PAMOR Perusahan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, yang baru saja merayakan HUT-nya yang ke-78, rusak. Cabang perusahaan itu di Padang dipersalahkan pengadilan karena tak kunjung membayar klaim asuransi kepada ahli waris tertanggung Almarhum M. Nur Dt. Mangkubumi sebesar Rp 35 juta. Berdasarkan itu, Kamis pekan lalu, pengadilan pun menyita tiga buah rumah dan sebuah mobil sedan milik AJB Cabang Padang. Bila sampai 22 Maret mendatang polis itu tak juga dilunasi AJB, ultimatum hakim, maka harta kekayaan AJB itu akan dilelang. "Supaya penggugat merasa aman. Lagi pula, pelaksanaan putusan itu sudah disetujui pengadilan tinggi," kata Ketua Pengadilan Negeri Padang, Djamil Sukasa. Keputusan pengadilan itu tentu saja mengagetkan pihak AJB. "Kami menganggap penyitaan itu tidak sah dan tidak pernah ada," ujar Kepala Cabang AJB Padang, Achmadi. Sebab, perkara itu masih diproses pengadilan banding. Selain itu, katanya, tuntutan klaim asuransi tersebut cuma tipu daya belaka. "Pemegang polis asuransi yang dikatakan telah meninggal itu sebetulnya masih hidup," kata Achmadi tandas. Penipuan? Pada 1 Februari 1987, menurut cerita Achmadi, seseorang bernama Edy Panca Putera mendaftarkan pamannya, M. Nur Dt. Mangkubumi, menjadi nasabah AJB Padang. Nur, ketika itu menandatangani asuransi jiwa dalam jangka waktu 15 tahun dengan uang pertanggungan Rp 35 juta. Sebagai ahli waris ditunjuk Misni Arwati, 30 tahun, dan Ezi Wanita, 16 tahun. Sampai Oktober 1987, Nur sudah tiga kali membayar premi triwulanan, yang berjumlah sekitar Rp 1,34 juta. Pada 1 November 1987, tiba-tiba muncul berita bahwa Nur meninggal dunia dalam usia 50 tahun karena penyakit muntaber. Setelah itu, ahli waris yang ditunjuk tertanggung, ya, Misni dan Ezi itu, mengajukan klaim asuransi tersebut. Ternyata, AJB menolak klaim itu. "Buat apa membayar klaim orang yang masih hidup," ucap Achmadi. Ceritanya, kata Achmadi setelah menerima permohonan klaim tadi, para petugas AJB pun mengecek ke rumah almarhum M. Nur Dt. Mangkubumi di Desa Melayu Parak Laweh, Muara Labuh, sekitar 140 km dari Padang. Sesampainya di tujuan, alangkah kagetnya mereka, karena menemukan "Nur" dalam keadaan segar bugar. Setelah diusut, masih menurut Achmadi, orang tersebut ternyata bernama Suhir, 48 tahun, adik kandung almarhum Nur. Nah, kata Achmadi, Suhir itulah yang pernah dibawa Edy untuk menandatangani perjanjian polis asuransinya. Dengan kata lain, Suhir, yang masih hidup itu, pernah mengaku bernama Nur. Sementara itu, Nur sendiri, yang sehari-harinya petani, sama sekali tak pernah berurusan dengan AJB. Sebab itu, Achmadi mencurigai Edy bermain di balik semua itu. Lagi pula kenapa mesti Misni, yang tak lain istri Edy sendiri, yang ditunjuk menjadi ahli waris Nur. "Selayaknya ahli waris itu kan anak-anak mendiang, setidaknya Edy sendiri selaku keponakannya," tambah Achmadi. Karena buntu, melalui Pengacara Metra Akmal, akhirnya Misni dan Ezi membawa perkara itu ke meja hijau. Bagaimanapun, kata Akmal, AJB harus mematuhi isi perjanjian asuransi tersebut. Sebab, bukti-bukti -- sejak mengurus administrasi permohonan asuransi hingga pembayaran -- menunjukkan tak ada orang lain kecuali M. Nur sebagai pemegang polis itu. Lebih dari itu, sambung Akmal, Suhir juga menyangkal pernah berurusan dengan AJB, apalagi mengakui dirinya sebagai M. Nur. "Sewaktu yang bersangkutan menyerahkan fotokopi KTP, masa petugas asuransi tidak memeriksa potret siapa yang tertera di situ dan wajah siapa yang sedang dihadapi," kata Akmal, yang menganggap dalih AJB tadi sangat menggelikan. Majelis hakim yang diketuai Gusti Made Lingga, pada 14 Juni 1989, ternyata mengabulkan gugatan itu. Dari bukti-bukti dan keterangan saksi, menurut majelis, pemegang polis tersebut memang M. Nur yang sudah wafat itu. Majelis juga menilai, bukti-bukti keadaan sebaliknya yang diajukan AJB tak cukup kuat. "Karena sudah pasti siapa pemegang polisnya, seharusnya klaim asuransi itu dibayarkan," kata Ketua Pengadilan Negeri Padang, Djamil Sukasa. Pihak AJB tak menerima putusan itu, dan naik banding. Tapi karena vonis menentukan uitvoerbaar bij voorraad (bisa dijalankan terlebih dahulu kendati ada pihak yang banding), pengadilan dua kali melayangkan peringatan kepada AJB agar menjalankan putusan itu. Tapi AJB tetap tak bersedia membayar klaim tersebut. Padahal, pengadilan sudah menyarankan agar AJB menitipkan saja uang jaminan sebesar klaim itu (Rp 35 juta) ke pengadilan. Akibatnya, tiga buah rumah AJB di Padang -- masing-masing seluas 70 m2 di atas tanah seluas 150 m2 (a: Rp 10 juta) dan sebuah mobil perusahaan disita pengadilan. Menurut ultimatum pengadilan, jika sampai tanggal 22 Maret 1990 AJB tak juga melunasi gantu rugi tadi, maka barang-barang itu akan dilelang. Namun, AJB agaknya tak berubah sikap. "Kami tidak akan membayar klaim itu sebelum perkaranya berkekuatan hukum tetap. Kalau klaim itu dibayarkan juga, nanti Badan Perwakilan Anggota (BPA) bisa marah," kata Kepala Humas AJB Pusat, Marsyaf Effendi. Sebab, katanya, AJB, yang pada akhir 1989 beraset sekitar Rp 338 milyar, merupakan perusahaan berbadan usaha mutual (semacam go public). Artinya, pemilik perusahaan itu tak lain dari para pemegang polis sendiri, yang wakilnya duduk di BPA -- lembaga tertinggi di AJB. Toh di Padang, Achmadi sudah mengendurkan "otot". Pekan-pekan ini sedianya ia akan menitipkan uang jaminan Rp 35 juta di pengadilan setempat. Tapi ia yakin sekali, sebelum batas waktu tanggal 22 Maret 1990 itu, pengadilan banding pasti akan memutus perkara tersebut dengan kemenangan di pihak AJB. Mudah-mudahan saja. Sebab, kendati memang banyak pemegang polis yang nakal, banyak pula perusahaan asuransi yang sengaja mencari kilah untuk menghindar dari klaim nasabahnya. Happy S., Fachrul Rasyid (Padang), Ardian T.G. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini