Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan memberikan hukuman berupa kurungan penjara terhadap koruptor tak memberikan manfaat untuk negara. Yusril menyampaikan hal itu dalam konteks memberikan penjelasan perihal pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang hasil korupsi itu ke negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat,” kata Yusril dalam keterangan resmi, Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan jika koruptor dimaafkan dan koruptor tersebut menyadari perbuatannya dan mengembalikan uang hasil korupsi itu kepada negara, uang tersebut akan masuk ke APBN dan bisa menyejahterakan rakyat. Setelah dimaafkan, kata Yusril, koruptor yang mengembalikan uang ke negara bisa melanjutkan pekerjaannya kembali dengan cara yang benar. “(Berjanji) tidak akan mengulangi praktek korupsi lagi. Dengan demikian usahanya tidak tutup atau bangkrut,” ujar dia.
Dia memberi contoh apabila koruptor itu berasal dari latar belakang pengusaha. Dengan memberikan maaf koruptor yang telah mengembalikan uang curian ke negara, dia menyebut negara akan tetap dapat pajak. Sektor tenaga kerja juga tidak ada yang terganggu dan pabrik milik pengusaha yang korupsi tadi tidak akan jadi besi tua.
“Jadi penegakan hukum dalam menangani korupsi harus dikaitkan dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan bertujuan hanya untuk memenjarakan pelakunya,” kata dia.
Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, kata Yusril, memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun, termasuk tindak pidana korupsi. Sesuai amanat konstitusi, sebelum memberikan amnesti dan abolisi, Presiden akan meminta pertimbangan DPR. Sebagai pembantu-pembantu beliau, para menteri siap memberikan penjelasan ke DPR jika nanti presiden telah mengirim surat meminta pertimbangan.
"Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir, terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara," kata dia.