Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kanker telepon genggam

Pemilik telepon genggam yang tidak awas mengakibatkan nomornya disadap orang. negara dirugikan miliaran rupiah per tahun.

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI peringatan untuk pemilik telepon genggam. Ternyata, ada benarnya alat itu menjadi "kanker" -- kantong kering. Ketika Anda, sebagai pemilik sah sebuah nomor telepon genggam, sedang terjebak di belantara macet jalan raya, itulah saatnya pulsa Anda dibajak oleh si pencoleng. Mereka cuma tinggal memepet mobil Anda, lalu menyadap nomor Anda. Kini alat itu diperdagangkan secara gelap di Asia. Dan setahun terakhir juga beredar di Jakarta, Surabaya, dan Denpasar. Polisi telah menangkap komplotan Andy dan Hasan di tiga kota tadi, pekan lampau. Mereka pemilik toko elektronik di Surabaya. Selain meringkus 9 pengedar, polisi juga mencokok 8 pemilik telepon genggam gelap. Dari tangan mereka disita 26 unit, dan 36 unit yang belum selesai dirakit. Untuk menghadapi teknologi mutakhir itu polisi belum memiliki peragat tandingannya. Reaksi baru bisa dilakukan setelah ada laporan dari si korban. Tapi, lewat dari 24 jam si pelaku sudah sulit dipantau, seperti diungkapkan Letnan Kolonel Simson Munthe, Kepala Satuan Tugas Reserse Umum Markas Besar Kepolisian RI. Dua keturunan Cina ini, Andy dan Hasan, mengaku bersama 15 kawannya berperan sebagai pengecer. Mereka beroperasi sejak Oktober tahun lalu. Meski hanya lulus SMA, Andy punya bakat mengutak-atik alat elektronik. Ia berperan sebagai teknisi yang menggarap penanaman program nomor telepon asli pada telepon genggam yang masih blangko. Nomor tersebut didapat dengan cara menyadap dari telepon genggam yang sudah punya nomor resmi. Andy dan kawannya menggunakan alat yang disebut Cellular ESN Reader (CER), yaitu sebuah kotak eletronik yang mampu menangkap sinyal berisi kode nomor telepon genggam. Alat ini banyak dijual di Hong Kong dan Taiwan. Biasanya, tiap membeli 100 handphone yang belum bernomor, penjual menghadiahi sebuah CER. Tidak haram, karena resminya dimaksudkan untuk alat memperbaiki telepon genggam. Pelaku memodifikasinya dengan menambahkan alat penguat sinyal sehingga kode heksadesimal nomor telepon genggam bisa dibaca dari jarak 10-20 meter. Untuk menyadap telepon genggam yang dipakai Bung Yuppies dalam Baby Benz, pelaku bisa melakukan dari mobil di sebelahnya ketika jalan macet, misalnya. Pemilik handy merek NEC sebenarnya bisa mengetahui kalau teleponnya disadap. Huruf digital Home akan berubah menjadi Roam B. Jadi, kalau si pemilik awas, ia bisa cepat-cepat mematikan alatnya. Tapi kode semacam itu tidak terdapat pada telepon merek lain, seperti Motorolla, hingga mudah menjadi sasaran empuk para pencoleng pulsa tadi. Dan mereka baru bingung ketika tagihan pulsanya meroket sampai Rp 5-10 juta sebulan. Untuk menunggangi kelengahan pemakai telepon genggam itulah kawanan Andy dan Hasan menjual telepon genggam yang sudah bernomor dengan harga Rp 5-6 juta per unit. Terhitung murah karena tak ada biaya lagi pada masa pascabeli. Artinya, ya, bisa dipakai semau gue. Itu pun ada garansi dari pengedar, misalnya, jika alat itu ngadat. Lebih hebat lagi -- masih dalam masa jaminan tadi -- si pembeli beroleh pelayanan untuk dicarikan nomor baru seandainya nomor yang disadap itu diputuskan pemilik asli. Korbannya sudah banyak. "Hampir semua pemakai telepon genggam yang saya kenal pernah mengalami kelebihan tagihan," kata Letnan Kolonel Simson. Selain itu, pada PT Telkom tiap bulan rata-rata 100 pelanggan memprotes tagihannya melonjak hebat. Padahal, mereka merasa tak pernah menggunakan telepon genggamnya untuk interlokal. Akibatnya, diperkirakan per bulan PT Telkom menanggung Rp 500 juta uang tagihan yang harus dikembalikan ke langganan. Jadi, PT Telkom digergaji sekitar Rp 6 miliar setahun. Melihat besarnya kerugian, Direktur Reserse Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdihardjo menyerukan agar pemilik telepon genggam jangan lengah mengamati sinyal di teleponnya. Terutama, jika mereka memakainya di tengah keramaian, atau di jalan yang sedang macet.Ivan Haris dan Taufik Alwie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum