MAHKAMAH Pelayaran, satu-satunya badan peradilan dalam bidang
pelayaran, kantornya hampir selalu sepi. Bahkan kantornya di
bilangan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu, tampak
lengang pada hari-hari setelah musibah menimpa Kapal Tampomas II
di Laut Jawa akhir bulan lalu.
Tapi, bukan berarti di sana tak ada kesibukan. Di lantai II
gedung itu, satu-satunya ruang sidang yang ada, pada hari-hari
tertentu -- biasanya Selasa, Kamis dan Sabtu -- berbagai perkara
cukup menyibukkan para petugas di sana. Buktinya, dari 1972
hingga awal tahun ini, sebanyak 77 perkara telah diputus.
Dan kini masih menunggu berpuluh-puluh perkara lagi, di luar
kasus tenggelamnya Tampomas II yang menurut Menteri Perhubungan
Rusmin Nuryadin di hadapan Komisi V DPR Kamis pekan lalu, akan
diajukan ke Mahkamah Pelayaran (MP dalam waktu dekat ini.
Tak beda dengan ruang sidang pemadilan umum, di kantor MP juga
terdapat meja hijau, kursi untuk tertuduh, tempat duduk hakim
ketua dan anggota-anggotanya. Juga tempat untuk perwira peneliti
& pengusut, yang bertindak sebagai jaksa, dari Direktorat
Perkapalan dan Pelayaran Ditjen Perhubungan Laut. Dan tempat
duduk bagi pembela, yang tak selalu bergelar SH, tapi jelas
orang yang banyak tahu tentang teknis perkapalan maupun
pelayaran.
Namun, berbeda dengan peradilan biasa, MP merupakan
satu-satunya tingkat peradilan di bidang pelayaran. Artinya si
tertuduh harus cukup puas dengan segala keputusan MP, karena
memang tak ada mahkamah yang lebih tinggi untuk naik banding
atau kasasi. "Tapi, mereka yang divonis biasanya cukup puas
dengan keputusan MP," kata Ketua MP, Kapten Tardana Surahardja.
Perkara yang masuk ke MP umumnya kasus kapal tenggelam dan
kandas kemudian tenggelam. Dalam jumlah yang lebih kecil adalah
perkara tabrakan kapal dan kebakaran. Menurut Tardana, dari
perkara-perkara yang telah diputus, kesalahan umumnya adalah
kelebihan muatan atau tak benar dalam pengaturan muatan yang
mengakibatkan kapal tak seimbang dan mudah tenggelam. Yang
diungkapkan MP adalah sebab-sebab kecelakaan dan siapa yang
bertanggung jawab atas kejadian itu.
MP, yang dibentuk berdasarkan Schepen Ordonantie (ordonansi
Kapal-kapal) dan Schepen Verordening (Peraturan Kapal-kapal)
tahun 1935 itu, hanya berwenang menjatuhkan hukuman yang
bersifat administratif belaka. Yang paling ringan berupa teguran
tertulis. Seperti yang pernah dijatuhkan MP terhadap Nakoda
Ahmad Ulung, yang hertanggung jawab atas tenggelamnya KM Deepa
Molek, 1 Oktober 1979 di perairan Pelabuhan Belawan, Medan.
Karena jelek pengaturannya, suatu saat muatan berubah letak,
kapal miring, lalu Deepa Molek pun tenggelam.
Hukuman agak lebih berat dijatuhkan MP, 14 Mei 1980, terhadap
Mualim II Km No. 6 Bineka, Murdonarko (nakodanya sendiri hanya
dihukum "teguran keras tertulis"). Kapal ini bertabrakan
dengan KM Kumala di perairan selat Berhala 16 Maret 1979.
Hukuman yang dijatuhkan kepada mualim berijasah MPB III itu
adalah "pencabutan wewenang berlayar sebagai Mualim II di
kapal-kapal niaga berbendera Indonesia selama 3 bulan."
Kesalahannya lambat mengatur posisi kapal ketika sedang berjaga.
Hukuman paling berat bagi para awak kapal adalah pencabutan
wewenang sesuai dengan ijasah yang dimilikinya selama 2 tahun.
Keputusan serupa ini berlaku sejak terdakwa menyerahkan
ijasahnya kepada Ditjen Perhubungan Laut. Hukuman seberat ini
pernah dijatuhkan terhadap Nakoda KM Jaya Sakti Pelda Theong.
Kapal ini tenggelam 7 Juni 1977 di Laut Sulawesi. Kesalahannya,
kelebihan penumpang. Tapi, hukuman itu dinyatakan gugur, karena
. . . sang nakoda turut tenggelam bersama lebih dari 100
penumpang dan awak kapal.
Limabelas Prosen
MP, menurut Tardana, hanya berwenang mengadili awak kapal
berbendera Indonesia, di kawasan Nusantara maupun di luar
perairan kita. Terhadap kapal asing, wewenang MP terbatas pada
awak kapal yang berkebangsaan Indonesia, jika ada. "Terhadap
awak asing MP hanya berwenang memberi pendapat," tambah Tardana.
Perkara-perkara pelayaran tak jarang juga menjurus pidana maupun
perdata. Kata Tardana, MP tak menutup kemungkinan hal itu
dilanjutkan di Pengadilan Negeri, bila ada pihak yang
menginginkannya. Bahkan, tambah Ketua MP itu, biasanya keputusan
MP dijadikan dasar untuk penuntutan pidana atau gugatan perdata.
Namun, tak semua berkas kasus kecelakaan laut sampai di meja MP.
"Hanya sekitar 10 hingga 15% saja," kata Tardana. Itu pun
biasanya hanya kasus-kasus yang tergolong serius. Yaitu musibah
yang dianggap besar, baik karena kerugiannya, korban jiwa atau
juga dalam hal kesalahan yang dibuat awak kapal. Kasus-kasus
kecil biasanya diselesaikan sendiri oleh pihak perusahaan
pelayaran niaga, sungai dan danau.
Menurut Keppres No. 28/1971, mereka yang diangkat sebagai ketua
maupun anggota MP harus sudah senior, artinya berijasah MPB I
(Mualim Pelayaran Besar I). Tardana sendiri mengantungi ijasah
MPB I sejak 1956 dan pernah menakodai kapal-kapal milik KPM
(Belanda) maupun Pelni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini