BERITA pembunuhan sudah banyak terjadi di mana-mana, tetapi seorang kakek membunuh tiga cucunya sekali tebas merupakan hal yang mestinya tak terjadi. Minggu pagi nan cerah, awal Desember, tiga orang kakak beradik Indiarni, 11, A. Tambilang Lamba, 9, dan Nona Allo Sidang, 4, sedang sibuk mencuci piring di dekat rumah pamannya, Paulus Bidang. Warga Desa Nanggala di Kecamatan Sanggalangi Tana Toraja, Sulawesi Selatan, itu ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan rumahnya karena harus pergi ke gereja. Tiba-tiba muncul Nenek Anthon, 72, membawa parang terhunus menghampiri mereka. "Kami akan cepat-cepat, tapi kalau Paman ingin cuci muka silakan dulum," tutur Indiarni. Namun, bukan jawaban neneknya yang mereka dengar, melainkan ayunan parang yang mereka terima. Dalam sekejap, tubuh Indiarni bersama adiknya, Tambilang, menggelepar bersamaan. Melihat kedua kakaknya tergeletak tak bernyawa, Allo kontan mengangkat kedua tangannya tanda minta ampun. Apa lacur, kakek yang sudah kalap itu membabat leher Allo pula. Anehnya, tidak seorang pun warga desa menyaksikan pembantaian ini, dan Anthon berlalu dengan tenangnya. Kini, giliran Paulus Bidang yang menjadi sasarannya. Di rumah Paulus, tanpa pikir panjang, Anthon langsung menghunjamkan parangnya ke arah tuan rumah yang sedang asyik bercanda dengan si Buyung. Walaupun sudah menghindar, lehernya tetap saja robek. Dengan sisa tenaganya, dia mencoba melawan. Tetangganya, yang kebetulan melihat kejadian itu, membantu Paulus: ramai-ramai mereka, termasuk Y.K. Lamba, ayah ketiga putri yang malang, menangkap Anthon. "Mengapa Bapak mau membunuh, apa tidak takut dipenjara?" ujar Lamba setengah menjerit. Tiba-tiba, dari arah sumur, datang Butung sembari berteriak, "ada tiga bocah mati berlumuran darah di sumur." Mendengar kata-kata itu, Lamba, teringat bahwa tadi anak-anaknya minta izin ke sumur, langsung menghambur ke sumur. Mendengar suaminya meraung, Martha Kombong ikut berlari ke sumur dan segera menggendong salah seorang anaknya, sambil berdoa. Melihat suaminya menghunuskan parangnya, Martha lari mendekat. "Tak baik balas dendam. Biarpun kamu membunuh seratus orang, anak kita tidak mungkin hidup kembali," ucap ibu delapan anak ini. Lamba segera melepas kembali parangnya dan kembali menemui mayat ketiga putrinya. Kabar pembantaian dengan cepat menjalar ke segenap penjuru desa, dan sempat menimbulkan ketegangan antara dua keluarga yang masih ada hubungan famili itu. Latar belakang pembunuhan belum begitu jelas. "Saya selalu dituduh PKI, saya mau parangi semua," begitu ocehan Anthon sewaktu digiring ke kantor polisi. Padahal, Anthon dikenal sebagai tokoh agama terkemuka di kampungnya, apalagi ia bekas anggota majelis gereja. Menurut tetangganya, akhir-akhir ini tingkah lakunya aneh, dan jarang mengikuti acara pertemuan keluarga. Konon, Anthon merasa tersisih dalam setiap pertemuan itu. Tapi, belum sempat persoalannya terungkap dengan tuntas, Nenek Anthon mengembuskan napasnya yang terakhir, dua hari setelah dipindah dari tahanan polisi Rantepao ke tahanan Polres Tana Toraja di Makale. Kematian Anthon dalam tahanan polisi memperpanjang teka-teki peristiwa pembunuhan itu. Padahal, menurut seorang anggota Satserse Tana Toraja, ketika diperiksa paginya, Anthon masih tampak segar bugar. Hanya saja, dia sering menggigil dan mengigau, "Saya telah membunuh diri saya sendiri." Sayangnya, sebab musabab kematian Anthon tidak bisa diketahui dengan pasti. Sebab, pihak keluarganya tidak mengizinkan pembedahan mayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini