Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ngadat nan ampuh

Medan dijadikan jalur penyelundupan heroin ketiga, setelah Jakarta dan Denpasar. pelakunya dibekuk bersama barang bukti Rp 24 miliar.

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETUGAS Imigrasi Bandara Polonia Medan cepat merasa curiga. Pada Minggu pagi pekan lalu itu, mata dan feeling mereka memang sudah mengendus ada ulah yang tidak beres dari sepasang suami- istri asal Thailand yang penumpang pesawat Silk Air. "Seperti rusa masuk kota," kata seorang petugas. Kedua turis berpakaian lusuh itu celingak-celinguk dan grogi. Kemudian ia mengontak rekannya, seorang petugas Bea dan Cukai. Ia tak lupa berpesan agar rekannya itu cermat meneliti tas milik turis yang akan lewat conveyor, ban berjalan pembawa barang. Maklum, alat pendeteksi sinar-X di Polonia itu sedang tidak berfungsi. Berkat kontak tersebut, dua turis tadi, yaitu Saelow Praesert, 52 tahun, dan istrinya, Namsong Sirilak, 22 tahun, digiring ke kamar Kepala Subseksi Hanggar Pabean II. Dua buah tas mereka digeledah. Isi tas tersebut memang pakaian mereka, tapi beratnya mencurigakan. Tas itu kemudian dirobek. Ternyata, di bagian dalam sisi kiri, kanan, dan dasar tas, terdapat 16 bungkus bubuk heroin seberat 12,19 kg. Nilai bubuk putih itu sekitar Rp 24 miliar. Dua tersangka ini kemudian digiring ke ruang kerja Iswan Ramdana, Kepala Kantor Inspeksi Bea dan Cukai Polonia. Setelah tiga jam mereka diinterogasi, meluncurlah pengakuan bahwa kedua tas itu adalah milik Ayodhya Prasad Chaubey, 55 tahun, warga negara India. Menurut Praesert, Chaubey yang menjadi tetangga di Bangkok itu sedang menunggu mereka di Hotel Garuda Plaza, Medan. Segera saja dua petugas Bea dan Cukai Polonia memburu Chaubey ke hotel tersebut. Ternyata mereka menemukan Chaubey di lobi hotel itu sedang gelisah. Dan ia kerap mengawasi pintu masuk hotel, seperti menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu. Telah dua jam pria itu duduk-bangun di lobi hotel tersebut. Melihat buron ini siap tangkap, kedua petugas Bea dan Cukai itu tak mau gegabah. Dikontaknya kepala sekuriti hotel, T.L. Sitorus, untuk mengawasi Chaubey. Kemudian, pria itu mendatangi resepsionis, dan meminta petugas di situ mengecekkan dua temannya, Praesert dan Sirilak, di Bandara Polonia. "Mereka satu pesawat dengan saya, tapi kok bisa terlambat tiba di sini," katanya. "Kalau begitu," sambut T.L. Sitorus, "susul saja ke bandara." Jerat ini mengena. Sebab, pria keling yang tidak lain adalah Chaubey ini bersedia ke Polonia. Setiba di sana, Chaubey diringkus. Tapi, saat dipertemukan dengan Praesert dan Sirilak, ia masih sempat mengelak dan mengatakan tidak mengenal Praesert. Bahkan hampir saja terjadi perang mulut di antara mereka. Namun, Chaubey tidak lagi berkutik ketika disodori bukti bahwa mereka pernah menginap sekamar di Hotel Garuda Plaza, pada 25-28 Januari lalu. Belakangan, dapat pula dikorek pengakuan: ternyata waktu itu mereka memang sedang melakukan observasi. Dari penjajakan ini -- konon mereka sempat membawa heroin -- disimpulkan bahwa Medan merupakan jalur yang aman bagi mereka. Maka, Minggu lalu, mereka naik Silk Air dari Haat-jai, kota perdagangan utama di Thailand Selatan. Stop-over di Singapura dengan tujuan akhir Medan. Menurut Praesert, tiket pulang-pergi ditanggung Chaubey. Untuk tugas ini, montir mobil ini diupah Rp 1,7 juta. Rencananya, Praesert dan Sirilak akan tinggal di Medan dua hari untuk menikmati jerih payah mereka. Dan sebelum memetik hasil, mereka dibekuk. Tapi, kepada petugas, Chaubey yang sudah 23 tahun tinggal di Bangkok itu mengaku bubuk haram tersebut bukan miliknya. Rencananya heroin itu akan diedarkan di Australia dan Amerika."Barang itu saya terima dari Mr. Paul, orang Nigeria, untuk diteruskan ke seseorang di Medan," kata ayah tiga anak itu. Ternyata, salah satu ujung jari telunjuk kirinya tampak bekas sayatan. Konon, pertanda Chaubey telah lulus sebagai agen sindikat narkotik. Dan Rabu pekan lalu, ketiga tersangka ini diserahkan ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Berdasar Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotik, mereka bisa dikenai hukuman mati. Tapi, ketika ancaman hukuman mati ini diinformasikan ke Chaubey, pria yang tak sudi makan daging sapi ini hanya tersenyum. Yang mencoba membawa heroin lewat Polonia Medan memang baru kali ini terdengar, setelah kasus terakhir tahun 1977. Dari fakta ini, agaknya pintu masuk narkotik di luar Jakarta dan Denpasar bertambah satu lagi di Indonesia, yaitu Medan. Pada- hal, untuk melakukan pengawasan ekstraketat, sinar-X di Polonia Medan itu sedang ngadat. "Tapi anak buah saya punya indera keenam untuk mengendus barang haram seperti itu," kata Iswan Ramdana.WY, Munawar Chalil, Sarluhut Napitupulu (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum