MIMPI Mutiari, 26 tahun, tak sekadar menghiasi tidur, tapi juga menjadi isyarat kebebasan. "Saya bermimpi mendapat lima belimbing besar. Dua hari kemudian saya diizinkan pulang," cerita Mutiari kepada TEMPO, di rumah orang tuanya. Sejak Selasa pekan lalu, Mutiari boleh meninggalkan ruang berjeruji berukuran 6 x 8 meter persegi di LP Sidoarjo, tempat ia bermukim selama tujuh bulan ini. Begitu lepas dari LP, cewek kuning langsat itu mengadakan syukuran. Bersama suaminya, kepala personalia di perusahaan tempat almarhumah Marsinah bekerja itu langsung mengungsi ke suatu tempat. "Honeymoon-lah ceritanya," kata Mutiari. Tak hanya itu. Ia membuang benda yang dianggap sebagai pembawa sial. Rambutnya, yang selama ia di penjara tak terawat, dipendekkan. Baju selama ia di tahanan dibagi-bagikannya kepada bekas rekannya di satu sel. "Ini untuk membuang sial yang melekat pada diri saya," katanya. Kebebasan itu disambut dengan gembira. Sanak saudara dari jauh ikut merayakan dengan berkumpul di rumah orang tua Mutiari. Seorang wanita tua tetangganya, sambil tersedu-sedu, mencium pipinya. "Sudahlah, Nak. Cukup sekali saja seumur hidup," kata wanita itu. Kebebasan memang peristiwa yang sudah lama ia tunggu. Seperti diketahui, Mutiari, terdakwa yang pertama kali disidangkan berkaitan dengan kasus terbunuhnya buruh Marsinah, divonis oleh hakim terlibat dalam pembunuhan itu. Ia dinyatakan tahu adanya rencana pembunuhan tapi tak melapor. Hakim pun menjaringnya dengan Pasal 165 KUHP (mengetahui permufakatan jahat tapi tak mau melapor). Pengantin baru ini diganjar tujuh bulan penjara potong tahanan. Mutiari, yang tak merasa bersalah, banding. "Dihukum sedetik pun saya tak mau," katanya. Bila tak banding, seharusnya ia bebas murni 2 Mei ini. Tapi, karena bandingnya itu, vonis untuk Mutiari dipandang belum punya kekuatan hukum tetap. Maka, mulai 9 April 1994, oleh pengadilan tinggi, masa penahanannya dimolorkan 51 hari. Pengacara Mutiari, Richard Wahjoedi, rupanya tak sependapat terhadap perpanjangan masa tahanan ini. "Ia hanya dikenai dakwaan yang ancaman hukumannya maksimum sembilan bulan penjara. Jadi, tak layak penahanannya dimolorkan," tutur Richard, mengutip Pasal 21 KUHAP. Menurut pasal ini, memang hanya terdakwa yang diancam lima tahun penjara atau lebih yang perlu ditahan. Keberatan Richard rupanya dijadikan pertimbangan oleh hakim pengadilan tinggi. Dalam sidang pertama, Senin pekan lalu, diputuskan bahwa Mutiari tak perlu ditahan. Dalih yang dipakai sama dengan versi pengacara tadi, yaitu Pasal 21 KUHAP. "Tak cukup alasan menahan terdakwa, sebab ia hanya dipersalahkan melanggar Pasal 165 KUHP," kata Nyonya Wieke S. Kumawati, S.H., Kepala Humas Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Hakim tidak secara eksplisit mengabulkan permohonan pengacara. Tapi, bila dilihat dari dasar hukum penetapan yang dipakai, terlihat bahwa argumentasi tim pembela diterima. "Penetapan ini juga menunjukkan bahwa hakim benar-benar independen," kata Richard. Sejak semula, pengacara dari LBH Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini melihat beberapa pihak ingin agar Mutiari ditahan. Kelompok ini, kata Richard, khawatir kalau Mutiari tak ditahan akan mencari bukti-bukti yang dapat meringankan dirinya. "Yang jelas, saya sekarang sangat gembira keluarga muda itu bisa berkumpul kembali," kata Richard. Kini Mutiari sudah berkumpul dengan keluarganya. Ia merencanakan menulis buku tentang kisah pahit yang dialaminya. Tapi hingga kini ia tak dapat mengusir rasa khawatir yang menghantuinya. "Saya selalu bertanya-tanya kepada suami, apa benar nanti saya akan bebas," katanya. Wajar bila ia cemas, sebab perkara bandingnya sekarang belum diputus. Dan ada dua kemungkinan vonis yang keluar, lebih berat atau lebih ringan. Di sini Mutiari merasa pesimistis karena kasus ini terlalu banyak muatan politisnya. "Bagaimanapun, yang saya hadapi adalah kekuasaan," tuturnya. Tenang, Mut, kebenaran akan datang juga.Iwan Q.H. dan Widjajanto (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini