Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menuntut aset Summarecon

Tanah pt summarecon agung yang sudah go public,ter nyata sarat dengan perkara.jhony basuki dan robert sudjasmin menuduh pt sa mencaplok tanah milik mereka di kelapa gading permai, jakarta utara.

12 Mei 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Summarecon Agung (SA), yang sahamnya masuk bursa saham pekan ini, ternyata sarat dengan perkara. Perusahaan real estate itu kini diterpa badai tuntutan berbagai pihak, yang mengklaim keabsahan asetnya senilai sekitar Rp 228 milyar. Sedikitnya dua warga, Jhony Basuki dan Robert Sudjasmin, menuding PT SA telah "mencaplok" tanah milik mereka, masing-masing seluas sekitar 34 ha dan 8.320 m2, yang kini dijadikan lokasi real estate Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara. Menurut Jhony Basuki, ia membeli tanah bersertifikat hak milik seluas 88.780 m2 dan berstatus girik seluas 250.650 m2 di lokasi itu pada 1988. Tanah tersebut, katanya, dibelinya dari beberapa orang, antara lain dari pengusaha real estate Siswono Yudohusodo, kini Menteri Perumahan Rakyat. Tapi belakangan, tanah itu "diamankan" lebih dulu oleh PT SA. Bahkan kini, di atas sebagian tanah tersebut sudah dibangun rumah-rumah proyek real estate PT SA. Jhony mengaku sudah berupaya menyelesaikan masalah itu dengan PT SA melalui kuasanya, LKBH Ayodya Justisia pimpinan E.Y. Kanter. Toh PT SA tak kunjung menanggapi tuntutannya. "Tahu-tahu, Summarecon mau go public. Dan tanah klien kami dijadikan asetnya," kata Kanter. Melihat perkembangan itu, Kanter segera melayangkan pengaduan ke Bapepam. Selain itu, ia mengirim surat kepada advokat yang memberikan legal opinion untuk go public-nya PT SA dan perusahaan underwriter-nya. "Perusahaan underwriter itu agaknya akan menunda penyaluran dana dari para pemesan saham Summarecon," tutur Kanter. Lain lagi cerita Robert Sudjasmin, yang juga mengklaim sebagian tanah di lokasi Kelapa Gading Permai. Semula, dokter ini bermaksud mendirikan rumah sakit di atas tanah seluas 8.320 m2 di lokasi itu. Pada 5 Maret 1990, Robert membeli tanah seharga Rp 629 juta itu dari BUPN (Badan Urusan Piutang Negara), melalui Kantor Lelang Negara di Jakarta. Berdasarkan itu, Robert mengantungi sertifikat hak milik 1974, atas nama Abdullah. Tapi sewaktu Robert ke lokasi, PT SA menyatakan bahwa tanah itu termasuk bagian Kelapa Gading Permai, yang luas keseluruhannya 200 ha. "Kalau tanah ini sudah milik orang lain, kan tak mungkin dilelang BUPN," kata kuasa hukum Robert, Yusuf Abdullah. Pertikaian dengan PT SA tak terelakkan lagi, kendati masih dalam proses penyelesaian secara musyawarah. Yang juga membuat Robert tak habis pikir adalah sikap Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara. Kendati sudah diberi biaya pengukuran batas-batas tanah, ternyata instansi itu tak kunjung melakukan pengukuran. Alasannya, "Selesaikan dulu sengketa dengan Summarecon," kata pihak BPN. Sementara itu, sebagian tanah yang diklaim Robert tadi kini sudah "disulap" PT SA menjadi Jalan Kelapa Gading Bouleverd. "Badai" tuntutan terhadap PT SA ternyata tak hanya datang dari warga. Pemda DKI Jakarta juga menuduh developer yang berdiri pada 26 November 1975 itu "seenaknya" saja memasukkan fasilitas umum sebagai asetnya. Fasilitas itu antara lain Gedung Kelapa Gading Sports Club (KGSC) senilai Rp 11,4 milyar, Sekolah dan Akademi Tunas Karya (Rp 811,5 juta), dan Sekolah Tunas Karya (Rp 784,5 juta). Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 5/1974, seharusnya berbagai fasilitas itu menjadi milik Pemda DKI. Untuk sekolah dan akademi itu, misalnya, "Pada akhir tahun lalu, sudah disepakati untuk diserahkan kepada pemda," kata Asisten Sekwilko Bidang Ekbang Wali Kota Jakarta Utara Pandapotan Sinaga. Sedangkan soal gedung sports itu, kata Kabag Ortala J. Pakpahan, masih dibahas di tingkat gubernur. Menghadapi "serangan" itu, kelihatannya Direktur Umum PT SA H. Zaelani Zein tak merasa "jeri". "Semua lokasi tanah yang dituntut itu tidak termasuk aset yang ditawarkan Summarecon di prospektus," kata Zein. Tanah seluas 1,8 ha yang diklaim Jhony, misalnya, terletak di Kelurahan Pegangsaan Dua, bukan di Kelurahan Kelapa Gading. Lagi pula, sambungnya, tanah itu ternyata milik H. Masnadi Badar. Mengenai klaim pihak pemda terhadap gedung sekolah dan akademi, menurut Zein, tak terlalu menjadi masalah. "Kalau memang pemda ingin mengambil alih sekolah itu silakan saja, asalkan termasuk pengelolaannya juga. Jangan pengelolaan tetap pada kami, tapi duitnya ke pemda," lanjut Zein. Yang tak bisa dimengerti PT SA adalah tuntutan pemda terhadap gedung KGSC. Pasalnya, PT SA merasa sudah memenuhi kewajiban, yang ditentukan Permendagri 1974 itu, dengan menyerahkan 40% dari arealnya untuk kepentingan sosial, antara lain puskesmas, tempat ibadah, jalan, saluran air, dan sekolah. Nah, jika gedung olahraga itu tetap diklaim, berarti sumbangan PT SA lebih dari 40%, alias mencapai 57%. Lagi pula, "Kenapa Kelapa Gading Sports Centre diminta, tapi sports centre lain, seperti di Cinere, Pondok Indah, sampai kini tak pernah diserahkan ke pemda," tambah Zein, yang menegaskan bahwa segala harta kekayaan yang dijadikan aset itu sudah diperiksa dan disahkan oleh advokatnya, dan juga Bapepam. Persoalannya, mungkin, sejauh mana advokat dan Bapepam itu bertanggung jawab bila tuntutan terhadap perusahaan itu nanti benar-benar terbukti. Hp.S., G. Sugrahetty D.K., dan Didi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus