Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bagaimana Hasto Kristiyanto Terlibat Suap Harun Masiku

Hasto Kristiyanto menjadi tersangka korupsi dan perintangan penyidikan. Awal mula suap Harun Masiku.

10 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto tersangka Harun Masiku masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di laman website KPK, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 30 Juni 2020. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus suap Harun Masiku kembali menghangat setelah KPK menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.

  • Kasus ini bermula dari pergantian calon anggota DPR yang meninggal lima tahun lalu.

  • Penyidik KPK sudah mengantongi bukti keterlibatan Sekjen PDIP itu sejak empat tahun lalu.

KASUS suap kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum periode 2017-2022, Wahyu Setiawan, kembali menghangat. Setelah pernah mandek nyaris lima tahun, setelah konflik PDIP dengan mantan Presiden Jokowi mencuat, Komisi Pemberantasan Korupsi berani menetapkan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua KPK Setyo Budiyanto mengumumkan penetapan status tersangka Hasto Kristiyanto dan kader PDIP Donny Tri Istiqomah pada 24 Desember 2024. Setyo mengklaim penetapan status tersangka itu berdasarkan gelar perkara dan surat perintah penyidikan yang ditandatangani pimpinan KPK baru, sehari setelah Presiden Prabowo Subianto melantiknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setyo mengatakan keduanya terlibat dalam penyuapan terhadap Wahyu, lima tahun lalu. KPK juga menetapkan Hasto sebagai tersangka perintangan penyidikan alias obstruction of justice. "HK (Hasto) mengatur dan mengendalikan DTI (Donny) untuk aktif mengambil dan mengantarkan uang suap untuk diserahkan kepada komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui Tio (Agustiani Tio Fridelina)," kata Setyo.

Kasus ini bemula dari meninggalnya calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat PDIP, Nazarudin Kiemas, pada 19 Maret 2019 atau sekitar sebulan sebelum tanggal pencoblosan. Nazarudin menjadi calon anggota legislatif PDIP dengan suara terbanyak di daerah pemilihan I Sumatera Selatan. 

Karena Nazarudin wafat, Hasto memerintahkan tim hukum PDIP memberi kuasa kepada Donny untuk menggugat ketentuan penunjukkan anggota DPR pergantian antar waktu ke Mahkamah Agung pada Juni 2019. Mereka menggugat materi Pasal 37 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara. Dalam gugatannya, PDIP meminta suara anggota DPR yang meninggal diserahkan kepada partai politik. Artinya, partai bebas menentukan calon pengganti anggota DPR tersebut. 

Laki-laki yang diduga Harun Masiku melintas di selasar Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, 7 Januari 2020. Dok. Tempo

Sebulan berselang, Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi PDIP tersebut. Inti putusan itu, Mahkamah menyerahkan suara calon legislator yang meninggal ke partai. Atas kemenangan gugatan tersebut, Harun memberi uang Rp 100 jtuta ke Donny.

Berbekal putusan tersebut, PDIP menggelar rapat pleno untuk menggantikan Nazarudin Kiemas. Rapat itu memilih Harun sebagai penggantinya. Padahal, perolehan suara Harun Masiku dalam Pemilu 2019 di daerah pemilihan Sumatera Selatan I hanya hanya 5.878 suara. Menurut penghitungan KPU, suara Harun kalah jauh oleh Riezky Aprilia yang memperoleh suara 44.402 dan berada di posisi kedua di bawah Nazarudin.

PDIP kemudian mengirimkan hasil rapat pleno tersebut ke KPU. Mereka meminta KPU menetapkan Harun sebagai pengganti Nazarudin. Tapi balasan KPU tak sesuai dengan harapan PDIP. Mereka menolak menetapkan Harun sebagai pengganti Nazarudin, justru mengirim Rizky ke DPR. 

Tak terima oleh keputusan KPU, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa Mahkamah Agung. Pada 23 September, partai ini mengirim surat lagi ke KPU yang berisi penetapan calon legislator yang meninggal merupakan kewenangan partai politik. “Kami tiga kali menerima surat dari PDIP," ujar Ketua KPU saat itu, Arief Budiman, dalam wawancara dengan majalah Tempo, lima tahun lalu. 

Tak hanya lewat jalur resmi, menurut penelusuran Tempo, Hasto juga memerintahkan salah seorang stafnya, Saeful Bahri, melobi KPU. Saeful kemudian mendekati Wahyu Setiawan lewat eks anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Agustiani Tio Fridelina Sitorus. Saeful mengirim dokumen penetapan calon legislator dan fatwa MA tersebut kepada Tio yang kemudian meneruskannya ke Wahyu melalui pesan WhatsApp. Tio pun menyelipkan pesan agar Wahyu membantu proses penetapan Harun sebagai anggota DPR.

Belakangan, Wahyu meminta imbalan untuk operasional sebesar Rp 900 juta. Gerak bawah tanah Hasto dan pasukannya ini rupanya terendus penyidik KPK. “Saeful mengatakan kepada Hasto butuh Rp 1,5 miliar untuk melobi KPU,” ujar penegak hukum yang mengetahui kasus ini.  

Unjuk rasa membentangkan poster bergambar Harun Masiku, yang masuk dalam daftar pencarian orang tindak pidana korupsi, di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Senin, 15 Januari 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Hasto, menurut tiga sumber yang berbeda, juga diduga mengetahui soal permintaan pelicin dari Tio kepada Saeful. “Hasto bilang siap menyediakan dana. Harun juga akan menyediakan dana karena dia caleg yang berkepentingan,” ujar tiga penegak hukum yang mengetahui proses ini. 

Uang itu, menurut sumber di lingkup internal penegak hukum, mengalir ke Saeful lewat salah satu ajudan Hasto yang menyerahkan uang sebesar Rp 400 juta kepada Donny di salah satu ruang DPP PDIP pada 16 Desember 2019. Ajudan itu sembari menyampaikan, “Mas, ini perintah dari Sekjen untuk operasional Saeful Bahri.” 

KPK kemudian menggelar operasi tangkap tangan saat uang itu berpindah tangan ke Wahyu di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada 8 Januari 2020. Saeful, Donny, dan Tio juga ikut terciduk dalam OTT itu. Dalam perjalanan ke kantor KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Wahyu sempat berceloteh soal peran Hasto dan Harun. 

Seketika, tim penyidik langsung membuat rencana pencidukan Hasto dan Harun. Tapi rencana itu buyar setelah Ketua KPK Firli Bahuri menggelar konferensi pers. Kepada wartawan, Firli menceritakan soal OTT yang tengah berlangsung. Langkah Firli ini janggal karena KPK biasanya baru mengumumkan OTT setelah mereka menangkap semua target dan menggelar ekspose. “Dia sepertinya sengaja merusak rencana penangkapan,” kata seseorang yang pernah ikut menyidik kasus ini.

Penyidik KPK menguntit Harun Masiku pada magrib, 8 Januari 2020. Dia terpantau di depan Grand Cafe, lantai 3, Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat. Sekitar setengah jam kemudian, Harun bergeser ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Di sana dia bertemu dengan Nurhasan, penjaga kantor Hasto.

Menaiki sepeda motor bersama Nurhasan, Harun menuju kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)—sekarang bernama Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian—di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tim penyidik KPK Menduga Hasto berada di lokasi yang sama. Operasi penangkapan Hasto gagal setelah sejumlah polisi menahan lima anggota satuan tugas penindakan KPK tersebut. Mereka diminta memberitahukan password ponsel, bahkan menjalani tes urine. 

Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat itu mengakui peristiwa penangkapan tersebut. “Terjadi kesalahpahaman,” ujar Ali. Sedangkan Kepala Biro Penerangan Umum Kepolisian RI Brigadir Jenderal Argo Yuwono mengatakan penahanan tersebut sah. “Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah.”

Kamis malam, 9 Januari 2020, setelah mengadakan gelar perkara, KPK mengumumkan penetapan Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, Harun Masiku, dan Saeful Bahri sebagai tersangka kasus suap. Namun mereka tak menetapkan Hasto dan Donny sebagai tersangka meski perannya terang-benderang.

Seorang pejabat KPK bahkan langsung mengambil kesimpulan Hasto tak terlibat. “Siapa yang berani Hasto tersangka? Enggak ada, kan?” ucap pejabat itu seperti ditirukan tiga orang yang mengetahui peristiwa tersebut. KPK bahkan melepas Donny karena dianggap kooperatif. 

Dalam wawancara dengan majalah Tempo, pekan lalu, Hasto membantah tudingan dugaan terlibat suap dan melindungi Harun Masiku. Menurut dia, tak ada keuntungan menyuap Wahyu Setiawan atau menghalangi penangkapan Harun. Persidangan para terdakwa juga tak pernah menyebutnya ikut menyediakan uang suap. “Semua sudah menjadi fakta di persidangan,” ujarnya.

Mutia Yuantisya, Ade Ridwan Yandwiputra, Linda Trianita, dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus