Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nusakambangan: berat apa ringan

Pelaku penyelundupan akan dibuang ke nusakambangan. tapi bismar siregar menganggap tak akan banyak manfaatnya kalau oknum pejabat masih ada yang membantu penyelundupan. (hk)

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA artinya Pulau Nusakambangan? "Tidak berarti apa-apa bagi penyelundupan, manakala pembuangan ke empat itu hanya dianggap sekedar sesuatu risiko dari pekerjaannya saja". Itu komentar Hakim Bismar Siregar SH kepada TEMPO menanggapi kebijaksanaan pemerintah, yang akan menyekap setiap tersangka perkara penyelundupan dan yang didakwa terlibat ke kompleks Lembaga Pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan. Sebab, seperti kata hakim yang mengadili pejabat tinggi Bea Cukai Abu Kiswo, ini dua minggu lalu, "kadang-kadang penyelundupan hanya merupakan akibat saja dari kesempatan yang diberikan oleh oknum pejabat tertentu seperti yang banyak terjadi selama ini". Lanjutnya: "Dan sama sekali tidak akan banyak hasilnya kalau kita hanya mau memberantas 'akibat' dari kesempatan yang diperolehnya itu." Namun begitu," hendaknya ancaman dan penahanan berat itu betul-betul dilaksanakan dengan baik dan tertib, agar apa yang telah diucapkan pemerintah tidak menjadi kata yang hilang tak berbekas". Untunglah hari pertama bulan ini, dalam kesempatan jumpa pers bersama Kapolri, Kas Kopkamtib dan Dirjen Bea Cukai (lihat: Nasioal), Jaksa Agung Ali Said SH mengumumkan: 17 importir penyelundup sebagian sudah ditahan di Nusakambangan bersama oknum pejabat yang terlibat. Dan mudah-mudahan pulau dekat kota Cilacap, Jawa Tengah itu masih merupakan 'pulau hantu' bagi setiap tersangka dan narapidana kelas berat. Malah sudah beberapa tahun sebagian pulau ini dihuni oleh tahanan PKI. Pengadilan Bismar, yang terletak di Jakarta Utara, dari sudut lokasinya kebetulan berwenang mengadili beberapa perkara penyelundupan yang dijerat dari tiga pintu masuk: PeLabuhan Samudra Tanjung Priok, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Udara Halim PK. Tahun lalu tercatat 12 perkara penyelundupan yang masuk. Angka yang tidak menonjol, jika dibandingkan dengan ribut dan gemuruhnya masalah penyelundupan seperti tersiar terakhir ini. Omsetnya "seluruhnya lebih kurang Rp 100 juta", diperjelas Bismar. Dari jumlah inipun, "sebagian besar dari satu perkara saja yaitu penyelundupan berlian". Selebihnya dari perkara kelas langgung, seperti penyelundupan candu lewat Pasar Ikan. Dari angka milik Bismar ini, lalu ditambah beberapa perkara dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (misalnya perkara penyelundupan 72 ton cengkeh yang belum selesai) tampaknya perkara penyelundupan itu lebih banyak dibicarakan di luar meja hijau. Masuk akal. Karena untuk jenis penyelundupan administrasi -- manipulasi dokumen untuk memasukkan barang dalam rangka menghindari atau mengurangi bea masuk -- sudah diperkenalkan sistim denda damai. Ini istilah resmi, dan bukan semacam 'pritjigo' untuk denda damai pelanggaran lalu lintas. Jaksa Agung pernah menyatakan, dalam salah sebuah pertemuan dengan wartawan: "Itu hanya istilah saja, yang penting uangnya tetap masuk ke kas negara". Tidak Mau Direcoki Selama ini tertuduh penyelundup diancam hukuman seperti yang dirumuskan dalam rangka tindak pidana ekonomi. Paling-paling, jika seperti dalam kasus Abu Kiswo -- pejabat B & C yang dituduh terlibat dalam penyelundupan mobil oleh Robby Tjahjadi -- tuduhan ditambah dengan melakukan tindak pidana korupsi. Karena operasi anti penyelundupan oleh Kejaksaan Agung baru dimulai pertengahan bulan lalu, maka hingga kini belum terdengar kabar siapa yang lebih dulu akan diajukan ke pengadilan. Yang pasti, seperti kata Ali Said, bagi yang sekarang disekap di Nusakambangan akan dituntut sebagai pelaku tindak subversi ekonomi. Jika tidak kena rumusan ini, mungkin masih bisa dijerat seperti sebelumnya: tindak pidana ekonomi biasa plus korupsi. Karena sudah ditetapkan rumusnya, maka tersangka akan diperlakukan menurut Undang-undang Subversi, "dengan segala akibat hukumnya", kata Jaksa Agung. Artinya: "Saya tidak mau direcoki dengan peraturan lain, yang hanya membolehkan jaksa menahan tersangka 30 hari saja dan harus memperoleh izin hakim lebih dulu untuk memperpanjang selanjutnya", ujar Ali Said. Akibat hukum yang lain, "mereka juga tidak boleh menghubungi atau dihubungi orang lain, termasuk penasehat hukumnya". Memang berat, karena ini "memang tindakan isolasi", lanjutnya. Namun Jaksa Agung berjanji, semua tindakan itu "untuk kepentingan tersangka sendiri, agar cepat diselesaikan perkaranya menurut hukum". femang, masalah bolehnya tersangka didampingi penasehat hukumnya sejak ia diperiksa pertama kali, masih merupakan janji undang-undang yang masih berat untuk dilaksanakan. Tampaknya ancaman pidana subversi ekonomi itu dalam rangka mencapai target: hukumlah penyelundup itu seberat-beratnya. Kalangan Kopkamtib malah mempersoalkan: "bagaimana kalau dibuat undang-undang khusus untuk penyelundupan dengan ancaman hukuman sedikitnya 20 tahun seperti undang-undang penyalahgunaan narkotika?" Tapi ada pula yang mempersoalkan: apakah ancaman hukuman yang harus diperberat -- atau keputusan hakim selama ini yang terlalu enteng? Diakui, keputusan pengadilan adalah wewenang hakim yang sama sekali tidak dapat dicampuri. Namun kabarnya pemerintah telah menghubungi Ketua Mahkamah Agung untuk membicarakan masalah itu. Jaksa Agung Ali Said. kabarnya, juga telah minta petunjuk kepada Mahkamah Agung akan hal ini. Sebab, tampaknya bila jaksa selalu naik banding atas keputusan pengadilan, hal itu menunjukkan betapa keputusan hakim belum memadai dengan kerja penanggulangan penyelundupan. Dan petugas, yang sudah bersusah payah menangkap penyelundup, bisa patah semangat. Kembali kepada Bismar Siregar SH. Ia setuju dengan jerat subversi yang dipasang untuk para penyelundup. Ancamannya, menurut undang-undang ini, hukuman mati. Tapi, "jika tertuduh benar-benar patut dituntut semacam itu". Untuk itu, menurut hakim ini perlu ditinjau beberapa hal: "Barang apa yang diselundupkannya -- di samping jumlahnya yang besar -- apakah barang itu benar-benar mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dalam melindungi sesuatu hasil produksi dalam negeri". Misalnya: tekstil atau ban mobil. Juga patut dilihat, kalau kerja menyelundup itu baru sekali dilakukannya, dan bukan mata pencaharian tetap. "Jika menyelundup itu dilakukan terus-menerus, apalagi jika ia merupakan salah satu mata rantai sindikat penyelundupan, memang patut disangka sebagai pelaku subversi ekonomi". kata Bismar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus