Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bandar Narkotik Enam Penjara

Cristian Jaya Kusuma alias Sancai diduga mengoperasikan jaringan narkotik di Jawa Tengah dan sekitarnya dari balik penjara. Kerap melibatkan aparat.

30 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bandar narkoba yang menghuni Lapas Pekalongan, Cristian Jaya Kusuma alias Sancai, dikawal petugas saat akan dibawa ke Jakarta di kantor BNNP Jawa Tengah, Semarang, Selasa, 16 Januari 2018. [TEMPO/STR/Budi Purwanto]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Cristian Jaya Kusuma alias Sancai diduga menguasai peredaran narkotika di sekitar Jawa Tengah.

  • Menggunakan berbagai modus pencucian uang untuk menyamarkan uang hasil penjualan narkotik.

  • Memiliki hubungan dengan jaringan narkotika internasional.

TERAKHIR kali bertemu dengan Cristian Jaya Kusuma alias Sancai pada Maret tahun lalu, Mursito melihat perawakan kliennya berubah. Cristian yang dulu gempal terlihat lebih ramping. Kepada Mursito, pengacaranya, Cristian mengaku tak punya lagi kebebasan seperti saat di penjara lain. “Di Lapas Batu sangat ketat. Dia tak bisa pakai handphone untuk mengendalikan jaringannya,” ujar Mursito yang menceritakan lagi pertemuan itu pada Jumat, 29 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cristian, 36 tahun, menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Jawa Tengah, sejak 2018. Ia menghuni penjara kasus narkotik berstatus “high risk” itu setelah divonis sebagai otak peredaran sabu di sekitar Jawa Tengah. Pria asal Banjarmasin ini berkali-kali ketahuan mengendalikan peredaran narkotik dari balik terungku. Sejak pertama kali ditangkap pada 2014, Cristian sudah menghuni enam penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada kasus terakhir, dia dituduh mengendalikan jaringan sabu Frans Wijaya di Kalimantan Selatan. Kasus ini mengaitkan Cristian dengan Handayani, pemilik gerai valuta asing di Surabaya. Cristian dan Frans diduga mencuci duit penjualan narkotik di gerai Handayani. “Rencananya, bulan depan saya mau kembali menemui dia untuk membicarakan soal ini,” tutur Mursito ketika ditanyai soal tuduhan baru terhadap kliennya. Adapun Frans menjadi buron hingga kini.

Tim gabungan dari Badan Narkotika Nasional pusat dan BNN Provinsi Jawa Tengah menangkap Handayani di Surabaya pada 21 Oktober 2020. Dari hasil pengembangan penyidikan, jaringan Cristian diketahui mencuci uang dengan menukarkannya ke gerai valuta asing.

Menurut seorang penegak hukum yang ikut menelusuri kasus Cristian, rekening bank Handayani diduga menampung duit dari Frans sebesar Rp 23,8 miliar. Transaksi berlangsung pada periode 28 Mei 2014-29 September 2016. Frans juga menyetorkan Rp 17,4 miliar ke rekening Handayani sepanjang 2017.

Mursito sempat menjadi pengacara Handayani saat pertama kali perempuan itu dikaitkan dengan kasus Cristian. Ia mengatakan Handayani tak mengenal Cristian. Kepada Mursito, Handayani mengaku hanya menerima Rp 1 miliar dari Frans untuk ditukarkan ke mata uang lain. “Handayani pernah menanyakan ke si penukar uang, katanya uangnya dari hasil bisnis wine,” ucapnya.

Pengacara Handayani sekarang, Jhon Siregar, membantah keterlibatan kliennya dalam jaringan Cristian. “Klien saya tidak pernah terlibat pencucian uang,” ujarnya.

Sancai pertama kali ditangkap pada 2014 di Banjarmasin. Ia ketahuan memasarkan 100 gram sabu milik Fredi Pratama alias Miming. Divonis 6,5 tahun penjara, dia lalu dijebloskan ke Lapas Karang Intan, Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Sebelumnya, ia menghuni Lapas Teluk Dalam di Banjarmasin.

Ia sempat menghuni Lapas Kedungpane, Semarang. Setelah itu, ia dipindahkan ke Lapas Khusus Narkotika Nusakambangan sejak 2016. Di Nusakambangan, Sancai diduga menyuap sipir agar bisa memiliki sejumlah fasilitas, seperti telepon seluler. Selama setahun lebih, ia ditengarai mengendalikan jaringan narkotik dari balik penjara.

Untuk melancarkan bisnisnya, Sancai melibatkan Kepala Pengamanan Lapas Nusakambangan waktu itu, Cahyono Adhi Satriyanto. Cahyono diduga berperan menampung semua uang penjualan jaringan narkotik Sancai ke dalam satu rekening atas nama Suhartinah. Cahyono yang menguasai rekening itu. “Beberapa kali uangnya digunakan untuk membayar hotel dan tiket pesawat,” kata Kepala BNN Provinsi Jawa Tengah saat itu, Brigadir Jenderal Tri Agus Heru Prasetya.

Kepala Rumah Tahanan Klas IIB Purworejo (nonaktif), Cahyono Adhi Satriyanto, dalam konferensi pers kasus TPPU narkotika yang melibatkan dirinya, di gedung Badan Narkotika Nasional (BNN), Jakarta, Rabu, 17 Januari 2018. [TEMPO/STR Magang/Wildan Aulia Rahman]

Total uang yang ditampung di rekening selama 2017 sebesar Rp 298,5 juta. Rupanya, atas jasanya meminjamkan rekening Suhartinah kepada Cristian, Cahyono menerima komisi sepuluh persen dari tiap transaksi. BNN menangkap Cahyono setahun kemudian saat dia menjabat Kepala Rumah Tahanan Purworejo dan menjeratnya dengan pasal pencucian uang. Pengadilan Negeri Cilacap menghukumnya 1 tahun penjara.

BNN mendapatkan nama Cahyono setelah menangkap Dedi Kenia Setiawan di Jalan Setiabudi, Semarang, pada 8 November 2017. Saat ditangkap, Dedi membawa 800 gram sabu asal Aceh yang disembunyikan di dalam sol sandal perempuan. Dedi mengaku menerima sabu tersebut atas perintah Cristian yang waktu itu sudah dipindahkan ke Lapas Pekalongan.

Penyidik menggerebek sel Cristian di Pekalongan. Mereka menyita barang-barang Cristian, termasuk telepon seluler yang digunakan selama di penjara. Di ponsel tersebut terdapat aplikasi BlackBerry yang berisi percakapan antara Cristian dan Cahyono soal pengiriman uang. Cahyono diduga menerima upah Rp 31 juta dari semua transaksi Cristian.

Cristian diduga kerap menggunakan aparat. Ia pernah menggunakan jasa bekas personel Direktorat Reserse Narkotika dan Obat Berbahaya Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Ajun Komisaris Kokok Wahyudi. Kokok ditangkap tim Pengamanan Internal Polda Jawa Tengah karena berusaha menyuap perwira berpangkat ajun komisaris besar di BNN yang tengah menyidik kasus narkotik Dedi Kenia Setiawan.

Menyodorkan gepokan Rp 450 juta, Kokok meminta perwira itu tak mengaitkan jaringan Dedi dengan Cristian. Setelah ditangkap, Kokok divonis 4 tahun penjara.

Kokok membantu Cristian atas permintaan Sudi Satria alias Hokai alias Babe, anak buah Fredi Pratama alias Miming. Sudi Satria sempat mendekam di Lapas Kedungpane, Semarang, karena terlibat kasus narkotik. Sudah bebas dari perkara tersebut, ia kembali dijerat dalam kasus Dedi. Kini statusnya buron.

Fredi juga masuk daftar pencarian orang sejak 2013. Cristian dan Fredi Pratama sama-sama berasal dari Banjarmasin. Keduanya bahu-membahu mengelola jaringan narkotik. Saat ini, Fredi diduga berada di Thailand. “Kabarnya sudah melakukan operasi plastik wajah,” ujar Mursito, pengacara Cristian.

Mursito menduga Fredi tidak hanya terlibat dalam jaringan narkotik nasional, tapi juga lintas negara. Fredi, 36 tahun, yang juga memiliki nama asli Wang Xiang Ming, diduga bekerja sama dengan Cristian dalam bisnis narkotik di Malaysia. “Saya masih menyimpan catatan beberapa nomor telepon luar negeri yang berkomunikasi dengan Cristian,” kata Mursito.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol BNN Brigadir Jenderal Sulistyo Pudjo mengatakan Sancai tengah menjalani hukuman 15 tahun penjara di Lapas Pekalongan. Ia juga divonis 5 tahun penjara dalam kasus pencucian uang. “Penyelidikan kepada jaringannya yang lain masih terus dikembangkan,” ujarnya.

Sancai memimpin peredaran sabu dari balik terungku. Ia juga memerintahkan naka buahnya membuka rekening baru untuk menampung hasil penjualan narkotika. Di kasus tertentu, ia juga mendapat bantuan dari sejumlah petugas. “Dia berpotensi diperiksa kembali dalam kasus-kasus narkotika lain,” kata Pudjo.

LINDA TRIANITA, JAMAL A. NASHR (SEMARANG)


Catatan:
Ada perubahan di dua paragraf terakhir, menyesuaikan dengan edisi cetak.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus