Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam sore itu menunjuk ke angka lima. Ratusan orang sudah berkumpul di aula utama Zuiderpershuis di Antwerpen, Belgia. Mereka para profesor dari berbagai universitas di Belgia, mahasiswa, aktivis, penulis, hingga pengamat politik. Suasana tenang, nyaris senyap. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik. Dua orang di antara kerumunan tamu dipersilakan keluar dari ruangan.
Sebelum acara dimulai, ketua panitia menjelaskan soal ”pengusiran” tamu tersebut. ”Maaf atas kejadian tersebut. Mereka adalah penyusup dari ultrakanan yang mengaku wartawan. Kami tidak ingin acara yang tenang ini disusupi provokator.”
Insiden kecil semacam itu tak terelakkan dalam beberapa acara yang menghadirkan Tariq Ali, seorang penulis dan aktivis kiri legendaris. Pada 1960-an ia sudah menjadi penentang Perang Vietnam. Sampai kini dia masih menjadi editor jurnal berpengaruh di New Left Review.
Senin tiga pekan lalu itu, Tariq menjadi penceramah dengan tema ”Islam in Europe”. Bercelana jins biru, dengan kemeja hijau tua, sweater hitam yang agak kusam, dan jas cokelat kekuningan, dia naik ke podium. Pria yang rambut dan kumisnya mengingatkan orang pada Albert Einstein ini berpidato dengan suara yang tenang dan tegas, kadang meninggi. Ia tahu betul bagaimana menuturkan cerita. Ketika ceramahnya berakhir, tepuk tangan panjang bergema.
Pria kelahiran Lahore, Pakistan, itu sosok yang unik. Dibesarkan dalam tradisi komunis, tapi kemudian menjadi pengusung paham sosial demokrat. Dia seorang yang menguasai Al-Quran, tapi terang-terangan menyatakan diri ateis. Analisisnya tentang imperialisme selalu tajam, nyaris sinis. Setelah menutup ceramahnya, Tariq Ali menyediakan waktu untuk berbincang dengan Asmayani Kusrini dari Tempo tentang kebebasan berekspresi dan Islam di Eropa. Berikut ini petikannya.
Eropa sekarang sedang giat-giatnya melakukan program dialog antarbudaya. Menurut Anda, apakah ini jawaban atas masalah konflik budaya yang belakangan kerap terjadi?
Apa pun yang bisa meningkatkan pengertian antarbudaya adalah kegiatan yang baik, tidak ada masalah. Tapi itu hanya terjadi di level-level tertentu. Masalahnya, dengan program dialog antarbudaya, pada akhirnya apa yang ingin dicapai? Saya tidak bilang bahwa program ini harus dihentikan, tapi pikirkanlah hal yang lebih relevan.
Ke mana gerakan anti-Islam atas nama kebebasan berekspresi di Eropa akan menuju?
Sebelum mendiskusikan akan menuju ke mana, mari kita bicara soal dari mana datangnya. Menurut pendapat saya, gerakan ini datang dari bentuk nasionalisme yang sangat aneh, dipromosikan oleh ekstrem sayap kanan, tapi kemudian dipungut oleh budaya yang sudah mapan. Dan ini sangat berbahaya, karena atas nama kebebasan berbicara, mereka menyerang kelompok minoritas dalam negeri mereka sendiri dan membuat rumit kehidupan di dalamnya. Yang menarik adalah situasi ini lahir dari salah satu negeri paling kuat di Eropa. Orang Belanda seharusnya ingat peran yang mereka mainkan selama Perang Dunia II pada masa pendudukan ketika populasi Yahudi tidak mendapat perlindungan dari masyarakat Belanda.
Seberapa bahaya kebebasan berekspresi yang dimanipulasi ini?
Sangat berbahaya karena akan membuat orang merasa terisolasi dan akhirnya akan muncul gerakan perlawanan di dalam masyarakat yang memang sudah sangat beragam ini. Menurut saya, kebebasan berekspresi adalah debat palsu, khususnya di Eropa, karena selama ini kredo itu hanya digunakan untuk menyerang Islam. Saya sangat terbuka dengan kritik terhadap Islam, kita memang harus melakukan kritik, tapi kegilaan yang ditunjukkan oleh orang-orang Belanda, seperti Ayaan Hirsi Ali hingga Geert Wilders, ini tindakan yang sangat bodoh.
Ayaan Hirsi Ali mengatakan dia mengkritik Islam secara ilmiah?
Buku yang ditulis Hirsi Ali, yang katanya mengkritik Islam secara intelektual, bahkan ada yang melebih-lebihkan menobatkan Hirsi Ali sebagai Voltaire zaman ini… oh, itu sungguh berlebihan. Isi buku itu sampah. Saya hanya terpaksa membacanya hingga selesai karena memang tugas saya membacanya. Tapi saya berani bilang isinya benar-benar hanya sampah.
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan orang-orang yang memeluk Islam, khususnya di Eropa. Apakah gerakan anti-Islam justru membuat Islam menjadi topik yang eksotis untuk didalami?
Bagi saya, tidak ada agama yang eksotis. Bahwa banyak orang masuk Islam di Eropa ada kemungkinan adalah gejala putus asa terhadap neoliberal globalisasi di dunia atau segala hal yang menyangkut tema itu. Tapi di Inggris, misalnya, banyak orang masuk Islam di dalam penjara. Para terpidana kulit putih memutuskan masuk Islam. Dalam beberapa wawancara, mereka bilang alasan mengapa mereka masuk Islam adalah karena mereka merasa muslim dalam penjara diperlakukan lebih baik, khususnya dalam soal makanan. Di penjara, karena muslim tidak makan babi, makanan yang diberikan kepada mereka selalu jauh lebih baik. Kita memang tidak bisa menyamaratakan semua. Siapa yang tahu, sekarang ini kita hidup dalam dunia yang makin kacau.
Beberapa ahli berpendapat, ada kemajuan cara bersikap masyarakat muslim terhadap sikap anti-Islam....
Saya tidak tahu pasti soal itu. Saya harap begitu. Dalam beberapa kasus, demonstrasi tandingan yang sering marak justru diatur dan diorganisasi oleh kelompok agama garis keras. Mungkin mereka mulai merasakan bahwa sebetulnya demonstrasi yang mereka lakukan justru menjadi promosi gratis bagi kelompok anti-Islam ini.
Bagaimana Anda melihat sikap muslim Eropa dalam kasus kartun Nabi?
Ketika kartun Nabi terbit di koran Denmark, saya terus terang saja jengkel terhadap reaksi sejumlah imam di sana. Mereka lantas menghubung-hubungkan dengan perang di Irak dan Palestina yang sebetulnya tidak relevan. Tidak begitu caranya menanggapi hal seperti ini. Kecuali jika memang ada yang terbunuh atau terluka di antara imigran muslim, sebaiknya hal ini diabaikan saja. Jangan menjadikannya masalah besar, semua akan mati dengan sendirinya. Gerakan-gerakan macam itu hanya provokasi. Jangan merasa terganggu. Ada cara yang lebih baik dan lebih intelek untuk melawan.
Anda mengatakan Islam sudah kehilangan dua kesempatan berharga untuk melakukan reformasi dari dalam dan menjadi agama terbesar dalam perkembangannya. Pertama, di sepanjang abad ke-9 hingga ke-12 ketika Islam sedang mekar dan punya hubungan baik dengan Yahudi dan Kristen. Kedua, di masa Kesultanan Usmani ketika peradaban Islam duduk sama tinggi dengan peradaban Eropa. Mungkinkah ada kesempatan lain?
Saya yakin akan ada kesempatan lain, walaupun saya tidak tahu apakah akan muncul dari Asia atau Timur Tengah. Tapi, sekali lagi, saya melihat perkembangan yang baik di Iran. Jika generasi muda muslim Iran terus mengasah diri, ada kemungkinan kesempatan itu akan datang dari Iran atau bisa jadi dari Indonesia dalam 20 tahun mendatang. Ini sulit diprediksi, ada masa ketika sepertinya tidak mungkin ada harapan lagi, tapi sejarah adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi dengan mudah.
Mengapa Anda mengatakan tidak akan ada yang namanya unifikasi Islam antarnegara muslim?
Tidak akan pernah terjadi karena memang unifikasi itu tidak pernah eksis. Mungkin Islam adalah agama yang paling fraksional di dunia ini, bahkan melebihi Kristen. Sejak awal Islam, pertarungan antarfraksi sudah dimulai. Dua khalifah pertama dibunuh. Menantu Nabi Muhammad, Ali, ingin menjadi khalifah dan kemudian membentuk fraksi Syiah dengan para pendukungnya. Jadi ada seteru untuk memperebutkan kekuasaan sejak awal berdirinya. Islam itu agama yang sangat politis. Dari sudut pandang itu, Islam tidak bisa bersatu dan tidak akan pernah karena begitu banyak perbedaan. Bahkan dunia Arab tidak akan pernah bersatu.
Bukankah dalam sejarah, adakalanya umat Islam bisa bersatu?
Selama masa Perang Salib ketika para tentara Salib mengambil alih Yerusalem, membakar sinagoge, menyerang masjid, dan membakar orang-orang di abad ke-12, itulah kontak pertama Arab dengan Eropa. Dan butuh waktu hampir 20 tahun bagi Saladin mempersatukan bangsa-bangsa Arab untuk mengusir tentara-tentara Salib ini. Bahkan Saladin pun sempat mengeluh betapa sulitnya menerapkan disiplin terhadap bangsa Kurdi, walaupun dia sendiri adalah orang Kurdi. Jadi tidak mengherankan jika sampai hari ini pun hal itu masih terjadi.
Anda juga menyebut gerakan fundamentalis biasanya disponsori oleh pemerintahnya sendiri. Bisa diberi contoh?
Ya, hampir semua gerakan fundamentalis disponsori atau didukung oleh pemerintahnya sendiri. Di Arab Saudi, Mesir, Pakistan, bahkan Aljazair, misalnya. Ada masa untuk mengecilkan hati dan mengganjal kemenangan kelompok radikal dari Algerian National Liberation Front, pemerintah Aljazair kemudian mendorong lahirnya kelompok Islam ekstremis yang didukung juga oleh Prancis. Satu-satunya gerakan independen sekuler yang cukup kuat sebelumnya ada di Mesir, tapi kemudian mereka dapat ditundukkan dengan memberikan dukungan yang sah dan terang-terangan kepada kelompok fundamentalis di masa pemerintah Sadat. Tapi kemudian terbukti kelompok fundamentalis tidak bisa dikontrol dengan mudah dan ini menjadi masalah.
Anda menyebut reformasi dalam Kristen terjadi karena munculnya ateisme di tubuh Kristen. Sebagai seorang ateis yang tumbuh dalam tradisi Islam, apakah ini sebuah langkah untuk melakukan reformasi yang Anda cita-citakan itu?
Salah satu alasan kenapa saya membicarakan masalah ateisme dan mengapa ada bagian itu dalam buku saya adalah untuk menunjukkan, khususnya kepada anak muda muslim, bahwa hal yang normal menjadi bagian dari budaya Islam tapi tidak punya keyakinan itu. Saya ingin orang-orang mengekspresikan diri secara terbuka bahwa ateisme, agnostik, dan lain-lain adalah juga hal biasa dalam dunia muslim. Toh, tidak ada yang mengirimi saya fatwa mati. Tidak ada yang melarang buku saya beredar di Indonesia. Penulis terbesar dari Indonesia, Pramoedya, juga seorang ateis. Toh, bukunya tetap dibaca.
Sebagai ateis Anda merasa berada di tengah dan bisa membicarakan soal agama dengan lebih bebas?
Mungkin juga. Yang saya tahu, buku saya, misalnya Clash of Fundamentalism, juga diterbitkan dalam bahasa Arab, Urdu, dan beberapa bahasa yang digunakan di dunia Islam. Orang-orang membicarakan isinya. Saya pikir inilah waktu yang tepat untuk keluar dan berkata jujur bahwa saya bukan orang yang percaya.
Mungkin ada alasan lain yang membuat Anda bisa diterima di dunia Islam?
Salah satu alasan mengapa saya bisa diterima ketika saya mengungkapkan di depan publik dan karena itu orang tahu saya sangat menentang dan memusuhi imperialisme. Mungkin jika tidak, reaksi yang saya terima akan sangat keras. Mereka tahu saya menentang invasi Amerika ke Irak, Palestina, dan Afganistan. Bagi ateis seperti saya, ini hal yang wajar. Islamislah yang punya hubungan sangat dekat dengan imperialisme Amerika, bukan kami, para ateis.
Anda sudah menulis novel, membuat drama, film, dan lain-lain. Apalagi yang ingin Anda capai?
Rasanya tidak ada lagi. Saya bahagia atas apa yang saya lakukan sekarang. Saya baru saja menyelesaikan sebuah naskah drama untuk National Royal Theater, Swedia, tentang periode dalam sejarah Islam di Spanyol, tentang seorang perempuan bernama Sarah, dan akan dipertontonkan tahun depan. Saya percaya kita punya waktu terbatas dalam hidup, jadi yang ingin saya lakukan dalam waktu terbatas ini adalah menyelesaikan dua set novel saya. Satu menyelesaikan bagian akhir dari Islam Quintet dan satu lainnya menyelesaikan buku terakhir tentang seri The Fall of Communism. Selanjutnya akan saya lihat jika saya masih punya waktu lebih.
Tariq Ali
Tempat dan Tanggal Lahir:
- Lahore, 21 Oktober 1943
Pendidikan:
- Punjab University, Pakistan
- Exeter College, Oxford, Inggris
Karier:
- Aktivis Anti-Perang Vietnam
- Editor New Left Review Novelis: Perempuan Batu
- Seorang Sultan dari Palermo
- Bayang-bayang Pohon Delima
- Kitab Salahudin adalah novelnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo