BANYAK jalan "membuat" kekuatan politik di dunia ini. Yang konvensional ditempuh dengan genggaman senjata. Lewat senjata-senjata primitif, seorang pemimpin dari seberang sebuah suku di Afrika -- yang oleh Lucy Mair, seorang antropolog, disebut the immigrant ruler -- menegakkan kekuasaan di "lunak orang". Tapi itu juga bisa dicapai bukan dengan senjata. Maka M. Foster dan Evans-Pritchart, juga para antropolog, melihat fungsi mistik dalam political office. Penguasa suku-suku Afrika, ujar mereka, adalah sumbu (axis) hubungan-hubungan politik masyarakatnya. Mandat seorang penguasa terutama terletak pada kekuatan mistiknya yang berasal dari dunia lain. Sementara senjata dan mistik tetap berperan, sumber-sumber "pembuat" kekuatan politik itu telah semakin kaya dengan perubahan zaman. Dengan modal kharisma diri, seseorang bisa dengan tiba-tiba muncul sebagai "pembuat" kekuatan politik -- terutama, ketika sistem sosial-politik lama sedang anjlok dan janji-janji baru harus dibuat. Pemberontakan para petani di Banten dan berbagai tempat di Jawa awal abad ke-20 adalah manifestasi dari kekuatan-kekuatan politik yang "dibuat" melalui proses itu. Maka, pada masanya, Soekarno yang kharismatik itu pernah merepotkan kaum teknokrat. Di Palembang, 9 November 1954, ia berseru dengan daya komunikasi yang dahsyat tentang sikap anti-asingnya. Tapi ide-ide sosial dan organisasi politik pun telah muncul sebagai "pembuat" kekuatan politik. Tan Malaka, misalnya, sangat percaya pada kekuatan ide dalam perubahan sosial. Dalam konteks Orde Baru, sosok seperti Ali Moertopo -- yang mungkin untuk sebagian besar meminjam gagasan-gagasan kaum PSI di masa lalu -- tampil sebagai "pembuat" kekuatan politik dengan konsep "akselarisasi pembangunan 25 tahun", plus kelompok CSIS-nya. Dan partai-partai yang berdasarkan agama atau bukan adalah lembaga-lembaga paling konvensional "pembuat" jenis kekuatan yang sama. Dari partai-partai itu pula, orang-orang yang secara individual tampak tak berbobot, bermunculan ke pentas politik dengan berpegang kuat-kuat pada jemari partai. Orang-orang semacam ini, seperti biasa, kemudian hilang dari permukaan ketika partai telah melepaskannya. Dilihat dari konteks sejarah politik kaum pribumi Indonesia, terutama di masa pra-Orde Baru, senjata, mistik, daya kharisma individual, ide-ide sosial, dan kemudian partai-partai politik merupakan faktor dan aktor yang mencolok sebagai "pembuat" kekuatan-kekuatan politik. Dengan cara yang sangat bervariasi, elemen-elemen yang melekat pada masing-masing faktor itu terakumulasi dan tertransformasikan menjadi power, langsung atau tidak. Mungkin pada masa Orde Baru, faktor-faktor itu tidaklah terlalu banyak berubah, ketika, misalnya, rumor tentang mistik masih tetap beredar. Apa yang tampak semakin menonjol adalah penambahan faktor "pembuat" kekuatan itu, yang dahulu hanya muncul secara samar-samar: ekonomi. Perkembangan pesat ekonomi Orde Baru telah melahirkan dan di atas itu telah melegitimasikan aktor-aktor baru "pencipta" kekuatan politik: kaum teknokrat, pembuat kebijaksanaan ekonomi. Dan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi, para konglomerat membiak tanpa preseden. Rasanya, hanya pada masa Orde Baru inilah proses akumulasi kapital di kalangan non-negara berlangsung secara tak terbayangkan. Para pemilik modal ini -- setidak-tidaknya secara teoretis -- telah mampu "membuat" kekuatan politik, terutama (sekali lagi, mungkin) melalui "pintu belakang". Maka, kecuali penambahan faktor ekonomi, kehidupan politik Orde Baru adalah kelanjutan dari struktur yang lama. Faktor dan aktor "pembuat" kekuatan-kekuatan politik tidaklah beranjak jauh. Dinamik kehidupan politik terutama ditandai oleh lobi dan negosiasi serta pasang-surut faktor dan aktor, ketika kemampuan partai dan kekuatan kharismatik seseorang merosot, dan kekuatan senjata serta ekonomi "naik panggung". Sumber dan aktor "pembuatan" kekuatan politik hanya sedikit beranjak dari struktur yang lama. Mungkin, terutama jika ingin dilihat secara jernih, dalam gerak politik yang tampaknya lebih "berjalan di tempat" inilah sosok B.J. Habibie menjadi menarik untuk disimak. Ia muncul ke atas panggung politik bukan hanya karena "berkenalan" dengan Pak Harto sejak kanak. (Alangkah banyaknya kenalan Pak Harto sepanjang hidup). Juga tanpa latar belakang massa, ideologis, mitis, dan Islam -- sebelum ICMI. Secara publik, Habibi tidaklah dikenal sebagai tokoh Islam, tapi karena sains. Lewat sains itu Habibi muncul "menjanjikan" sesuatu tentang masyarakat dan masa depan. Ketika, seperti yang dikatakannya sendiri: demiliterisasi semakin menggejala dan perang dingin telah mereda. Dari realitas ini seakan-akan visi-nya melompat ke depan, menjajaki "musuh baru" yang tak lagi relevan dilihat dari pergulatan internal: kekuatan ekonomi Jepang, Amerika, dan Jerman. Sains yang menawarkan industrialisasi, bukan saja dibayangkan akan menjadi dasar kekuatan nasional melawan "musuh", melainkan juga telah mendasari lahirnya tokoh "pembuat" kekuatan politik baru -- yang tak lagi berakar pada sumber-sumber yang lama. Lepas dari persoalan calon Wapres atau bukan -- yang di sini tak terlalu menarik untuk dibicarakan -- kemunculan Habibi ini seakan-akan menandai suatu fase baru dalam dunia politik Indonesia. Ia menyimbolkan sesuatu yang baru: tentang bagaimana, sains dan para sainstis telah tertransformasikan menjadi kekuatan politik -- dalam realitas yang paling kongkret. Apakah ini janji perubahan politik yang lebih kualitatif?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini