KEWAJIBAN pengusaha mengasuransikan karyawannya dalam program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) tak lagi sekadar ketentuan di atas kertas. Setelah belasan pengusaha diadili karena melanggar ketentuan upah minimum, kini giliran sekitar 10 pengusaha diperkarakan gara-gara tak mengikutsertakan pekerjanya dalam program Astek tersebut. Salah seorang dari ke-10 pengusaha itu H.W. Hutahaean, di Pekanbaru, malah bagaikan terpukul dua kali gara-gara kasus itu. Awal April lalu, Direktur Utama PT Hutahaean itu telah divonis pengadilan membayar ganti rugi kepada Perum Astek dalam perkara perdata. Masih belum cukup, dalam waktu dekat ini, Hutahaean akan diseret lagi secara pidana ke pengadilan dalam kasus serupa. Tindakan tegas di bidang tenaga kerja itu sebenarnya bukan sekonyong-konyong. Selama ini, menurut Direktur Utama Perum Astek, Sutopo Yuwono, banyak sekali perusahaan yang tidak mengastekkan pekerjanya. Dari 80 ribu perusahaan di Indonesia, hanya tercatat 26.196 perusahaan -- dengan sekitar 3,6 juta tenaga kerja yang sudah mengikuti program perlindungan sosial bagi pekerjanya. Padahal, sesuai dengan peraturan perundangan, di antaranya PP Nomor 33 Tahun 1977, "Program Astek yang didasari public law itu bersifat wajib, bukan sekadar sukarela," kata Sutopo, didampingi Direktur Operasi dan Kepesertaan Perum Astek, Muslich Nitiamidjaja. Kewajiban ini harus ditaati badan usaha yang mempekerjakan minimum 25 pekerja atau minimum membayar upah untuk seluruh karyawannya Rp 1 juta per bulan. Lagi pula, iuran Astek tersebut relatif rendah. Untuk Astek jenis kecelakaan kerja, hanya 3,5% dari upah karyawan ditanggung perusahaan. Sedangkan jenis tabungan hari tua: 1,5% dari upah ditanggung perusahaan dan 1% ditanggung buruh. Sementara itu, jenis kematian: 0,5% dari upah ditanggung perusahaan. Tapi, itu tadi, karena namanya pengeluaran, banyak pengusaha yang melalaikannya. "Kalau soal paling mendasar begini saja tidak dilaksanakan, ya, kebangetan," ujar Sutopo, yang pernah menjabat Sekjen Departemen Tenaga Kerja. Selama beberapa tahun ini, kata Sutopo, para pelanggar itu memang diberi peringatan. Toh tak mempan juga. Akhirnya, ya, diajukan ke meja hijau. Gelombang pertama yang diseret ke pengadilan adalah tiga pengusaha di Jakarta Timur, yaitu Gunawan Mulyadi bos PT Bintang Terang Purnam, Teddy Liputra pimpinan PT Hercules Aluminium MFG Co. Ltd., dan pengusaha PT Ghenzo Vita Beverage di Jakarta Barat. Berdasar PP Nomor 33 tadi, mereka diancam hukuman 3 bulan penjara atau denda Rp 100 ribu. Ternyata, pengadilan memilih pidana penjara kendati ada alternatif pidana denda. Pada 21 April 1990, Gunawan divonis 1 bulan penjara karena dianggap melanggar ketentuan Astek dan upah minimum. Sementara itu, Teddy kena 15 hari karena kasus Astek. Dua hari kemudian, bos PT Ghenzo dihukum 1 bulan penjara. Begitupun Gunawan dan Teddy menyatakan banding. "Keputusan itu tak adil. Banyak perusahaan lain yang tak masuk Astek, kenapa tak diadili," kata Teddy, pengusaha peralatan rumah tangga yang memiliki 500 pekerja itu. Menurut Teddy, ia sudah melaksanakan berbagai ketentuan Depnaker, antara lain upah minimum Rp 2.100/hari, cuti haid, dan THR. Sebelum 1987, Teddy mengaku sudah memberitahukan kepada para pekerjanya tentang rencana masuk Astek. Tapi waktu itu, katanya, perusahaannya mengalami kerugian sehingga terpaksa merumahkan 150 karyawan. Begitu niat Astek itu akan dilaksanakan, pada 1989, perusahaannya mengalami kebakaran. "Kami pelan-pelan menunggu perusahaan stabil, eh, keburu diadili," tutur Teddy. Setelah rombongan Teddy, empat pengusaha di Jakarta dan dua di Bogor bakal menyusul diadili. "Sampai terbentuknya sikap mental pengusaha bahwa perlindungan tenaga kerja ini harus menjadi satu paket dengan policy manajemen perusahaan," kata Sutopo. Happy S., Diah P. (Jakarta) dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini