SETELAH membuka kotak pos 555, untuk pengaduan masalah buruh,
Menteri Tenaga Kerja Sudomo melanjutkannya dengan mencetuskan
ide, memasukkan hakim dalam susunan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P4) di tingkat pusat maupun daerah.
Tentang yang terakhir itu, tentu saja mengagetkan banyak ahli
hukum perburuhan. Mana mungkin seorang hakim duduk di lembaga
eksekutif?
Ketika para ahli tengah bertanya-tanya, buru-buru Menteri
Kehakiman Ali Said mendudukkan persoalannya. "Maksudnya, orang
kehakiman" yang duduk di P4, jadi bukan hakim," ujar Ali Said.
Sudomo pun ketika ditemui TEMPO akhir Mei lalu memperbaiki
kembali gagasannya itu. "Maksud saya, kami meminjam orang
kehakiman, karena mereka sudah biasa menangani masalah
pengadilan -- jadi bisa melihat persoalan seadil-adilnya," ujar
Sudomo.
Selama ini P4, baik di pusat maupun daerah, terdiri dari unsur
pemerintah dan swasta. Lembaga yang diketuai pejabat Depnaker
itu mempunyai angota masing-masing satu orang dari instansi
perindustrian, perhubungan, pertanian, dan keuangan. Unsur buruh
dan pengusaha masing-masing diwakili 5 orang anggota. "Tapi
karena rumitnya, penyelesaian masalah buruh itu tidak bisa adil
seadil-adilnya bila hanya ditangani Depnaker," ujar Sudomo lagi.
Namun dengan rendah hati ditambahkannya: "Saya menunggu
saran-saran dari berbagai pihak."
Saran pertama datang dari orang dalam. "Tidak perlu ada
perubahan. Kalau menteri merasa keputusan tidak adil, ia
berwenang membatalkan," ujar seorang pejabat di departemen itu.
Pejabat itu selama ini tidak melihat masalah perburuhan dari
segi adil atau tidaknya keputusan P4. Soal yang sebenarnya,
katanya, adalah sulitnya melaksanakan keputusan lembaga
"peradilan semu" itu.
Ketua Tim Bantuan Hukum dari organisasi buruh, FBSI, Azhar
Achmad, membenarkan bahwa banyak keputusan P4 sering jadi mentah
kembali, karena soal eksekusi itu. Seorang klien pengacara itu,
katanya, pernah memenangkan gugatan melawan pengusaha, sebesar
Rp 1 juta. Tapi buruh itu kaget bukan kepalang ketika diminta
memasang iklan pengumuman di koran mengenai lelang eksekusi --
sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata. Untuk itu ia
terpaksa memimjam uang Rp 500.000 dengan bunga 10% sebulan.
Tapi malang baginya. Begitu iklannya muncul, pengusaha
menggugat balik ke pengadilan, dengan alasan putusan P4 tidak
sah -- alasan yang sering dipakai pengusaha untuk menunda
putusan P4. "Perkaranya terkatung-katung kembali dan yang
menderita tetap buruh," keluh Azhar.
Klien Azhar yang lain, Syarifuddin Siregar, nasibnya juga
demikian. Anak Medan yang menjadi buruh perusahaan kayu di
Kalimantan Timur itu, memang memenangkan gugatan sebanyak Rp 5,5
juta, sebagai pesangon PHK-nya. Pengadilan juga mengabulkan
permohonan untuk eksekusi. Tapi, lagi-lagi buruh juga yang jatuh
sial: perusahaan yang dituntutnya ternyata tidak punya barang
lagi untuk dilelang. Mau apa lagi, selain gigit jari?
Mungkin karena kesulitan-kesulitan itu pula pengacara lain yang
mengkhususkan diri di bidang perburuhan, Syahniar Mahnida,
menuding soal eksekusi sebagai biang kerok rumitnya
penyelesaian masalah perburuhan. Banyak putusan P4 yang jadi tak
berarti, lantaran eksekusi yang macet. "Akibatnya, kemenangan
buruh hanya di atas kertas," tambah Syahniar.
Penyebab kemacetan, menurut Syahniar, karena peraturan tentang
eksekusi belum disertai ketentuan pidana yang setimpal bagi
pengusaha yang tidak mematuhi putusan P4. Menurut undang-undang
perburuhan (UU No. 22/1957) pihak yang kalah bisa dihukum
kurungan sebulan atau denda Rp 10.000. "Apa artinya uang
sebanyak itu bagi pengusaha -- tentu saja banyak yang
melanggar," kata Syahniar sengit.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur Sunu Wahadi, juga mengakui
bahwa masalah eksekusi memang lebih penting diselesaikan
dibanding masalah perubahan susunan anggota P4. Di pengadilan
yang dipimpinnya, katanya, belum pernah ada eksekusi tertunda,
walau ada bantahan dari pihak yang kalah. "Tapi biaya untuk
iklan sangat besar, kadang-kadang hampir menutup hasil
lelangnya," kata Sunu Wahadi.
Menteri Sudomo, tentu saja, tahu betul kerumitan eksekusi. Sebab
itu, katanya, sedang dipikirkan bagaimana cara melaksanakan
keputusan P4 tanpa melalui eksekusi pengadilan. "Mencari putusan
yang bisa diterima kedua pihak yang bersengketa tidak gampang,"
tambah Sudomo. Untuk itulah, katanya, perlu diundang suara orang
kehakiman.
Menteri Kehakiman Ali Said tidak keberatan untuk mengirimkan
orang-orangnya tapi bukan hakim. Orang yang dicari, kata Ali
Said, adalah orang yang mengerti soal yuridis sekaligus paham
masalah perburuhan. Menteri yang pintar ngomong itu mengatakan
bahwa tidak susah mencari orang seperti itu di departemennya.
"Persediaan orang pandai di Indonesia cukup banyak," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini