PARA sejarahwan masyarakat sedikit banyak bersimpati kepada apa
yang kini disebut gali. Sebabnya, sejarahwan masyarakat
menaikkan ke panggung sejarah bukan para negarawan, seperti para
sejarahwan politik dan konvensional, tetapi tokoh masyarakat.
Durkheim, tokoh ilmu antropologi, mengatakan bahwa penjahat dan
orang politik tidak banyak bedanya: kedua-duanya ingin mengubah
masyarakat dalam arti menentang status quo. Hobsbawm, tokoh
sejarahwan sosial Inggris, untuk pertama kali memperhatikan para
pelanggar hukum ini sebagai gejala sejarah sosial. Hobsbawm
menamakan mereka social bandits, bandit sosial, atau primitive
rebels, para pemberontak primitif.
Seorang ahli hukum mengatakan kepada saya, masalah gali juga
harus dilihat dari sudut defensive crime, kejahatan untuk dapat
hidup. Maklum kota-kota, pun desa-desa kita, tidak dapat
menjamin keperluan minim. Ada juga kejahatan yang timbul dari
konflik keluarga (blood feuds), dan lain-lain.
Sedang salah satu motif terkuat adalah bila perasaan keadilan
dilanggar. Umpamanya kebayan desa yang mencuri kas desa jutaan
rupiah hanya dihukum tiga bulan, sedang kakak atau adiknya yang
mencuri ayam dihukum tahunan atau ditembak polisi. Ini biasanya
menimbulkan perbanditan.
Jangan dikata lagi bandit sosial yang mencuri atau memeras dari
yang kaya untuk dibagikan kepada yang miskin, yang dilihat
sebagai pemberontakan paling primitif dalam masyarakat.
Yang menyolok dalam penulisan mengenai banditisme oleh para
sejarahwan sosial adalah: bandit dilihat sebagai gejala yang
sejajar dengan pejabat yang menarik pajak, tuan tanah,
tengkulak, dan lain-lain yang mengeksploitasi masyarakat dengan
cara-cara hukum. Di sini kita juga harus mengakui, para
sejarahwan sosial seperti para ilmuwan lain biasanya tidak
menjadi korban baik dari bandit sosial maupun dari negara, dan
karena itu dapat berteori.
Setiap negara modern akan mengatakan, semua warga negaranya --
bahkan sering semua orang yang tinggal di wilayahnya -- memiliki
hak-hak tertentu.
Berlainan dengan masyarakat tradisional. Di situ ada persoalan
seperti 'orang luar'. Dan jumlah 'orang luar' ini besar.
Misalnya, bagi masyarakat yang berstruktur marga, orang yang di
luar marga adalah orang asing. Di desa Jawa orang yang bukan
termasuk keturunan cikal-bakal, biarpun penghuni, sebenarnya
orang luar.
Desa Jawa juga memiliki sistem mengeluarkan orang. Orang yang
tidak memiliki tanah apa pun, biasanya buruh tani dan bujangan,
dapat ditolak mendirikan rumah atau menumpang di pekarangan
orang lain, dan dengan demikian ia terusir. Desa memang dapat
mengeluarkan warganya sendiri, biarpun ia lahir di situ. Memang
istilah 'tradisional' kelihatan penuh toleransi, namun
sebenarnya dapat sekejam seperti istilah 'modern' sendiri.
'Orang luar' adalah korban struktur sosial dan ekonomi, dan
merupakan salah satu sumber bandit sosial. Arsip Hindia Belanda
mensinyalir adanya puluhan ribu kuli tanpa tempat tinggal yang
mundar-mandir d kota-kota. Mereka biasanya hidup sebagai
pengangkut barang. Kalau ada kesempatan, mereka sering mencuri.
Dan kalau ada pemberontakan, menurut dokumen Belanda, mereka
merupakan sumber tentara pemberontak yang tidak terbatas.
Pemberontakan Diponegoro (1825-1830) menjadi lama penumpasannya
karena peran para 'orang luar' ini. Kecurigaan pemerintah dan
masyarakat terhadap golongan ini sudah sejak lama ada, dan
dengan mudah mereka dikategorikan penjahat.
Salah suatu penyebab lain banditisme adalah konsep dan struktur
pengikut di sekitar seorang jago. Lurah, polisi, atau pejabat
lain, di mata rakyat adalah jago. Sering dikatakan di Indonesia
tidak ada oposisi. Memang, yang ada adalah jago tandingan. Di
samping lurah selalu ada seorang atau beberapa jago desa, dan
mereka ini dapat melakukan fungsi lurah dalam melindungi,
menarik upeti atau menjadi penghubung antara penghuni desa dan
dunia luar.
Sering juga pengusaha di luar, misalnya bupati, mengadakan
hubungan dengan jago-jago ini dan memakainya untuk mengontrol
lurah atau demi politik divide et empera. Keadaan ini sering
terdapat juga di kota. Dan akar masuknya karisma dan jago dalam
pemerintahan ini adalah kurangnya aparat yang terdidik dan
ampuh. Manipulasi keadaan harus menggantikan peraturan
birokratis dan hukum.
Seringnya ada peperangan di masyarakat tradisional, yang juga
lazim dikenal sebagai perang desa, kira-kira 200 tahun lalu,
juga menumbuhkan para jago. Pencurian dan perampokan jago-jago
ke desa lain -- bukan desa sendiri -- dirasakan dalam masyarakat
tradisional tidak sebagai pelanggaran hukum, tapi sebagai
ekspedisi dengan hak atas rampasan perang. Sampai jauh ke dalam
abad XX arsip Hindia Belanda menyebutkan, para jago yang
merampok di desa lain sering didukung oleh lurah desa asal.
Bahkan ada bupati, sampai akhir abad XIX, yang melindungi jago
daerahnya yang merampok di kabupaten tetangganya -- dan dengan
cara ini ternak seorang bupati di Jawa Timur dapat berjumlah
ribuan.
Dalam abad XIX, hampir seluruh organisasi kepolisian pribumi
terdiri dari jago-jago -- karena tidak ada alat-alat ilmiah
seperti detektif di Barat dalam pembongkaran kejahatan.
Inforrnan merupakan alat terpenting, dan mereka sering terdiri
dari penjahat sendiri. Prinsip mempertahankan keamanan lalu
menjadi 'menangkap maling dengan maling', dan keadaan ini dapat
berlanjut sampai kini. Pun ilmu perdukunan ada di belakang para
jago. Dan semua ini hanya menunjukkan betapa cabang pelanggaran
hukum (menurut kita) berakar dalam masyarakat.
Kejagoan dan pelanggaran hukum (menurut konsep negara kolonial)
itu berkembang pula di sekitar perdagangan dengan hak-hak
monopoli pemerintah -- penjualan garam, candu, dan lain-lain --
dan di sekitar perkebunan dengan larangan-larangannya seperti
terhadap gula rakyat, kopi rakyat, tanaman paksa dan seterusnya.
Dengan singkat, makin adanya hak monopoli, makin banyak usaha
klandestin, di bawah tanah.
Hindia Belanda bersemboyan rust en orde -- aman dan tenteram.
Namun di belakang birokrasinya dan politik pax Neerlandica, ada
suatu dunia kekerasan yang menurut konsepsinya sebenarnya di
luar hukum alias liar. Hindia Belanda memiliki dua alat untuk
merealisasikan kebijaksanaannya: politie-rol, pengadilan polisi,
dan hak-hak extra-ordinair gubernur jenderal.
Pengadilan polisi dikuasai para eksekutif: residen atau asisten
residen, bupati dan para pejabat setempat. Dan tidak terdiri
dari para hakim otonom seperti menurut konsep Barat. Pengadilan
ini membagi-bagikan hukuman kepada siapa yang dipandang
melanggar peraturan pemerintah. Hukuman ringan biasanya tiga
sampai enam bulan penjara, kerja tahanan, dan dalam abad XIX
pecut di depan umum, dan lain-lain. Pembuktian pelanggaran hukum
tidak banyak dipersoalkan lebih bersifat tindakan eksekutif
terhadap pelanggar perintah.
Sudah kelihatan betapa sukarnya pembuktian pelanggaran hukum
oleh para pengganggu keamanan menurut konsep kolonial. Seperti
terhadap seorang dukun yang mengajarkan ilmu gaib kepada para
pencuri, atau lebih-lebih kepada penyebar ide ratu adil.
Sehingga ada kekuasaan istimewa gubernur jenderal untuk
menindak. Ia, dengan nasihat para pejabat setempat, Dewan Hindia
dan lain-lain, dapat membuang orang -- biasanya ke luar Jawa,
atau sebaliknya dari daerah luar Jawa ke Jawa.
Dalam masa pergerakan nasional kita ketahui banyaknya pemimpin
nasionalis dikenai tindakan pembuangan lni: Sukarno, Hatta
Sjahrir, dan beribu yang lain. Dan hak extra-oridinair gubernur
jenderal ini dipraktekkan sejak lama. Kerusuhan atau perampokan
di satu daerah, misalnya, Madiun di tahun 1900, mengakibatkan
dibuangnya jago-jago dan dukun dalam jumlah puluhan ke tanah
seberang, kadang untuk seumur hidup.
Hindia Belanda, bagaimanapun reaksi kita terhadap kolonialis itu
merupakan negara modern pertama di Indonesia namun tidak timbul
dari masyarakat sendiri seperti umpamanya di Barat. Negara
kolonial menghadapi masyarakat tradisional, tetapi prinsip
negaranya modern karena berasal dari sana. Tindakan eksekutif
terhadap 'pengganggu keamanan' -- dan bukan 'hukum', yang
ebenarnya menjadi prinsipnya -- dijadikan tindakan istimewa,
seperti diakui sendiri dengan sebutan extra-ordinair bagi
gubernur jenderal.
Kelemahan reim kolonial adalah tidak maunya, dan tidak
mampunya, mengintegrasikan jago-jago ini -- para gali -- ke
dalam pembentukan masyarakat modern yang dinamis. Para ilmuwan
sosial memang menduga golongan jago sebagai faktor dinamis
masyarakat kita. Sebab merekalah yang berjuang, biarpun secara
salah, dan bukan para penerima status quo keterbelakangan.
Akhirnya Hindia Belanda juga sadar, gejala jago dengan segala
konsekuensinya tidak dapat diatasi -- sebab ia berakar. Tindakan
seperti pengasingan dan pengadilan polisi hanya berfungsi
sebagai penghambat atau pembersihan terhadap yang paling
menyolok. Hanya dengan suatu perubahan sosial dan pelembagaan
lebih lanjut peraturan, hukum dan lain-lain, gejala tersebut
akan hilang dan untuk ini Hindia Belanda tidak mampu dan tidak
mau. Koloniaiisme memang tidak berarti lain dari dipetieskannya
struktur masyarakat dan sampai kini kita masih menghadapi
soal-soalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini