Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Musyawarah untuk eksekusi

Ahli hukum perburuhan tidak sependapat dengan gagasan menteri tenaga kerja, sudomo, untuk memasukkan hakim dalam susunan p4. soal eksekusi sebagai penyebab kemacetan penyelesaian masalah perburuhan. (hk)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH membuka kotak pos 555, untuk pengaduan masalah buruh, Menteri Tenaga Kerja Sudomo melanjutkannya dengan mencetuskan ide, memasukkan hakim dalam susunan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) di tingkat pusat maupun daerah. Tentang yang terakhir itu, tentu saja mengagetkan banyak ahli hukum perburuhan. Mana mungkin seorang hakim duduk di lembaga eksekutif? Ketika para ahli tengah bertanya-tanya, buru-buru Menteri Kehakiman Ali Said mendudukkan persoalannya. "Maksudnya, orang kehakiman" yang duduk di P4, jadi bukan hakim," ujar Ali Said. Sudomo pun ketika ditemui TEMPO akhir Mei lalu memperbaiki kembali gagasannya itu. "Maksud saya, kami meminjam orang kehakiman, karena mereka sudah biasa menangani masalah pengadilan -- jadi bisa melihat persoalan seadil-adilnya," ujar Sudomo. Selama ini P4, baik di pusat maupun daerah, terdiri dari unsur pemerintah dan swasta. Lembaga yang diketuai pejabat Depnaker itu mempunyai angota masing-masing satu orang dari instansi perindustrian, perhubungan, pertanian, dan keuangan. Unsur buruh dan pengusaha masing-masing diwakili 5 orang anggota. "Tapi karena rumitnya, penyelesaian masalah buruh itu tidak bisa adil seadil-adilnya bila hanya ditangani Depnaker," ujar Sudomo lagi. Namun dengan rendah hati ditambahkannya: "Saya menunggu saran-saran dari berbagai pihak." Saran pertama datang dari orang dalam. "Tidak perlu ada perubahan. Kalau menteri merasa keputusan tidak adil, ia berwenang membatalkan," ujar seorang pejabat di departemen itu. Pejabat itu selama ini tidak melihat masalah perburuhan dari segi adil atau tidaknya keputusan P4. Soal yang sebenarnya, katanya, adalah sulitnya melaksanakan keputusan lembaga "peradilan semu" itu. Ketua Tim Bantuan Hukum dari organisasi buruh, FBSI, Azhar Achmad, membenarkan bahwa banyak keputusan P4 sering jadi mentah kembali, karena soal eksekusi itu. Seorang klien pengacara itu, katanya, pernah memenangkan gugatan melawan pengusaha, sebesar Rp 1 juta. Tapi buruh itu kaget bukan kepalang ketika diminta memasang iklan pengumuman di koran mengenai lelang eksekusi -- sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata. Untuk itu ia terpaksa memimjam uang Rp 500.000 dengan bunga 10% sebulan. Tapi malang baginya. Begitu iklannya muncul, pengusaha menggugat balik ke pengadilan, dengan alasan putusan P4 tidak sah -- alasan yang sering dipakai pengusaha untuk menunda putusan P4. "Perkaranya terkatung-katung kembali dan yang menderita tetap buruh," keluh Azhar. Klien Azhar yang lain, Syarifuddin Siregar, nasibnya juga demikian. Anak Medan yang menjadi buruh perusahaan kayu di Kalimantan Timur itu, memang memenangkan gugatan sebanyak Rp 5,5 juta, sebagai pesangon PHK-nya. Pengadilan juga mengabulkan permohonan untuk eksekusi. Tapi, lagi-lagi buruh juga yang jatuh sial: perusahaan yang dituntutnya ternyata tidak punya barang lagi untuk dilelang. Mau apa lagi, selain gigit jari? Mungkin karena kesulitan-kesulitan itu pula pengacara lain yang mengkhususkan diri di bidang perburuhan, Syahniar Mahnida, menuding soal eksekusi sebagai biang kerok rumitnya penyelesaian masalah perburuhan. Banyak putusan P4 yang jadi tak berarti, lantaran eksekusi yang macet. "Akibatnya, kemenangan buruh hanya di atas kertas," tambah Syahniar. Penyebab kemacetan, menurut Syahniar, karena peraturan tentang eksekusi belum disertai ketentuan pidana yang setimpal bagi pengusaha yang tidak mematuhi putusan P4. Menurut undang-undang perburuhan (UU No. 22/1957) pihak yang kalah bisa dihukum kurungan sebulan atau denda Rp 10.000. "Apa artinya uang sebanyak itu bagi pengusaha -- tentu saja banyak yang melanggar," kata Syahniar sengit. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur Sunu Wahadi, juga mengakui bahwa masalah eksekusi memang lebih penting diselesaikan dibanding masalah perubahan susunan anggota P4. Di pengadilan yang dipimpinnya, katanya, belum pernah ada eksekusi tertunda, walau ada bantahan dari pihak yang kalah. "Tapi biaya untuk iklan sangat besar, kadang-kadang hampir menutup hasil lelangnya," kata Sunu Wahadi. Menteri Sudomo, tentu saja, tahu betul kerumitan eksekusi. Sebab itu, katanya, sedang dipikirkan bagaimana cara melaksanakan keputusan P4 tanpa melalui eksekusi pengadilan. "Mencari putusan yang bisa diterima kedua pihak yang bersengketa tidak gampang," tambah Sudomo. Untuk itulah, katanya, perlu diundang suara orang kehakiman. Menteri Kehakiman Ali Said tidak keberatan untuk mengirimkan orang-orangnya tapi bukan hakim. Orang yang dicari, kata Ali Said, adalah orang yang mengerti soal yuridis sekaligus paham masalah perburuhan. Menteri yang pintar ngomong itu mengatakan bahwa tidak susah mencari orang seperti itu di departemennya. "Persediaan orang pandai di Indonesia cukup banyak," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus