Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR seribu jaksa berkumpul di lapangan upacara Kejaksaan Agung di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Digagas Persatuan Jaksa-Jaksa Indonesia, para korps jaksa itu menggelar acara penting: apel kesetiaan terhadap profesi. Selain para jaksa yang bertugas di Kejaksaan Agung dan jaksa di Jakarta, hadir dalam acara itu para kepala kejaksaan dari Kejaksaan Negeri Tangerang, Bekasi, Depok, Cibinong, dan Bogor.
Puncak acara itu adalah pembacaan ikrar. Di depan Jaksa Agung Hendarman Supandji, para jaksa berikrar, antara lain, bertekad menegakkan hukum secara profesional dan menjaga kehormatan jaksa. ”Masyarakat sangat mendambakan bukti nyata yang dapat memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat,” kata Hendarman. Apel yang sama, hari itu juga, dilakukan seluruh kejaksaan di Indonesia.
Menjelang Hari Bakti Adhyaksa—hari ulang tahun kejaksaan—ke-49 Rabu pekan ini, Hendarman tampaknya perlu mengingatkan lagi jajarannya. Juni ini, tiga tahun sudah Hendarman memimpin kejaksaan. Ia menggantikan Abdul Rahman Saleh pada Mei 2007.
Hendarman langsung tancap gas begitu duduk sebagai orang nomor satu di korps baju cokelat ini. Sebagai bekas Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipandang sukses menjalankan tugasnya, banyak yang optimistis kejaksaan bakal moncer di tangan Hendarman.
Salah satu yang diluncurkan Hendarman adalah program pembaruan kejaksaan. Pada Juli 2007, Hendarman mengeluarkan sejumlah peraturan yang intinya meningkatkan profesional jaksa: dari soal rekrutmen jaksa, pembinaan karier, hingga kode etik yang harus ditaati jaksa.
Hendarman juga membuat gebrakan mengejutkan, yakni pencanangan ”program 5-3-1” pemberantasan korupsi. Ia mewajibkan setiap tahun kejaksaan tinggi minimal menuntaskan lima kasus korupsi, kejaksaan negeri tiga kasus, dan cabang kejaksaan negeri satu kasus. ”Kasus besar, bukan kasus teri,” ujarnya saat itu. Jumlah kejaksaan di seluruh Indonesia sekitar 400. Ia mengancam memberikan sanksi kepada kejaksaan yang gagal memenuhi target ini.
Sanksi ini tak main-main. Pada awal 2008, Hendarman mengganti sekitar 30 kepala kejaksaan yang dinilai tak becus melaksanakan program itu. Hasil evaluasi bahkan menunjukkan ada kejaksaan yang sama sekali tidak mampu menuntaskan satu kasus korupsi sekali pun. Sejumlah kejaksaan yang dinilai gagal itu, antara lain, kejaksaan di Bali, Riau, Yogyakarta, Gorontalo, dan Kalimantan Tengah.
Ditemui di ruang kerjanya Jumat pekan lalu, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Yuqaiyum Hasib, menyatakan pihaknya sudah maksimal menjalankan perintah Hendarman. ”Tapi, kalau ada penilaian lain dari pimpinan, kami juga tak masalah,” ujarnya. Menurut Yuqaiyum, untuk 2009 ini pihaknya tengah menyidik 33 kasus korupsi. Salah satu kasus kakap yang ditangani perkara korupsi pada Bank Pembangunan Kalteng, yang menggerus duit negara Rp 40 miliar.
Kendati terlihat galak, program 5-3-1 ini memancing sinisme kalangan aktivis antikorupsi. Indonesia Corruption Watch menuding program ini membuat kepala kejaksaan sekadar mengejar target, bukan kualitas. Reformasi kejaksaan yang diluncurkan Hendarman dua tahun lalu juga dinilai tak membawa perubahan lebih baik untuk kejaksaan. ”Nilai Hendarman lima, merah,” kata Emerson Yuntho, Wakil Koordinator ICW.
SEJUMLAH kasus memalukan menerjang kejaksaan selama dua tahun terakhir ini. Kode etik kejaksaan dengan sanksi yang keras bak masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Kasus paling menampar Hendarman adalah saat ketua tim penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Jaksa Urip Tri Gunawan, tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi menerima suap dari Artalyta Suryani.
Kasus Urip ini sekaligus membuka borok para petinggi kejaksaan. Dalam persidangan, terungkap bagaimana dekatnya para petinggi kejaksaan itu dengan Artalyta, perempuan yang dikenal tangan kanan Sjamsul Nursalim.
Kendati Hendarman kemudian memberhentikan atasan Urip, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan Muhammad Salim, toh tindakan itu dianggap setengah hati. Menurut para penggiat antikorupsi, mestinya mereka dicopot sebagai jaksa, bukan hanya ditarik sebagai staf ahli.
Sebagai pengganti Kemas, Hendarman lantas menunjuk Marwan Effendy, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, yang sempat ”diparkir” sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung. Di bawah Marwan, sejumlah kasus korupsi kakap bukannya menggelinding ke pengadilan, sebaliknya justru meredup.
Setidaknya, ada tiga kasus korupsi kakap yang dihentikan penyidikannya lewat mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Antara lain, kasus Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) dengan tersangka Tommy Soeharto, dan kasus penggangsiran dana Asabri dengan tersangka raja properti Ibu Kota, Tan Kian. Marwan berkukuh keluarnya SP3 tersebut sudah sesuai prosedur. ”Karena tidak ada kerugian negara, dan mereka sudah melakukan kewajibannya,” ujarnya.
ICW menghitung setidaknya ada 40 kasus kakap yang jalan di tempat. Misalnya kasus korupsi dana Jamsostek senilai sekitar Rp 62 miliar dan kasus korupsi proyek Exxor Balongan. Di luar itu, pekerjaan rumah kejaksaan yang belum rampung, menangkap buronan kasus korupsi dana BLBI yang membuat duit negara sekitar Rp 600 triliun amblas. ”Kejaksaan seharusnya memprioritaskan kasus berkualitas, kasus yang nilai kerugiannya besar,” ujar Emerson.
Marwan menampik tudingan yang menyebut kejaksaan melempem dalam memberantas korupsi. Menurut Marwan, selama 2008 saja ada sekitar 1.300 kasus korupsi yang disidik kejaksaan. Dari jumlah itu, sekitar 1.000 kasus masuk pengadilan. Ia meminta mereka yang mengkritik kinerja kejaksaan tidak asal mengkritik.
Mantan staf ahli Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Mas Achmad Santosa, menilai Hendarman Supandji gagal memanfaatkan momentum emas untuk memulihkan citra kejaksaan. Achmad menyayangkan Hendarman yang kini membawa kejaksaan kembali tertutup. ”Sedikit demi sedikit tokoh dan pengamat hukum yang mendorong pembaruan kejaksaan tidak lagi dilibatkan,” kata Achmad.
Tapi soal ini dibantah juru bicara kejaksaan, Jasman Pandjaitan. Menurut dia, kejaksaan berkali-kali menggelar diskusi dengan berbagai pihak, termasuk dengan perguruan tinggi. ”Itu kan hanya cara saja, cuma tidak diformalkan” ujarnya.
Di mata Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan, kendati belum maksimal, reformasi yang dilakukan Hendarman sudah terlihat hasilnya. Trimedya juga melihat pengusutan kasus korupsi di bawah Marwan Effendy cukup baik. ”Yang harus ditingkatkan adalah fungsi pengawasan,” katanya.
L.R. Baskoro, Rini Kustiani, Karana W.W. (Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo