Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mengapa bansos dikorupsi?
Akar masalah dan solusi agar bantuan sosial tak dikorupsi
DALAM dua masa kepresidenan di Indonesia setelah Reformasi, ada tiga Menteri Sosial yang masuk penjara karena korupsi: Bachtiar Chamsyah dari Partai Persatuan Pembangunan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Idrus Marham dari Golkar dan Juliari Batubara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di era Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika kata “sosial” kita luaskan maknanya mencakup bidang pelayanan kesehatan, agama, pemuda dan olahraga, pendidikan, serta ketenagakerjaan, jumlah menteri atau pejabat di bidang sosial yang korup lebih banyak. Ini belum mencakup kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fakta-fakta ini menerbitkan tanda tanya besar: mengapa di bidang sosial, yang semestinya menjadi tulang punggung kehadiran negara dalam melayani masyarakat, korupsi mudah merajalela? Mengapa di Indonesia yang sosial identik dengan inefisiensi, penyalahgunaan, dan korupsi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa menelusuri kontradiksi-kontradiksi dalam kasus korupsi bantuan sosial.
Bantuan sosial pada dasarnya hanya boleh diadakan sementara. Ia dimaksudkan untuk memberikan pertolongan bagi orang miskin yang paling terkena dampak suatu krisis. Bantuan sosial rentan diselewengkan karena beberapa faktor. Pertama, secara struktural, posisi orang miskin lemah dan tak berdaya. Dalam situasi itu, bantuan sosial akan selalu dipandang sebagai “rezeki” yang mesti tetap disyukuri.
Kedua, bantuan sosial di Indonesia tidak pernah sepenuh-penuhnya bersifat “sosial”. Dalam banyak hal, apalagi dalam kondisi si pembuat kebijakan berasal dari partai politik dan aktif menjelang pemilihan kepala daerah, bantuan sosial dengan mudah bertransformasi menjadi “bantuan politis”. Artinya, bantuan sosial dengan mudah bisa dimanipulasi dalam klaim klientelistik. Ia dipakai sebagai “hadiah” para politikus dan penguasa kepada rakyat untuk mendapatkan suara dan dukungan politik. Dalam praktik ini, bantuan sosial yang dicaplok dalam klientelisme berakibat buruk bagi demokrasi.
Lebih jauh, tradisi korupsi di bidang sosial juga memperlihatkan ironi dalam relasi antara moral, penguasa, dan kaum miskin. Ketika korupsi bantuan sosial terungkap, banyak orang menyayangkan dengan mengatakan: “Tega sekali, ya, kok bisa korupsi hak orang miskin yang sedang menderita?”
Pandangan bahwa mencuri hak orang miskin tidak sepantasnya atau secara moral salah berbasis pada ide belas kasihan yang berlaku dalam hubungan interpersonal yang nirkuasa. Dalam konteks orang miskin sudah diabstraksi sebagai angka dan pembuat kebijakan berubah menjadi algojo penentu hidup-matinya orang di bawah, belas kasihan terkubur tak berlaku dan relasi kuasa yang tampil ke depan. Dalam relasi ini, kaum miskin justru fungsional sebagai alibi dan alat bagi yang kuat untuk mengekspresikan kekuasaannya. Maka, makin lemah si miskin, makin besar risiko mereka mendapat kesewenang-wenangan. Makin miskin seseorang, makin lemah daya tawar dan makin mudah hak-haknya dirampas.
Banyak penelitian yang menemukan korelasi kemiskinan dan tingkat korupsi: makin banyak orang miskin, makin banyak korupsi atas nama mereka. Dalam level internasional, ironi serupa terjadi dalam kenyataan umum bahwa negara-negara yang dipimpin oleh rezim korup malah menerima banyak bantuan internasional. Mengapa? Karena di negara-negara yang penguasanya korup, jumlah orang miskin banyak (David de la Croix dan Clara Delavallade, Oxford Economic Paper 66, 2009). Ironi ini menegaskan bahwa relasi kuasa berbanding terbalik dengan etika dan belas kasihan.
Selain itu, semua bentuk bantuan pada dasarnya bekerja di bawah logika “saya membantu kamu justru supaya kamu sadar bahwa saya lebih berkuasa dibanding kamu”. Logika ini berfungsi mempertahankan distansi dan partisi sosial: si miskin ≠ si kaya/penguasa. Dengan kata lain, bidang sosial rentan dikorupsi pertama-tama karena keberadaannya sejak awal berbasis pada relasi kuasa yang timpang, yakni negara dan elite-elitenya berposisi sebagai “patron”, sementara rakyat sebagai “klien”.
Dalam relasi ini, bagi para elite politik, sumber daya negara selalu diposisikan sebagai rezeki yang bisa seenaknya dibagi-bagi guna menghasilkan dukungan dan pelumas untuk mesin politik mereka. Apa akibat terburuk dari rentannya bidang sosial terhadap korupsi?
Rontoknya reputasi “yang sosial’ memberi akibat struktural jangka panjang yang sifatnya ideologis, yakni merosotnya kepercayaan terhadap negara dan birokrasinya sebagai penyelenggara kebijakan sosial. Dengan itu, dogma bahwa mekanisme pasar dan kapitalisme dianggap lebih efisien, transparan, dan lebih bisa diandalkan dalam mendorong kemakmuran ketimbang negara sosial menjadi sah dan kokoh.
Dengan kata lain, kegagalan negara mendorong kesejahteraan dan merosotnya “yang sosial” akibat korupsi yang inheren di dalamnya akan menjustifikasi suatu tipe masyarakat yang disebut John Rawls sebagai brute luck society, yakni keadaan tanpa intervensi negara dalam distribusi keadilan, masyarakat hidup dalam hukum rimba ekonomi: yang kaya beruntung, yang miskin celaka sendiri.
Dalam sejarah pendiriannya, Indonesia dibentuk dengan aspirasi yang kuat akan kolektivitas dan ide negara sosial. Pertanyaannya, mengapa Indonesia senantiasa gagal membentuk negara yang berwatak sosial?
Saat ini Indonesia memang memiliki sistem jaminan sosial yang bersifat statutory, yakni BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Namun, dalam banyak hal, keduanya belum bisa diandalkan untuk membentuk “social service state”. Bahkan belakangan kembali muncul dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan.
Jika kebijakan yang jelas diamanatkan undang-undang seperti BPJS saja dengan mudah jatuh dalam penyalahgunaan dan penyelewengan, apalagi kebijakan yang insidental seperti bantuan sosial berupa sarden kaleng? Kenyataan ini makin memperburuk reputasi negara dalam menyelenggarakan “yang sosial”.
Adakah perbedaan mendasar antara bantuan sosial dan jaminan sosial? Jaminan sosial memiliki basis institusional yang lebih kuat dan berakar dalam konsep negara, sementara bantuan sosial lebih merupakan aktivitas insidental dan sementara. Bantuan sosial dalam beberapa hal memang bisa menjadi bagian dari sejenis jaminan sosial. Jaminan sosial mengasumsikan negara sebagai social service state, negara yang melayani dan keberadaannya biasanya bersifat statutory atau dimandatkan dalam undang-undang.
Dalam sejarah, jaminan sosial berbasis pada pengalaman gerakan sosial yang direfleksikan secara kumulatif oleh para intelektual hingga menjadi basis kebijakan ekonomi-politik terutama di negara-negara industri pascaperang, seperti Jerman, Inggris, dan Skandinavia. Ide jaminan sosial bersandar pada kesadaran historis akan kelemahan struktural kapitalisme dan mekanisme pasar dalam menyediakan kesejahteraan serta lapangan kerja. Dengan itu, intervensi negara untuk melindungi masyarakat harus diberlakukan secara institusional.
Sistem jaminan sosial yang baik berbasis pada analisis “risiko sosial dan kebutuhan” manusia. Asa Briggs menggunakan istilah “social contingency” untuk menjelaskan apa saja risiko sosial dan kebutuhan itu. Risiko sosial atau social contingency berbasis pada skenario yang pasti dalam siklus hidup individu. Misalnya, saat anak dalam kandungan ada risiko penyakit sehingga ada kebutuhan menjamin kesehatan ibu dan bayi; saat orang tumbuh dalam usia belajar ada risiko putus sekolah, maka ada kebutuhan akan pendidikan; saat orang memasuki usia kerja ada risiko pengangguran, maka negara harus menjamin kebutuhan lapangan kerja; saat memasuki usia tua orang menghadapi risiko kehilangan kerja, maka muncul kebutuhan jaminan pensiun di hari tua. Negara yang melayani akan serius membangun sistem jaminan sosial dengan memperhatikan risiko sosial dan kebutuhan warganya.
Prinsip utama dalam jaminan sosial adalah keharusan mendayagunakan kekuasaan yang terorganisasi (melalui politik, birokrasi administrasi) dalam menentukan bentuk-bentuk pelayanan kesejahteraan bagi rakyat. Penjabaran ide ini biasanya dimulai dengan menentukan unit kesejahteraan: individu, keluarga (Asa Briggs dalam Pierson dan Castles, 2006).
Begitu unit kesejahteraan itu ditentukan, dari situ politik birokrasi dikerahkan untuk menjalankan kebijakan. Di titik ini, data dan administrasi kependudukan menjadi syarat mutlak dan krusial dalam setiap kebijakan jaminan sosial. Data dan administrasi kependudukan mencerminkan siapa unit jaminan sosial yang dipilih. Ini yang menjamin kebijakan sosial tepat sasaran.
Korupsi bantuan sosial alias bansos dan kerentanan penyelewengan yang akut dalam jaminan sosial menunjukkan bahwa Indonesia tidak pernah mampu membangun rezim kesejahteraan. Ketakmampuan ini berakar pada dua hal.
Pertama, kegagalan dalam merumuskan unit kesejahteraan. Kegagalan ini disebabkan oleh pelbagai faktor, seperti kuatnya klientelisme (yang mengubah warga menjadi klien) dan primordialisme (yang menyulitkan identifikasi politik unit kesejahteraan).
Kedua, Indonesia tidak pernah secara serius membangun administrasi publik yang kompeten sebagai instrumen penyelenggaraan kebijakan sosial. Akibatnya, pelbagai program sosial rentan salah sasaran, kalau bukan melayang ke rekening para koruptor.
Bagaimana jalan keluarnya? Dalam pengalaman Jerman, Inggris, dan negara-negara Skandinavia, “yang sosial” bisa tumbuh dan melahirkan rezim kesejahteraan karena didahului dua hal, yakni gerakan sosial dan kepemimpinan politik. Untuk mengukuhkan negara yang melayani secara sosial, Indonesia memerlukan dua resep itu.
Indonesia memerlukan kepemimpinan politik dengan visi negara sosial. Namun, melihat ganasnya klientelisme, oligarki, dan kartel politik, bertumpu pada kepemimpinan politik saat ini rasanya hanya akan melahirkan kekecewaan. Pilihan terakhir tinggal berharap pada tumbuhnya gerakan sosial dari bawah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo