GEREJA itu sedang padat dengan dua ribu jemaah. Mereka memenuhi ruang bawah, berjejal di lantai dua. Bahkan mereka sebagian berdiri di halaman. Minggu itu di Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), Pematangsiantar, memang sedang mengadakan kebaktian jubeleum 80 tahun. Bukan itu saja yang penting. Dalam upacara di awal Oktober lalu itu juga berkhotbah Prof. Dr. Sutan Manahara Hutagalung, 65 tahun. Ia Sekretaris Jenderal Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). Apa ini pertanda rekonsiliasi atau dalam bahasa Bataknya "mardenggan-denggan", antara kedua gereja? "Sekarang banyak orang ketakutan, tapi tak mengadu pada Allah," seru Hutagalung dari mimbar. Ia mengutip nats Lukas, 7 ayat 11-17. Sejenak, pendeta itu melirik. Ia menyapu pandangnya ke seluruh ruang, ke pilar, ke langlt-langit. Ia juga menatap wajah jemaah satu per satu -- seakan mencari wajah yang pernah dikenalnya. "Saya rindu pada orang-orang yang pernah segereja dengan saya," ujar Hutagalung pada TEMPO. Sudah 23 tahun ia berpisah meninggalkan gereja HKBP. Lalu ia mendirikan gereja GKPI, sebagai tandingan. Sebelum ricuh, ia memang tokoh dan pemikir di HKBP. Ketika itu, perselisihan dan pertikaian di HKBP gara-gara menghebatnya saling rebut pengaruh. Kemudian jemaah ikut pula terbelah-belah -- yang kemudian didorong pula oleh berbeda dalam soal adat. Pada Juni dan Oktober 1962, untuk pertama kalinya HKBP mengadakan Sinode Godang, pertemuan akbar. Usai sinode, 22 pendeta malah dipecat. Protes demi protes timbul. Selebaran bertebaran, dan ditambah demonstrasi. Lalu muncul kelompok yang menamai diri Panitia Panindangi Reformasi HKBP. Mereka memutuskan hubungan dengan organisasi induk. Pertengkaran antarpuak meledak. Etnis Toba, Humbang, dan Samosir (dikenal dengan sebutan Tohumsa) berkuasa di HKBP. Namun, orang-orang Silindung (il) yang bermarga Hutagalung, Hutabarat, atau Tobing, justru merasa lebih berhak. Ketegangan memuncak ketika Prof. Dr. Andar Lumbantobing, Rektor (dulu disebut Presiden) Universitas HKBP Nommensen dipecat pengusaha T.D. Pardede. Universitas ini berpusat di Pematangsiantar, dan cabang utamanya di Medan. Api perpecahan kian merebak. Kalangan intelektual merasa digusur oleh para awam yang banyak menyumbang uang buat gereja. Mereka lalu membentuk Dewan Patotahon Gereja HKBP alias dewan keutuhan. Dewan mengajukan usul pada pimpinan HKBP agar personalia Pusat HKBP disempurnakan. Artinya: orang Silindung supaya dilibat. Untuk mendukung usul ini, sekelompok pemuda melakukan Long March Perjalanan Doa 300 km dari Medan ke Tarutung. Namun, di Tarutung, pusat HKBP, pimpinan gereja menolak menerima mereka. Buntutnya? Sejumlah orang lalu mendirikan GKPI, walaupun Andar mengaku tak setuju. "Mendirikan gereja baru tak sesuai dengan dogma dan hukum teologi," katanya -- serupa dengan jawaban Hutagalung. Karena desakan orang-orang yang tak mau mundur itu, akhirnya Andar mau juga jadi bishop untuk memimpin jemaah gereja. Ketua Biro Informasi HKBP, Pendeta T.R. Munthe, bilang, "Perpecahan yang menyebabkan lahirnya GKPI merupakan perpecahan terpelik yang pernah dihadapi lembaga gereja ini." Waktu itu, 13 ribu anggota menyeberang dan 42 gereja dikuasai -- ditambah yang ikut 26 pendeta, 16 penatua, dan 42 guru jemaah yang disebut voorganger. Bahkan, gara-gara kemelut itu, menurut Pendeta H.S. Marpaung, keadaan kian sangat menyedihkan: ada adik-kakak yang sampai sekarang tak bertegur sapa karena berlainan gereja. Dalam pertumbuhannya, GKPI kemudian memang banyak menarik simpati jemaah. Dan tetap tandingan HKBP. Hingga 1986, GKPI sudah punya 762 gereja yang melibat 214 ribu jemaah. Pendeta meningkat jadi 104 orang. Sedang sintua dan guru jemaah masing-masing 4.038 dan 730 orang. Kendati begitu, baru pada 1976 GKPI diterima sebagai anggota DGI (Dewan Gereja-gereja Indonesia, yang sekarang disebut PGI) ketika sidang di Sukabumi. Sebelumnya selalu gagal, lantaran veto HKBP. Setelah menembus ke DGI, GKPI juga mengalahkan HKBP sekali lagi. Yakni pada tahun 1978. T.D. Pardede, yang dianggap melakukan kudeta (1963) di Universitas Nommensen -- lalu jadi Ketua Yayasan dan merangkap Rektor -- ditendang keluar dari kedudukannya. Jadilah perguruan tinggi yang dulu banyak mendapat bantuan dari Jerman Barat itu dikuasai GKPI, waktu itu. Kini berubah. "Saya ingin supaya orang Batak Kristen menghentikan kompetisi negatif," kata Dr. S.A.E. Nababan. Ia adalah Ompui Ephorus (Pimpinan Pusat) HKBP. Lalu ia mengundang Andar Lumbantobing untuk berkhotbah di gerejanya. Walau yang diundang gagal datang, penggantinya, M.S. Hutagalung, muncul ke Siantar. Di Jakarta, khotbah Hutagalung disambut baik oleh PGI. "Itu salah satu upaya rujuk," kata Fridolin Ukur, Sekretaris Umum PGI yang senang berkopiah dan menulis puisi itu. Ia melihat, sudah saatnya kedua gereja orang Batak tersebut akur. Biarpun HKBP mengkhususkan anggotanya orang Batak saja, sedang GKPI membolehkan non-Batak masuk, khotbah dan bacaan Injil mereka tetap dalam bahasa Batak. Perbedaannya hanya pada gelar pemimpinnya saja. HKBP memakai gelar ephorus, sedang GKPI menggunakan bishop. HKBP kini didukung dua juta anggota, berikut dua ribu gereja dan 450 pendeta. Selain dengan GKPI, HKBP juga bermaksud merangkul kembali gereja-gereja yang memisah diri, seperti GMB, GKB, GKPS, dan GKI -- semuanya di Sum-Ut. Laporan Biro Medan dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini