KASUS penyadapan telepon semakin berkembang kontroversial. Beberapa waktu lalu, Yasir Rangkuti dibebaskan hakim dari tuduhan mengotaki penyadapan telepon Direktur Bank Tani Nasional, Wibowo Ngaserin. Tapi Senin pekan lalu, ia divonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat 5 bulan penjara karena dianggap terbukti memberikan kesaksian palsu di persidangan kasus pertama tadi. Menurut Hakim Harifin, dari dua keterangan Yasir, yang diucapkan pada sidang 15 Mei 1989 dan 22 Mei 1989, ternyata kesaksian pertamalah yang benar. Dalam kesaksian itu, Yasir 44 tahun, mengaku bahwa "proyek" penyadapan tersebut didalangi dan dibiayai bekas Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo, yang juga salah seorang komisaris Bank Tani. Tapi pada sidang berikutnya Yasir mencabut semua keterangan sebelumnya. Kali ini Yasir mengaku melakukan penyadapan itu atas inisiatifnya sendiri. Tujuannya, katanya, untuk menyingkap kasus perjudian lewat telepon di Bank Tani. Anehnya, di kasus penyadapan telepon itu sendiri, Yasir, pada 12 Desember 1989, divonis bebas majelis hakim pimpinan Nyonya Siti Djuwariah. Artinya, Yasir dianggap "bersih" dari kasus itu. Padahal, dua dari tiga orang oknum Perumtel pelaku penyadapan itu, Yasir, Yohanes V. Tri Sutanto, dan Munadjat, divonis hukuman 20 bulan dan 4 bulan penjara. Mereka mengaku dibayar Yasir untuk melakukan penyadapan itu, dari Januari hingga April 1988, dengan upah Rp 100 ribu setiap bulan. Tak kurang dari 600 buah kaset rekaman pembicaraan Wibowo Ngaserin, dengan sandi "keroncong", sempat mereka serahkan kepada Yasir. Nah, "Bagaimana mungkin orang yang menerima suap dihukum. Tapi yang menyuruh dan memberi suap dibebaskan. Kan aneh?" kata Jaksa M. Daud, yang mengajukan kasasi atas vonis bebas Yasir itu. Sebaliknya, Hakim Siti Djuwariyah malah menganggap persidangan kasus pertama Yasir, yaitu mendalangi penyadapan telepon Wibowo tadi, tak ada hubungannya dengan perkara kesaksian palsu tersebut. "Jangan dikait-kaitkan," ucap Siti. Sementara itu, pengacara Yasir, Dj.L. Aroean, yang menyatakan banding atas vonis itu, juga berpendapat antara kedua kasus itu tak ada hubungan sama sekali. Kasus pertama, penyadapan telepon, katanya, berhubungan dengan perbuatan Yasir di luar sidang. Kasus kedua, keterangan palsu, akibat ulah tersangka ketika menjadi saksi di persidangan. Yang tak tuntas juga adalah soal kebenaran terlibatnya Tjokropranolo, 65 tahun, dalam penyadapan itu. Bekas Gubernur DKI itu baru hadir di sidang setelah tiga kali dipanggil hakim. Di sidang itu, Tjokro pun mencabut keterangannya di berita acara pemeriksaan. Bahkan Tjokro mengaku tak kenal Yasir sama sekali. Hakim Harifin sendiri tak ingin vonisnya itu ditafsirkan seakan-akan Tjokropranolo memang terlibat dalam kasus penyadapan telepon tersebut. "Nama Tjokro disebut-sebut di sidang itu hanya untuk membuktikan kesalahan Yasir dalam kasus penyadapan telepon itu. Tentang penafsiran selanjutnya terserah kepada penilaian masyarakat," kata Harifin. Untuk tuntasnya kasus itu, menurut Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Amarullah Salim, kini tergantung pada upaya jaksa dalam mengembangkan kasus itu. "Kalau memang jaksa mengajukan perkara baru sesuai dengan perkembangan ke pengadilan, akan kami proses," kata Amarullah. Tapi Jaksa M. Daud sebaliknya menganggap masalah itu wewenang polisi selaku penyidik tunggal. "Tergantung apakah penyidik merasa perlu mengembangkan perkara itu atau tidak. Tjokropranolo mau datang ke sidang saja, itu sudah bagus," kata Daud. Hp.S., Sri Pudyastuti, Tommy T. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini