Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tengah menggantungkan harapan besar pada Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Lembaga baru ini akan menjadi andalan untuk menggaet investasi dari luar negeri. Presiden Joko Widodo mematok target yang bukan main ambisiusnya: US$ 20 miliar dalam dua bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk meyakinkan investor sedunia bahwa LPI lembaga serius, pemerintah turut menanam modal awal US$ 5 miliar. Kelak, setelah beroperasi, LPI akan mengelola modal pemerintah ataupun dana dari investor, menanamkannya ke berbagai perusahaan yang terutama menggarap proyek infrastruktur. Begitu rencananya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menarik investasi asing hingga US$ 20 miliar, atau senilai Rp 281,6 triliun dengan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Bank Indonesia per 29 Januari 2020, bukan perkara mudah. Ada beberapa soal yang bisa menghambat. Salah satunya timing. Peluncuran LPI berbarengan dengan kian ganasnya wabah Covid-19. Ekspektasi bahwa ekonomi akan pulih dengan cepat langsung meredup karena pandemi justru mengganas di seluruh dunia.
Investor tentu makin berhati-hati meletakkan uangnya. Berinvestasi ke proyek infrastruktur ketika situasi semuram sekarang jelas tidak menarik. Umumnya, proyek infrastruktur adalah investasi jangka panjang. Imbal hasilnya tak akan memadai dalam jangka pendek. Dalam hal manajemen ekonomi negara, strategi ini juga terasa kurang pas.
Dalam keadaan darurat kesehatan, seyogianya segala daya dan upaya pemerintah terfokus pada upaya mitigasi wabah. Membangun infrastruktur memang perlu, tapi itu bisa menunggu, setidaknya sampai ada pertanda meredanya wabah. Lagi pula, efek proyek infrastruktur pada upaya pemulihan ekonomi tidak akan langsung terasa. Ekonomi yang sedang lemas lebih membutuhkan stimulus yang efeknya bisa segera dirasakan.
Persoalan lain yang tak kalah pelik adalah bisnis model LPI, yang juga dikenal sebagai sovereign wealth fund (SWF). Awal mulanya, SWF merupakan lembaga yang mengelola kekayaan negara agar memberikan hasil lebih besar. Temasek Holdings, misalnya, mengelola tabungan rakyat Singapura dengan menginvestasikannya ke berbagai perusahaan di seluruh dunia. Norwegia bisa menjadi contoh lain. Salah satu SWF di sana, yang dijuluki Oil Fund, mengoptimalkan penerimaan negara dari minyak. Jadi, sesuai dengan namanya, SWF eksis bukan untuk menarik dana investasi dari luar negeri.
Belakangan, muncul model bisnis SWF yang berbeda. Ada SWF yang didirikan untuk menerima titipan investasi asing, tidak lagi sekadar mengelola kekayaan negara. Pemerintah Indonesia membentuk LPI mengikuti model bisnis yang terakhir ini.
Masalahnya, pasar finansial masih jera melihat model bisnis SWF sebagai penggaet investasi. Ada pengalaman amat pahit dari skandal SWF negeri jiran, 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Lembaga ini awalnya sukses besar menarik investasi asing. Namun ujungnya ada korupsi mahadahsyat. Menurut estimasi Kementerian Kehakiman Amerika Serikat, ada dana US$ 4,5 miliar yang dicuri dari lembaga ini. Hingga saat ini, mantan perdana menteri Najib Razak masih menghadapi proses hukum atas puluhan tuduhan rasuah di 1MDB.
Tak hanya menjerumuskan pejabat tertinggi di Malaysia, skandal ini juga memukul industri keuangan sedunia. Salah satu bank investasi yang paling prestisius dan tertua di Wall Street, Goldman Sachs, harus membayar denda senilai US$ 2,9 miliar kepada pemerintah Amerika karena keterlibatannya dalam skandal ini. Trauma ini masih segar di ingatan pasar lantaran denda itu baru diputuskan pada Oktober 2020.
Jadi, ketika pemerintah Indonesia mendadak begitu kebelet ingin mendirikan LPI dan menarik dana asing lewat model bisnis SWF yang serupa dengan 1MDB, pasar keuangan masih belum lepas dari rasa jera. Sejauh ini belum ada pernyataan komitmen yang pasti dari bank-bank investasi dengan nama besar di Wall Street untuk ikut berpartisipasi dalam LPI. Yang ada barulah pernyataan dari pemerintah Indonesia bahwa US$ 20 miliar akan segera datang.
Tentu saja ini bukan sesuatu yang mustahil. Tapi sungguh berat tugas para profesional yang terpilih sebagai pemimpin LPI untuk mewujudkan ambisi itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo