SUATU hari pada tahun 1975, atase pendidikan kita di Washington, Amerika Serikat, iseng-iseng mengikuti sebuah pertemuan internasional perihal Ocean Thermal Energy Conversion - ikhtiar mendapatkan energi dan listrik dengan memanfaatkan perbedaan suhu lautan. Ternyata, atase itu, Prof. T.M. Soelaiman, M.Sc., mendapat kesimpulan penting: Indonesia punya kemungkinan besar memanfaatkan perbedaan suhu lautan itu, karena negara kita terletak di khatulistiwa. Dari Soelaiman. ikhtiar mencari energi dari laut itu muncul di Indonesia. Tahun 1980, dicapai kesepakatan dengan pemerintah Belanda untuk membangun proyek percobaan: Pembangkit Listrik Tenaga Panas Lautan (PLTPL) berkekuatan 100 kilowatt (kW) - menurut Swarnaya Sidamen, pembicara utama dalam diskusi Pengembangan Teknologi dalam Bidang Kelautan di ITS, Surabaya, pembangkit tenaga listrik jenis ini bisa bertahan 60 sampai 100 tahun. Namun, pembangunan itu tertunda-tunda terus sejak 1981. Terutama karena terdapat salah perhitungan. Proyek yang tadinya diperkirakan akan menelan biaya US$ 1.995.000 ternyata membutuhkan dana US$ 7.000.000. Padahal, seluruh desain sudah selesai. Tahun ini, menurut Soelaiman, guru besar dalam bidang energi dan arus kuat ITB, proyek percobaan masih ditunggu. Namun, tahun depan, Indonesia - lewat prakarsa BPPT - bertekad akan melaksanakan juga pembangunan proyek percobaan itu. "Kita tidak lagi menunggu kepastian pihak Belanda, ada negara lain yang akan membantu," ujar Soelaiman. Tempat bagi proyek itu sudah pula ditentukan: Pantai Bondalem, 30 kilometer sebelah timur Singaraja, Bali. Bondalem diharapkan kelak menjadi perintis pembangkit tenaga listrik bagi Indonesia bagian Timur. Di kawasan ini, PLTPL barangkali memang jawaban tepat, karena Indonesia Timur, yang terdiri dari pulau-pulau kecil, terhitung kawasan sulit bagi pembuatan waduk - salah satu cara membangun pembangkit listrik. Kondisi pantai dan laut di Bondalem juga sudah di ketahui memenuhi persyaratan. Tapi, Bondalem bukan satu-satunya kawasan ideal. Di Indonesia, terdapat banyak daerah yang memenuhi persyaratan bagi pembangunan PLTPL. Beberapa di antaranya yang sudah disurvei: ujung utara Sumatera, Ujung Kulon, Sumbawa Selatan, Sulawesi Selatan, Teluk Bona di Kepulauan Maluku, Flores Selatan, dan Timor Utara. Secara umum, kawasan-kawasan itu memenuhi persyaratan, karena perbedaan suhu di permukaan laut dan di dasar laut mencapai kira-kira 20C. Di kawasan khatulistiwa suhu di permukaan lautnya umumnya bergerak antara 29 dan 30, sementara di dasar laut, suhunya antara 5 dan 8 (keseluruhannya dalam Celcius). Maka, terlihat perbedaannya sekitar 20 Celcius. Soelaiman menjelaskan, memang perbedaan suhu inilah bagian utama prinsip Ocean Thermal Energy Conversion. Dalam arti, perbedaan suhu itu bisa mencairkan dan menguapkan suatu cairan media secara bolak-balik - menguap di permukaan dan mencair di dasar laut. Proses bolak-balik ini kemudian menimbulkan energi dan panas, yang kemudian bisa dimanfaatkan menjadi gerak mekanik, misalnya menggerakkan generator - dari situlah nanti timbul aliran listrik. Lebih lanjut Soelaiman mengutarakan bahwa pada PLTPL terdapat beberapa bagian penting. Pada bagian pertama, terdapat penukar panas. Di sektor ini, air laut (dengan suhu tinggi) yang terdapat di permukaan laut, diisap. Tujuannya adalah menguapkan cairan media - yang akan digunakan ialah NH3 (amonia). Cairan amonia ini terhitung mudah menguap, bahkan pada suhu sekitar 30C. Bagian lain adalah kondensor. Di sektor ini, yang diletakkan di dasar laut, amonia dicairkan kembali. Dan dengan bantuan sektor lain lagi, yaitu pompa, amonia cair ini kemudian dipompakan lagi ke permukaan, untuk kembali diuapkan. Energi dan panas yang didapat dan proses bolak-balik ini digunakan untuk menggerakkan generator. Selain menghasilkan aliran listrik untuk dimanfaatkan, PLTPL juga mampu menghasilkan aliran listrik bagi instalasinya sendiri disebut sebagai daya parasitik. Karena itu, PLTPL terhitung sebagai pembangkit tenaga listrik swadaya menggerakkan pompa dan peralatan lainnya dengan kekuatan sendiri. Proyek percobaan yang akan dibangun di Bondalem, kata Soelaiman, akan mengikuti sistem landbase. Artinya, semua instalasi utama akan ditempatkan di darat, di bibir lantai. Instalasi ini dihubungkan dengan kondensor di dasar laut, yang terletak 1.500 meter dari bibir pantai (pada kedalaman 500 meter) dengan memakai pipa yang terbuat dari polysthylane yang tahan tekanan dan air laut. Sistem ini dinilai lebih efektif dan murah bila dibandingkan dengan sistem landasan mengapung di atas permukaan laut. "Selain kurang efisien, konstruksi anjungannya pasti mahal dan canggih," ujar Soelaiman. Selain perbedaan suhu yang besar, menurut Soelaiman, kawasan-kawasan yang sudah disurvei memiliki pula faktor-faktor pendukung lainnya. Misalnya, kedalaman laut sangat ideal - bergerak antara 600 meter dan 1.000 meter. Tinggi gelombang, rata-rata 12,5 meter, jadi terhitung tidak berpotensi untuk menimbulkan angin ribut. Kecepatan angin di kawasan-kawasan itu pun 50-60 kilometer per jam, dan arus yang ditimbulkan memiliki kecepatan rata-rata 0,5-1 meter per detik, jadi terhitung tenang. Dampak samping untuk lingkungan, ujar Soelaiman, praktis tak ada, kecuali bila terjadi kebocoran pipa amonia. Maka, untuk menghindari ini, diambil sistem landbase, hingga, bila terjadi kebocoran amonia, dampak pencemaran akan kecil saja. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini