Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri atau PN Surabaya kabulkan gugatan restitusi 71 korban tragedi Kanjuruhan. Meski begitu, hakim hanya mengabulkan total Rp 1,02 miliar dari Rp 17,5 miliar jumlah restitusi yang diinginkan keluarga korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, 73 orang korban tragedi Kanjuruhan mengajukan restitusi senilai Rp 17,5 miliar terhadap tiga orang terpidana dari kepolisian. Namun, pada Kamis, 21 November 2024, PN Surabaya menunda sidang pertama permohonan restitusi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenal Restitusi dalam Hukum
Mengutip laman resmi Kepaniteraan Mahkamah Agung, Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Menurut Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2022, bentuk restitusi yang berikan kepada korban tindak pidana dapat berupa:
1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan
2. Ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana
3. Penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis
Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.
Untuk mengajukan restitusi, pemohon harus memperhatikan persyaratan administratif permohonan yang diatur dalam Pasal 5 Perma. Permohonan restitusi harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan diajukan kepada Ketua/Kepala Pengadilan baik dilakukan secara langsung maupun melalui LPSK, penyidik atau penuntut umum.
Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan Restitusi adalah Pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana, yaitu pengadilan negeri, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan militer, pengadilan militer tinggi dan mahkamah syar’iyah.
Menurut Pasal 9 Perma, permohonan restitusi tidak menghapus hak korban, keluarga, ahli waris dan wali untuk mengajukan gugatan perdata, dalam hal:
1. permohonan Restitusi ditolak karena terdakwa diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum
2. permohonan Restitusi dikabulkan dan terdakwa dihukum, akan tetapi terdapat kerugian yang diderita Korban yang belum dimohonkan Restitusi kepada Pengadilan atau sudah dimohonkan namun tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan.
Permohonan restitusi ini bisa diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), penyidik, penuntut umum, atau oleh korban sendiri. Putusan hakim nantinya memuat pernyataan diterima atau tidaknya restitusi, alasan, serta besaran restitusi.
Jika tidak mengajukan selama proses pengadilan, pemohon bisa juga mengajukan setelah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Permohonan restitusi setelah putusan pengadilan ini diajukan langsung oleh korban atau melalui LPSK, paling lama 90 hari sejak mengetahui telah ada putusan berkekuatan hukum tetap.
Dilansir dari laman fahum.umsu.ac.id, tujuan utama dari restitusi adalah memberikan kompensasi kepada korban tindak pidana atas kerugian yang mereka alami. Tujuan lainnya adalah mengembalikan keadaan korban sebelum menjadi korban tindak pidana, mendorong pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, menegakkan keadilan bagi korban, dan membantu korban dalam pemulihan fisik dan psikologis.
Dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, Divisi Advokasi LBH Surabaya, Jauhar Kurniawan, mengatakan bahwa 73 orang yang mengajukan restitusi itu tak hanya dari keluarga korban meninggal saja, namun juga korban yang saat itu mengalami luka-luka. Adapun pihak yang dimintai restitusi, kata Jauhar, adalah lima terdakwa kasus Kanjuruhan. Sebab ada ruang untuk mengajukan restitusi pada mereka. “Total keseluruhan restitusi yang kami minta, sesuai hitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebanyak Rp 17,5 miliar,” kata Jauhar.
Kukuh S. Wibowo, Hatta Muarabagja, dan Khumar Mahendra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.