Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS hak asasi manusia memang diusut, tapi tak jelas kelanjutannya. Inilah kenyataan yang acap dihadapi Komnas HAM atas sejumlah kasus yang mereka selidiki. Sejak didirikan sekitar 13 tahun silam, komisi ini sudah mengusut sejumlah kasus pelanggaran berat hak asasi manusia. Tapi, apa boleh buat, banyak yang kemudian mentok. Bukan di komisi itu, melainkan di Kejaksaan Agung atau DPR.
Kasus yang hingga kini tak jelas nasibnya itu, antara lain, kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, kasus Wasior, dan kasus Wamena. Semua dokumen kasus itu sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Tapi, hingga kini belum terdengar kelanjutan penyidikan atas kasus tersebut.
Kasus yang kini nasibnya dikhawatirkan sama dengan sebelumnya adalah kasus penghilangan paksa para aktivis sepanjang 1997-1998. Awal bulan lalu, kasus itu sudah diserahkan komisi ini ke Kejaksaan Agung. Penghilangan paksa para aktivis itu diduga melibatkan sejumlah perwira TNI yang kini sudah pensiun atau masih aktif. Komnas merekomendasikan para perwira itu diperiksa.
Menurut Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, akar masalah dari semua ini adalah soal prosedural penanganan kasus hak asasi. Undang-Undang Pengadilan HAM, kata Hakim, tidak mengatur soal penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. ”Ini kelemahan undang-undang itu,” ujarnya. Salah satu akibatnya, tiap lembaga bisa saling melempar tanggung jawab.
Tanda-tanda ”melempar masalah” terjadi beberapa saat setelah Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan mereka atas kasus penghilangan para aktivis. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan, DPR mesti lebih dulu membuat rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Jika rekomendasi itu muncul, baru pihaknya bergerak. Jaksa Agung menunjuk Undang-Undang Pengadilan HAM sebagai alasannya. Pasal 43 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM memang menyebut pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus atas usul DPR. ”Jadi, jangan dipolitisasi seakan-akan kejaksaan enggan memproses kasus itu,” kata Jaksa Agung.
Ini yang dikhawatirkan Komnas HAM. Soalnya, belajar dari pengalaman, sejumlah kasus pelanggaran berat yang masuk DPR ternyata mentok. Contohnya kasus Trisakti, kasus Semanggi I dan Semanggi II. Walau Komnas HAM membuktikan adanya pelanggaran berat dalam peristiwa yang menyebabkan tewasnya sejumlah aktivis mahasiswa itu, toh DPR mengeluarkan rekomendasi berbeda, kasus tersebut bukan masuk kategori pelanggaran berat hak asasi manusia. ”Yang dilakukan DPR memang fatal karena telah memasuki wilayah yudisial,” kata Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Tapi, bekas Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan tak setuju jika Kejaksaan Agung harus menunggu DPR untuk mengusut kasus yang direkomendasikan Komnas. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan HAM Demos ini, sikap Jaksa Agung yang mempermasalahkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc semata menjalankan kebijakan Presiden SBY. Asmara tak percaya adanya perbedaan persepsi prosedural hukum seperti dilontarkan Abdul Hakim. ”Tanpa dukungan politik dari pemerintah, kasus-kasus HAM akan mengambang atau masuk lemari jaksa,” katanya.
Di luar itu, Asmara menunjuk persoalan internal Komnas. Menurut dia, anggota Komnas HAM sekarang seperti kehilangan ”roh” para pendahulunya yang, menurut Asmara, memiliki strong leadership dan strong character. ”Di awalnya, lembaga ini banyak menghadapi kendala. Tapi lantaran anggotanya solid, mereka bisa independen dan konsisten,” ujarnya.
Potret Komnas HAM memang belum cerah. Hasil pengusutan mereka atas kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia belum menunjukkan hasil memuaskan. Kendati demikian, bukan berarti masyarakat tak percaya pada komisi ini. Sepanjang tahun 2005, misalnya, tercatat komisi ini menerima lebih dari 3.000 pengaduan. Dari jumlah itu, 402 di antaranya direkomendasikan untuk diselidiki. Masyarakat rupanya masih berharap besar terhadap lembaga ini.
Maria Hasugian, Fanni Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo