Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menyeruduk Djahari

Djahari, 35, warga desa Tugu, Pandeglang, membunuh badak ujung kulon dengan iming2 Rp 50 juta. Ia pernah di penjara karena kasus yang sama. Beberapa orang lainnya terlibat. Mendapat ancaman hukuman berat.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Menyeruduk Djahari
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SIAPA suka badak? Djahari, barangkali. Sudah dua kali ini dia masuk bui gara-gara badak. Warga Desa Tugu, Pandeglang, Jawa Barat, ini memburu badak dan mengambil culanya. Pemburu binatang langka yang dilindungi itu, awal pekan lalu, ditangkap polisi. Ceritanya bermula dari Nyi Djuwenah, 58 tahun. Ibu dua anak ini, Agustus lalu, menemui Masria, tetangganya. Ia bilang ada seorang "tuan" dari Merak ingin memiliki cula badak. Katanya, "beliau" bersedia membeli dengan harga mahal. Karena itu, Djuwenah minta tolong agar Masria menemui Djahari, 35 tahun, yang pernah berburu badak dua tahun lalu di Cagar Alam Ujung Kulon, Banten. Bila berhasil, begitu menurut pesan, Djahari akan dikasih uang Rp 50 juta. Kemudian Djuwenah mengulurkan uang Rp 50 ribu kepada Masria, untuk diberikan kepada Djahari sebagai uang jalan. Masria lalu menemui Djahari, menyampaikan pesan Djuwenah. Djahari setuju. Lalu ia segera mempersiapkan diri. Antara lain berpuasa dan berpantang. Pendek kata, ia lebih dahulu melakukan tirakat, agar tujuannya tercapai. Bersama kedua rekannya -- Apid dan Sukarya -- ia bertapa di makam Kiai Pakar, yang keramat di daerah itu, selama tujuh hari tujuh malam. Setelah mantap, mereka bertiga berangkat ke Cikeusik Luhur di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. "Saya hanya membawa sepucuk senapan locok dengan peluru timah," kata Djahari pada Riza Sofyat dari TEMPO. Dirinya juga dibekali sebilah golok panjang. Tiga hari mereka berjalan kaki, menyusur jalan setapak dan menerabas semak. Hari keempat krosak-krosak. Itu, seekor badak sedang melintas. "Karena kami puasa itulah, maka baru sehari saja di hutan sudah ketemu badak," ujarnya. Djahari mengangkat locoknya yang sejak semula sudah diisi peluru. Ia membidik, lalu picu ditarik, dor. Si kulit tebal itu rebah. Djahari dan kedua kawannya segera mencopot cula binatang itu, tetapi bangkainya mereka tinggalkan begitu saja. Setelah tujuh hari cula itu disembunyikan di hutan, barulah Djahari memberi tahu Masria, dan segera mengabari Djuwenah. Djuwenah kemudian menengok cula pesanannya itu. Tapi ia menolak memberi uang, karena si "tuan" pemesannya belum datang. Padahal, ia juga tak tahu di mana itu "tuan" tinggal. Karena berhari-hari sang "tuan" tak kunjung nongol, ketiga pemburu liar itu lalu sepakat mencari peminat lain. Tapi ini juga jadi awal petaka menimpa mereka. Bagai tertiup angin, cerita tentang cula segera menyebar dari mulut ke kuping. Rupanya, bermula dari mulut Masria. Kemudian bisikan itu hinggap ke kuping Sukardjo -- seorang guru di Labuhan. Masria berharap Sukardjo bisa mencarikan pembeli. Ternyata, Sukardjo bagai menebar jaring. Ia bercerita ke mana-mana. Agaknya berharap hasil ceritanya itu hinggap pula pada si peminat -- dan ia mendapatkan komisi. Karena itulah ia berjingkrak ketika Hidayat menemuinya, dan menanyakan itu cula. Ia sama sekali tak curiga, mengingat bahwa Hidayat adalah rekannya sesama guru. "Siapa orangnya yang punya cula badak itu? Kebetulan ada orang dari Bogor yang mau membelinya," tanya Hidayat seperti diceritakan oleh Sukardjo. Sukardjo sama sekali tahu bahwa Hidayat sudah melaporkan soal cula itu kepada Kuraesin, yang tiada lain adalah petugas PHPA, Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Arkian, Kuraesin melapor pula kepada Ir. Sudradjat Wiriadinata, Kepala Taman Nasional Cagar Alam Ujung Kulon. Sudradjat segera menghubungi polisi. Dan siasat pun diatur. Mereka membentuk tim gabungan yang akan menyamar dan pura-pura hendak membeli cula. Melalui Sukardjo, janji untuk bertemu dengan para pemburu liar itu diatur. Mereka sepakat melakukan transaksi di rumah menantu Sukardjo di Kampung Sawah, pada 2 Oktober. Dengan mengendarai VW Safari, empat orang "pembeli" itu datang. Dan gampanglah mereka meringkus seluruh komplotan. Hanya Apid dan Sukarya yang lari. Menurut Kapolres Pandeglang, Didi Widayati, perburuan terhadap badak itu bukanlah kejadian pertama. Dua tahun lalu Djahari juga pernah berburu badak. Dan gara-gara menjual cula, ia dijatuhi hukuman 2 tahun penjara Pengadilan Negeri Pandeglang. Oktober tahun lalu ia bebas. Tapi rupanya ia belum kapok. "Habis, saya begitu penasaran lagi mengambil cula, karena dijanjikan upah Rp 50 juta," katanya. Padahal, ia sadar, bila tertangkap lagi akan dihukum dan lebih berat. "Tapi dari mana saya mendapat uang, kalau tidak dengan cara begini?" ujar penganggur itu. Maka, ia pun nekat mengulangl perburuan liarnya, meski usahanya yang pertama dulu ia tak menerima sepeser duit. Ia keburu tertangkap, dan cula badak itu disita. Berbeda dari Djahari yang blak-blakan, Djuwenah memilih bohong. Katanya, ia sungguh-sungguh tak terlibat. Ketika ia memesan cula itu, ia mengaku "hanya ingin memancing saja". Lalu siapa yang dipancing? Ia tak bisa menjawab. Dan ternyata si "tuan" pemesan cula itu adalah karangan Djuwenah belaka. Dan ia membantah memberi uang Rp 50 ribu. Akhirnya, ia menyatakan, uang itu bukan biaya untuk pergi ke Ujung Kulon, melainkan karena Masria minta, untuk biaya sekolah anaknya. Malah Djuwenah ganti menuduh Masria dan Djahari. Dua orang itu, katanya, pernah mengancamnya dengan mengacungkan, golok ketika ia memeriksa cula. "Mereka menyuruh saya bersumpah dengan nama Allah dan Rasul-Nya agar tidak melapor," tutur Djuwenah. Mendengar itu tentu Masria heran. "Saya ini disuruh Djuwenah, dan dijanjikan diberi uang," kata Masria, menangkis. Polisi kini mendapat pekerjaan. "Biar sanksinya berat, mereka tak peduli," keluh Kapolres Didi. Malah diperkirakan pencuri cula itu tidak berdiri sendiri. "Padahal, menurut UU No. 4/1984, ancaman kejahatan ini cukup berat: 20 tahun penjara atau denda Rp 100 juta," kata Kapolwil Banten, Kolonel Pol. Arief Tamil. Yang sedih, Sudradjat. Badak Jawa di Cagar Alam Ujung Kulon -- yang menurut survei tahun lalu cuma 86 ekor -- kini berkurang lagi. Padahal, yang ditembak itu usianya sudah 10-20 tahun, dan culanya sudah tumbuh sekitar 15 senti. Rupanya para pemburu liar sudah benar-benar "berkulit dan bermuka badak".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus