Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di Laut Ada Vonis

Mahkamah pelayaran satu-satunya lembaga yang bisa mengungkapkan sebab-sebab kecelakaan & siapa yang bertanggung jawab dalam kecelakaan pelayaran. hanya berwenang menjatuhkan hukuman bersipat administratif.

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAHKAMAH Pelayaran, satu-satunya badan peradilan dalam bidang pelayaran, kantornya hampir selalu sepi. Bahkan kantornya di bilangan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu, tampak lengang pada hari-hari setelah musibah menimpa Kapal Tampomas II di Laut Jawa akhir bulan lalu. Tapi, bukan berarti di sana tak ada kesibukan. Di lantai II gedung itu, satu-satunya ruang sidang yang ada, pada hari-hari tertentu -- biasanya Selasa, Kamis dan Sabtu -- berbagai perkara cukup menyibukkan para petugas di sana. Buktinya, dari 1972 hingga awal tahun ini, sebanyak 77 perkara telah diputus. Dan kini masih menunggu berpuluh-puluh perkara lagi, di luar kasus tenggelamnya Tampomas II yang menurut Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin di hadapan Komisi V DPR Kamis pekan lalu, akan diajukan ke Mahkamah Pelayaran (MP dalam waktu dekat ini. Tak beda dengan ruang sidang pemadilan umum, di kantor MP juga terdapat meja hijau, kursi untuk tertuduh, tempat duduk hakim ketua dan anggota-anggotanya. Juga tempat untuk perwira peneliti & pengusut, yang bertindak sebagai jaksa, dari Direktorat Perkapalan dan Pelayaran Ditjen Perhubungan Laut. Dan tempat duduk bagi pembela, yang tak selalu bergelar SH, tapi jelas orang yang banyak tahu tentang teknis perkapalan maupun pelayaran. Namun, berbeda dengan peradilan biasa, MP merupakan satu-satunya tingkat peradilan di bidang pelayaran. Artinya si tertuduh harus cukup puas dengan segala keputusan MP, karena memang tak ada mahkamah yang lebih tinggi untuk naik banding atau kasasi. "Tapi, mereka yang divonis biasanya cukup puas dengan keputusan MP," kata Ketua MP, Kapten Tardana Surahardja. Perkara yang masuk ke MP umumnya kasus kapal tenggelam dan kandas kemudian tenggelam. Dalam jumlah yang lebih kecil adalah perkara tabrakan kapal dan kebakaran. Menurut Tardana, dari perkara-perkara yang telah diputus, kesalahan umumnya adalah kelebihan muatan atau tak benar dalam pengaturan muatan yang mengakibatkan kapal tak seimbang dan mudah tenggelam. Yang diungkapkan MP adalah sebab-sebab kecelakaan dan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu. MP, yang dibentuk berdasarkan Schepen Ordonantie (ordonansi Kapal-kapal) dan Schepen Verordening (Peraturan Kapal-kapal) tahun 1935 itu, hanya berwenang menjatuhkan hukuman yang bersifat administratif belaka. Yang paling ringan berupa teguran tertulis. Seperti yang pernah dijatuhkan MP terhadap Nakoda Ahmad Ulung, yang hertanggung jawab atas tenggelamnya KM Deepa Molek, 1 Oktober 1979 di perairan Pelabuhan Belawan, Medan. Karena jelek pengaturannya, suatu saat muatan berubah letak, kapal miring, lalu Deepa Molek pun tenggelam. Hukuman agak lebih berat dijatuhkan MP, 14 Mei 1980, terhadap Mualim II Km No. 6 Bineka, Murdonarko (nakodanya sendiri hanya dihukum "teguran keras tertulis"). Kapal ini bertabrakan dengan KM Kumala di perairan selat Berhala 16 Maret 1979. Hukuman yang dijatuhkan kepada mualim berijasah MPB III itu adalah "pencabutan wewenang berlayar sebagai Mualim II di kapal-kapal niaga berbendera Indonesia selama 3 bulan." Kesalahannya lambat mengatur posisi kapal ketika sedang berjaga. Hukuman paling berat bagi para awak kapal adalah pencabutan wewenang sesuai dengan ijasah yang dimilikinya selama 2 tahun. Keputusan serupa ini berlaku sejak terdakwa menyerahkan ijasahnya kepada Ditjen Perhubungan Laut. Hukuman seberat ini pernah dijatuhkan terhadap Nakoda KM Jaya Sakti Pelda Theong. Kapal ini tenggelam 7 Juni 1977 di Laut Sulawesi. Kesalahannya, kelebihan penumpang. Tapi, hukuman itu dinyatakan gugur, karena . . . sang nakoda turut tenggelam bersama lebih dari 100 penumpang dan awak kapal. Limabelas Prosen MP, menurut Tardana, hanya berwenang mengadili awak kapal berbendera Indonesia, di kawasan Nusantara maupun di luar perairan kita. Terhadap kapal asing, wewenang MP terbatas pada awak kapal yang berkebangsaan Indonesia, jika ada. "Terhadap awak asing MP hanya berwenang memberi pendapat," tambah Tardana. Perkara-perkara pelayaran tak jarang juga menjurus pidana maupun perdata. Kata Tardana, MP tak menutup kemungkinan hal itu dilanjutkan di Pengadilan Negeri, bila ada pihak yang menginginkannya. Bahkan, tambah Ketua MP itu, biasanya keputusan MP dijadikan dasar untuk penuntutan pidana atau gugatan perdata. Namun, tak semua berkas kasus kecelakaan laut sampai di meja MP. "Hanya sekitar 10 hingga 15% saja," kata Tardana. Itu pun biasanya hanya kasus-kasus yang tergolong serius. Yaitu musibah yang dianggap besar, baik karena kerugiannya, korban jiwa atau juga dalam hal kesalahan yang dibuat awak kapal. Kasus-kasus kecil biasanya diselesaikan sendiri oleh pihak perusahaan pelayaran niaga, sungai dan danau. Menurut Keppres No. 28/1971, mereka yang diangkat sebagai ketua maupun anggota MP harus sudah senior, artinya berijasah MPB I (Mualim Pelayaran Besar I). Tardana sendiri mengantungi ijasah MPB I sejak 1956 dan pernah menakodai kapal-kapal milik KPM (Belanda) maupun Pelni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus