Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH dilantik pada Jumat pagi, 8 Januari lalu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari jajaran pemangku kepentingan langsung mengadakan pertemuan pertamanya. Membahas sejumlah isu, persamuhan itu mengerucut ke rencana evaluasi berbagai target bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). “Siangnya, kami langsung berdiskusi dengan ketua harian (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif),” kata Satya Widya Yudha, anggota DEN perwakilan kalangan industri, Kamis, 28 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dipimpin oleh presiden, DEN beranggotakan unsur pemerintah dan pemangku kepentingan. Satya dan tujuh anggota lain yang baru dilantik adalah perwakilan kalangan industri, lingkungan hidup, akademikus, konsumen, dan teknologi. Delapan anggota baru ini bersepakat untuk menyesuaikan RUEN—kebijakan pemerintah mengenai rencana pengelolaan energi tingkat nasional yang bersifat lintas sektor—dengan kondisi energi terkini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah, menurut Satya, sudah lama mempertimbangkan langkah untuk merevisi RUEN, yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017. Sejumlah persoalan menimpa sektor energi beberapa tahun terakhir, termasuk akibat pandemi Covid-19. Walhasil, berbagai asumsi atau dasar perhitungan dalam RUEN empat tahun lalu dianggap sudah tak relevan dengan perkembangan teranyar.
Satya mencontohkan, perhitungan permintaan alias kebutuhan di setiap sektor energi ditetapkan berdasarkan asumsi makro pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, berbagai target dalam RUEN kelewat ambisius. Di sisi lain, sejumlah regulasi berubah beberapa waktu belakangan, seperti dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja serta revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam rapat kerja dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 19 Januari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyebut evaluasi RUEN sebagai salah satu program strategis Kementerian Energi pada 2021. Senada dengan Satya, Arifin menilai evaluasi diperlukan karena kondisi saat ini telah banyak berubah, termasuk akibat pagebluk. “Ini akan kami evaluasi semua karena asumsinya dulu optimistis, harus disesuaikan dengan kondisi yang ada,” tutur Arifin.
Sebagai peta jalan pengelolaan energi, RUEN mengatur sejumlah strategi untuk mencapai berbagai target hingga 2050. Semua target, termasuk penyediaan energi ketenagalistrikan, dihitung dengan berbagai asumsi, dari pertumbuhan ekonomi hingga jumlah penduduk.
Masalahnya, empat tahun terakhir, berbagai asumsi yang dipakai pemerintah terbukti terlalu ambisius. Asumsi pertumbuhan ekonomi, misalnya, ditetapkan sebesar 7-8 persen per tahun dalam tiga dekade ke depan. Faktanya, dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi jauh di bawah asumsi tersebut.
Sejumlah kalangan juga ragu akan tercapainya berbagai sasaran RUEN. Penyediaan energi baru dan terbarukan (EBT), misalnya, ditargetkan mencapai paling sedikit 23 persen terhadap bauran energi primer pada 2025. Untuk mewujudkan target tersebut, RUEN memproyeksikan kapasitas pembangkit listrik EBT mencapai 45 gigawatt dalam empat tahun ke depan.
Namun laporan tahunan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menunjukkan selisih yang amat lebar untuk meraih target itu. Hingga 2019, PLN mencatat total kapasitas pembangkit EBT, baik yang dimiliki perseroan maupun produsen listrik independen, hanya sebesar 7.790 megawatt. Angka ini setara dengan 12,32 persen dari total kapasitas pembangkit nasional. Pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan bakar batu bara masih menjadi primadona di bauran energi primer tenaga listrik.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan, Halim Kalla, salah satu yang pesimistis target bauran EBT bisa mencapai 23 persen pada 2025. Dia sepakat RUEN perlu dievaluasi. Namun dia berharap evaluasi itu tetap berpatokan pada target yang sama, bukan mengubahnya. Pasalnya, dia mengingatkan, target-target dalam RUEN, termasuk dalam urusan pengembangan EBT, merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk memenuhi Kesepakatan Paris—kesepakatan pengendalian perubahan iklim. “Memang susah,” ujarnya.
Alih-alih meminda target, Halim menyarankan pemerintah memanfaatkan momentum perubahan RUEN serta penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan untuk mendorong pengembangan EBT sebanyak-banyaknya. “Memperkuat sisi investasi, jaminan risiko, serta keterjangkauan harga agar bisa bersaing dengan energi fosil,” ucapnya.
Hal senada disuarakan Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga riset dan advokasi di bidang energi dan kebijakan lingkungan. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai evaluasi terhadap RUEN sangat tepat sepanjang tak menurunkan target bauran EBT. Fabby justru berharap RUEN terbaru kelak meningkatkan target tersebut. “Keekonomian EBT sekarang makin baik,” katanya.
Menurut dia, RUEN 2017 masih menempatkan batu bara sebagai bahan bakar yang dominan dalam pembangkitan tenaga listrik hingga 2050. Padahal penggunaan energi fosil, termasuk batu bara, dalam jangka panjang semestinya dikaji ulang. Badan Energi Dunia (IEA) dalam analisis World Energy Outlook 2020 juga memperkirakan Kesepakatan Paris bakal menekan penggunaan batu bara secara global, yang diprediksi turun hingga 66 persen pada periode 2019-2030. Sebaliknya, permintaan EBT justru terus meningkat.
Fabby mengingatkan, permintaan listrik saat ini dalam tren menurun. Sebaliknya, pasokan listrik berpotensi berlebih (oversupply). Karena itu, IESR menyarankan RUEN terbaru nantinya bisa mendorong transisi energi—hal yang dianggap kurang dalam kebijakan selama ini. “IESR merekomendasikan pemerintah menghentikan pembangunan PLTU batu bara mulai 2025,” tutur Fabby. “Pemerintah juga perlu menutup PLTU batu bara yang berusia lebih dari 30 tahun dan menggantinya dengan pembangkit EBT, salah satunya tenaga surya dan teknologi penyimpan.”
Rekomendasi IESR itu juga bertujuan menanggapi wacana merelokasi pembangkit berusia 20-30 tahun yang dilontarkan Menteri Energi Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan DPR, Selasa, 19 Januari lalu. Kala itu, Menteri Arifin menyatakan pembangkit tua bisa direlokasi ke wilayah lain, seperti daerah yang memiliki potensi industri pemurnian logam (smelter).
Satya Widya Yudha sepakat dengan masukan banyak kalangan agar rencana revisi RUEN tak mengotak-atik angkat target bauran energi, terutama EBT. “Target 23 persen masih kami harapkan ke depan. Akan kami lihat hambatan apa yang membuatnya tak tercapai,” ujar mantan anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Partai Golkar ini.
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo