Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gali-Gali Dan Masyarakat Kita

Masalah gali juga harus dilihat dari sudut defensive crime, kejahatan untuk dapat hidup. sebab desa dan kota tak dapat memenuhi kebutuhan minim. gali sebenarnya juga telah mengakar dalam masyarakat.

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA sejarahwan masyarakat sedikit banyak bersimpati kepada apa yang kini disebut gali. Sebabnya, sejarahwan masyarakat menaikkan ke panggung sejarah bukan para negarawan, seperti para sejarahwan politik dan konvensional, tetapi tokoh masyarakat. Durkheim, tokoh ilmu antropologi, mengatakan bahwa penjahat dan orang politik tidak banyak bedanya: kedua-duanya ingin mengubah masyarakat dalam arti menentang status quo. Hobsbawm, tokoh sejarahwan sosial Inggris, untuk pertama kali memperhatikan para pelanggar hukum ini sebagai gejala sejarah sosial. Hobsbawm menamakan mereka social bandits, bandit sosial, atau primitive rebels, para pemberontak primitif. Seorang ahli hukum mengatakan kepada saya, masalah gali juga harus dilihat dari sudut defensive crime, kejahatan untuk dapat hidup. Maklum kota-kota, pun desa-desa kita, tidak dapat menjamin keperluan minim. Ada juga kejahatan yang timbul dari konflik keluarga (blood feuds), dan lain-lain. Sedang salah satu motif terkuat adalah bila perasaan keadilan dilanggar. Umpamanya kebayan desa yang mencuri kas desa jutaan rupiah hanya dihukum tiga bulan, sedang kakak atau adiknya yang mencuri ayam dihukum tahunan atau ditembak polisi. Ini biasanya menimbulkan perbanditan. Jangan dikata lagi bandit sosial yang mencuri atau memeras dari yang kaya untuk dibagikan kepada yang miskin, yang dilihat sebagai pemberontakan paling primitif dalam masyarakat. Yang menyolok dalam penulisan mengenai banditisme oleh para sejarahwan sosial adalah: bandit dilihat sebagai gejala yang sejajar dengan pejabat yang menarik pajak, tuan tanah, tengkulak, dan lain-lain yang mengeksploitasi masyarakat dengan cara-cara hukum. Di sini kita juga harus mengakui, para sejarahwan sosial seperti para ilmuwan lain biasanya tidak menjadi korban baik dari bandit sosial maupun dari negara, dan karena itu dapat berteori. Setiap negara modern akan mengatakan, semua warga negaranya -- bahkan sering semua orang yang tinggal di wilayahnya -- memiliki hak-hak tertentu. Berlainan dengan masyarakat tradisional. Di situ ada persoalan seperti 'orang luar'. Dan jumlah 'orang luar' ini besar. Misalnya, bagi masyarakat yang berstruktur marga, orang yang di luar marga adalah orang asing. Di desa Jawa orang yang bukan termasuk keturunan cikal-bakal, biarpun penghuni, sebenarnya orang luar. Desa Jawa juga memiliki sistem mengeluarkan orang. Orang yang tidak memiliki tanah apa pun, biasanya buruh tani dan bujangan, dapat ditolak mendirikan rumah atau menumpang di pekarangan orang lain, dan dengan demikian ia terusir. Desa memang dapat mengeluarkan warganya sendiri, biarpun ia lahir di situ. Memang istilah 'tradisional' kelihatan penuh toleransi, namun sebenarnya dapat sekejam seperti istilah 'modern' sendiri. 'Orang luar' adalah korban struktur sosial dan ekonomi, dan merupakan salah satu sumber bandit sosial. Arsip Hindia Belanda mensinyalir adanya puluhan ribu kuli tanpa tempat tinggal yang mundar-mandir d kota-kota. Mereka biasanya hidup sebagai pengangkut barang. Kalau ada kesempatan, mereka sering mencuri. Dan kalau ada pemberontakan, menurut dokumen Belanda, mereka merupakan sumber tentara pemberontak yang tidak terbatas. Pemberontakan Diponegoro (1825-1830) menjadi lama penumpasannya karena peran para 'orang luar' ini. Kecurigaan pemerintah dan masyarakat terhadap golongan ini sudah sejak lama ada, dan dengan mudah mereka dikategorikan penjahat. Salah suatu penyebab lain banditisme adalah konsep dan struktur pengikut di sekitar seorang jago. Lurah, polisi, atau pejabat lain, di mata rakyat adalah jago. Sering dikatakan di Indonesia tidak ada oposisi. Memang, yang ada adalah jago tandingan. Di samping lurah selalu ada seorang atau beberapa jago desa, dan mereka ini dapat melakukan fungsi lurah dalam melindungi, menarik upeti atau menjadi penghubung antara penghuni desa dan dunia luar. Sering juga pengusaha di luar, misalnya bupati, mengadakan hubungan dengan jago-jago ini dan memakainya untuk mengontrol lurah atau demi politik divide et empera. Keadaan ini sering terdapat juga di kota. Dan akar masuknya karisma dan jago dalam pemerintahan ini adalah kurangnya aparat yang terdidik dan ampuh. Manipulasi keadaan harus menggantikan peraturan birokratis dan hukum. Seringnya ada peperangan di masyarakat tradisional, yang juga lazim dikenal sebagai perang desa, kira-kira 200 tahun lalu, juga menumbuhkan para jago. Pencurian dan perampokan jago-jago ke desa lain -- bukan desa sendiri -- dirasakan dalam masyarakat tradisional tidak sebagai pelanggaran hukum, tapi sebagai ekspedisi dengan hak atas rampasan perang. Sampai jauh ke dalam abad XX arsip Hindia Belanda menyebutkan, para jago yang merampok di desa lain sering didukung oleh lurah desa asal. Bahkan ada bupati, sampai akhir abad XIX, yang melindungi jago daerahnya yang merampok di kabupaten tetangganya -- dan dengan cara ini ternak seorang bupati di Jawa Timur dapat berjumlah ribuan. Dalam abad XIX, hampir seluruh organisasi kepolisian pribumi terdiri dari jago-jago -- karena tidak ada alat-alat ilmiah seperti detektif di Barat dalam pembongkaran kejahatan. Inforrnan merupakan alat terpenting, dan mereka sering terdiri dari penjahat sendiri. Prinsip mempertahankan keamanan lalu menjadi 'menangkap maling dengan maling', dan keadaan ini dapat berlanjut sampai kini. Pun ilmu perdukunan ada di belakang para jago. Dan semua ini hanya menunjukkan betapa cabang pelanggaran hukum (menurut kita) berakar dalam masyarakat. Kejagoan dan pelanggaran hukum (menurut konsep negara kolonial) itu berkembang pula di sekitar perdagangan dengan hak-hak monopoli pemerintah -- penjualan garam, candu, dan lain-lain -- dan di sekitar perkebunan dengan larangan-larangannya seperti terhadap gula rakyat, kopi rakyat, tanaman paksa dan seterusnya. Dengan singkat, makin adanya hak monopoli, makin banyak usaha klandestin, di bawah tanah. Hindia Belanda bersemboyan rust en orde -- aman dan tenteram. Namun di belakang birokrasinya dan politik pax Neerlandica, ada suatu dunia kekerasan yang menurut konsepsinya sebenarnya di luar hukum alias liar. Hindia Belanda memiliki dua alat untuk merealisasikan kebijaksanaannya: politie-rol, pengadilan polisi, dan hak-hak extra-ordinair gubernur jenderal. Pengadilan polisi dikuasai para eksekutif: residen atau asisten residen, bupati dan para pejabat setempat. Dan tidak terdiri dari para hakim otonom seperti menurut konsep Barat. Pengadilan ini membagi-bagikan hukuman kepada siapa yang dipandang melanggar peraturan pemerintah. Hukuman ringan biasanya tiga sampai enam bulan penjara, kerja tahanan, dan dalam abad XIX pecut di depan umum, dan lain-lain. Pembuktian pelanggaran hukum tidak banyak dipersoalkan lebih bersifat tindakan eksekutif terhadap pelanggar perintah. Sudah kelihatan betapa sukarnya pembuktian pelanggaran hukum oleh para pengganggu keamanan menurut konsep kolonial. Seperti terhadap seorang dukun yang mengajarkan ilmu gaib kepada para pencuri, atau lebih-lebih kepada penyebar ide ratu adil. Sehingga ada kekuasaan istimewa gubernur jenderal untuk menindak. Ia, dengan nasihat para pejabat setempat, Dewan Hindia dan lain-lain, dapat membuang orang -- biasanya ke luar Jawa, atau sebaliknya dari daerah luar Jawa ke Jawa. Dalam masa pergerakan nasional kita ketahui banyaknya pemimpin nasionalis dikenai tindakan pembuangan lni: Sukarno, Hatta Sjahrir, dan beribu yang lain. Dan hak extra-oridinair gubernur jenderal ini dipraktekkan sejak lama. Kerusuhan atau perampokan di satu daerah, misalnya, Madiun di tahun 1900, mengakibatkan dibuangnya jago-jago dan dukun dalam jumlah puluhan ke tanah seberang, kadang untuk seumur hidup. Hindia Belanda, bagaimanapun reaksi kita terhadap kolonialis itu merupakan negara modern pertama di Indonesia namun tidak timbul dari masyarakat sendiri seperti umpamanya di Barat. Negara kolonial menghadapi masyarakat tradisional, tetapi prinsip negaranya modern karena berasal dari sana. Tindakan eksekutif terhadap 'pengganggu keamanan' -- dan bukan 'hukum', yang ebenarnya menjadi prinsipnya -- dijadikan tindakan istimewa, seperti diakui sendiri dengan sebutan extra-ordinair bagi gubernur jenderal. Kelemahan reim kolonial adalah tidak maunya, dan tidak mampunya, mengintegrasikan jago-jago ini -- para gali -- ke dalam pembentukan masyarakat modern yang dinamis. Para ilmuwan sosial memang menduga golongan jago sebagai faktor dinamis masyarakat kita. Sebab merekalah yang berjuang, biarpun secara salah, dan bukan para penerima status quo keterbelakangan. Akhirnya Hindia Belanda juga sadar, gejala jago dengan segala konsekuensinya tidak dapat diatasi -- sebab ia berakar. Tindakan seperti pengasingan dan pengadilan polisi hanya berfungsi sebagai penghambat atau pembersihan terhadap yang paling menyolok. Hanya dengan suatu perubahan sosial dan pelembagaan lebih lanjut peraturan, hukum dan lain-lain, gejala tersebut akan hilang dan untuk ini Hindia Belanda tidak mampu dan tidak mau. Koloniaiisme memang tidak berarti lain dari dipetieskannya struktur masyarakat dan sampai kini kita masih menghadapi soal-soalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus