. Mereka memang tak sampai ditahan. Tapi Honda Civic Wonder milik mereka tidak boleh dibawa. Mobil yang, menurut O'ot, berharga Rp 26 juta itu akan digunakan untuk membayar utang kepada Hasan. Oleh seorang pemeriksa, mobil itu dijual Rp 19 juta ke sebuah ruang peraga mobil. O'ot juga mengaku menggadaikan rumah dan meminjam kepada beberapa teman. Hasilnya, uang Rp 22 juta, kembali dibayarkan kepada Hasan lewat pemeriksa tadi. Belum cukup. Seorang pemeriksa, menurut O'ot, juga memboyong Toyota Kijang senilai Rp 19 juta dari garasi di rumahnya. Tanggal 25 April 1991 O'ot-Tiur baru mengadu ke Markas Besar Kepolisian RI. Namun setelah keenam polisi itu diperiksa, Provost ternyata menyatakan, "Tidak cukup bukti untuk menuntut keenam tersangka." Dan Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, waktu itu Mayor Jenderal M.H. Ritonga, kemudian menutup perkara itu. Akhirnya, melalui Pengacara Marsaulina Manurung, Senin dua pekan lalu O'ot dan Tiur melaporkan kasus itu ke Kotak Pos 5000 di Kantor Wakil Presiden Sudharmono. Mereka juga mengadukan keenam polisi tadi ke Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah Jakarta. "Kepalang basah," kata O'ot, yang mengaku sering kena serangan jantung gara-gara kasus ini. Akan halnya Hasyim mengaku tak memaksa atau mengancam mereka. "Kalau mereka melaporkan masalah itu, apa mereka punya saksi dan bukti-bukti?" kata perwira yang sudah 34 tahun jadi polisi itu. Menurut dia, perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Sementara itu Letnan Kolonel Sardjono, yang kini Kepala Bagian Pembinaan Interpol di Markas Besar Kepolisian RI, menyatakan bahwa ia dulu tak terlalu banyak terlibat dalam pemeriksaan O'ot-Tiur. "Kasus itu kan sudah ditutup Kapolda. Di kalangan intern polisi juga kasus itu dianggap sudah selesai," ujarnya. Happy S., Reza Rohadian, Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini