MENUDUH orang makan suap ternyata tak gampang: Dua pengacara Jakarta, M.E. Hutagaol, 32 tahun, dan Paskalis Pieter, 31 tahun, sejak Kamis dua pekan lalu, dijebloskan ke sel Rumah Tahanan (Rutan) Salemba gara-gara menuding jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, A.H. Mangawi, memakan suap Rp 2 juta dari kliennya. Pada Januari silam di persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Mangawi menuduh terdakwa Juara Pasaribu, 25 tahun, melakukan kejahatan narkotik. Menurut Mangawi, Juara pada Agustus 1988 membeli satu kilogram ganja kering Rp 150 ribu dari Simon dan kemudian menjualnya kepada Andri Rp 200 ribu. Ketika itulah, tim pengacara Juara -- Hutagaol dan Pieter --mengajukan eksepsi yang mengejutkan. Dalam eksepsinya, mereka menuduh Jaksa Mangawi, pada Desember 1988, menerima suap Rp 2 juta dari kliennya di Rutan Salemba agar perkara tak sampai pengadilan. Ternyata, Juara tetap diadili. Sebab itu, "Jaksa harus mengembalikan uang itu," kata pengacara tersebut. Jaksa A.H. Mangawi tentu saja berang mendengar tudingan itu. Seusai sidang, ia segera mengadukan Hutagaol dan Pieter ke Polsek Tanjungpriok. "Tuduhan itu fitnah, sama sekali tidak benar," ujar Mangawi (TEMPO, 21 Januari 1989). Tindakan Mangawi itu, belakangan, didukung intansinya. Sebab, Juara -- yang akhirnya divonis 10 tahun penjara -- membantah cerita tentang uang pelicin tadi. Hanya saja, meskipun telah beberapa kali dipanggil, Hutagaol -- yang masih kuliah di FH Universitas Sumatera Utara -- dan Pieter -- lulusan STH Bandung -- tak bersedia menghadap pemeriksa di kejaksaan. Sebab itu, pada awal April lalu, dengan bantuan polisi petugas kejaksaan menjemput kedua pengacara itu di kantor mereka, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Dunia Pemuda, di bilangan Cempaka Putih, Jakarta. Tapi Hutagaol, sembari menggebrak meja, menolak panggilan itu. Akibatnya, ia terpaksa diborgol dan digiring ke kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Di kejaksaan, Hutagaol berjanji akan datang seminggu kemudian bersama Pieter. Toh, sampai empat kali panggilan berikutnya, kedua pengacara itu tak juga muncul. Sebab itu, sekali lagi, dengan bantuan polisi, pada Kamis dua pekan lalu, kejaksaan menciduk mereka. "Mereka jelas-jelas mempersulit proses pemeriksaan. Sebagai pengacara, mereka kan mestinya lebih tahu," kata sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Cukup beralasankah penahanan itu? Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Kadarman, tak bersedia memberikan komentar. Menurut sebuah sumber di kejaksaan di situ, sebetulnya kasus kedua pengacara itu sederhana saja. "Tapi mereka sok bertingkah," kata sumber itu. Tim pembela Hutagaol dan Pieter -- Ronald Simanjuntak dan Sahat Napitupulu -- menganggap penahanan itu tidak berdasar. Sebab, pasal penghinaan yang ditimpakan terhadap kedua pengacara itu, menurut mereka, tak mengharuskan terdakwa ditahan. Lagi pula, "Sebagai pengacara, keduanya tak mungkin melarikan diri," ujar Ronald Simanjuntak. Menurut tim pembela itu, yang dibenarkan Hutagaol dan Pieter, tudingan suap yang dsampaikan sewaktu mereka bertugas selaku pengacara Juara sama sekali tak dimaksudkan untuk menghina Jaksa A.H. Mangawi. "Kami hanya menyampaikan keinginan klien agar uang itu dikembalikan," kata Hutagaol. Sampai kini memang belum jelas siapa yang salah dalam kasus itu. Tapi agaknya penahanan kedua pengacara itu cukup untuk menjadi peringatan bagi para pencari keadilan, termasuk pengacara, untuk hati-hati menuduh hamba hukum -- yang belakangan ini menjadi mode -- makan suap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini