ORANG Jakarta menilai tanah bagaikan tambang emas. Tanah yang
tadinya dikungkung rawa-rawa berpenyakit, sekarang bisa saja
jadi pinggiran jalan utama. Tapi Gubernur Jakarta mengingatkan
bahwa tanah harus punya fungsi sosial. Misalnya tanah 3000 meter
persegi apabila dimiliki oleh 3 orang, hanya dapat dinikmati
oleh bilangan orang itu saja. Tapi kalau tanah itu dapat
dimanfaatkan lebih jauh, misalnya untuk lokasi hotel dan kantor,
maka yang bisa menikmati bukan hanya 3, tapi jauh lebih banyak
manusia. Dalam rangka perencanaan kota, jalan-jalan seperti
Pramuka, Pemuda, Suprapto, dan jalan-jalan lain setingkat di
bawah golongan Jalan Sudirtnan dan Thamrin akan dijadikan
kawasan perkantoran .
Idealnya memang harus tercapai persesuaian harga antara penghuni
tanah dan badan-badan usaha yang akan menempati tanah itu,
sesuai dengan perencanaan kota. Namun, menurut sebuah sumber
TEMPO, bila pemerintah memberi kelonggaran semacam itu, jadwal
kerja untuk pembangunan kota tidak bisa lancar, maka perlu, ada
lembaga pengendalian harga tanah. Tapi penetapan harga yang
ditentukan oleh Panitia Penaksir harga Negara itu, dalam banyak
kejadian sukar dilaksanakan. Kalau si penghuni atau si empunya
tanah menilai barangnya sama atau lebih dari emas, dan
pemerintah kota lebih menekankan pada perencanaan kota, lalu
bagaimana dengan perusahaan -- yang tentu saja komersiil -- yang
mendapatkan peruntukan tanah baru bagi perluasan usahanya? Untuk
NV EMKL Parit Mas, seperti cerita berikut ini, tanah yang
dipersengketakan itu pastilah juga lebih berarti dari emas.
Untuk keperluan perusahaan Parit Mas, keluarlah SK Gubernur, 26
Desember 1974. Di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih tersedia
tanah seluas 6.150 meter persegi. Walikota Jakarta Pusat sejak
Juni tahun lalu mulai berusaha mengosongkan areal bagi badan
usaha swasta itu. Patokannya adalah harga yang ditetapkan
Panitia Penaksir. Tanah hak milik dengan sertifikat diganti Rp
15 ribu/m2 sedangkan milik adat (Verponding Indonesia) Rp
12.500/ m2. Panggilan kepada penduduk tiga kali dilakukan ada
yang datang ada juga yang tidak. Yang termasuk belakangan ini,
antara lain Hong Ka Lung dan Ling. Mereka hanya mengirim utusan
dan pesan agar harga dinaikkan 100 persen. "Untuk menjaga
kewibawaan pemerintah maka dilakukan pembongkaran tanggal 21
Pebruari 1976", begitu antara lain laporan Wakil Walikota
Jakarta Pusat, drs. A. Musyanief kepada Gubernr 5 hari setelah
pembongkaran. Memang benar rumah yang persis di sebelah kiri dan
kanan gedung Parit Mas sudah dibongkar. Rumah yang satu sama
sekali tidak ditempati, dan yang ada di kiri Parit Mas
kadang-kadang ditempati. Inilah yang kemudian digunakan
Musyanief untuk menuduh kedua penduduk di atas sebagai
manipulasi tanah, seperti dilaporkannya kepada Gubernur.
Pesan Menteri
Walaupun pembongkaran rumah-rumah penduduk untuk kepentingan
Parit Mas sudah sejalan dengan perencanaan kota, pemerintah
masih memberi kelonggaran kepada EMKL itu dan warga setempat
untuk mencapai kesepakatan harga. Jika perundingan seret,
barulah pemerintah turun tangan. Itu ujar Musyanief. Namun
keterangan yang dikumpulkan TEMPO dari warga setempat bertolak
belakang dengan keterangan Wakil Walikota itu. Penjelasan Ketua
RW 06 Lingkungan III, Haji Rasyid cukup jelas. Tapi ia pagi-pagi
sudah wanti-wanti agar dimaafkan bila keterangannya itu tidak
mengenakkan. Ia hanya sekedar mengatakan yang diketahuinya dan
samasekali tidak ingin menyinggung perasaan perseorangan, badan
usaha apalagi pemerintah. Dan kepada segenap warganya ia sudah
mengingatkan agar tidak melakukan tindakan yang merusak sebab
bila begitu ia akan melaporkan oknum-oknum yang main hakim
sendiri itu kepada polisi.
Menurut cerita Rasyid, yang belum dua bulan menjadi Ketua RW
itu, akhir Mei tahun lalu datang panggilan dari walikota agar
penduduk datang ke kantor tanggal 3 Juni untuk membicarakan
pembebasan tanah mereka. Banyak yang datang, dan terjadi debat
karena harga yang ditetapkan terlalu rendah menurut pendapat
penduduk. Sebulan kemudian datang panggilan lagi. Pada tahap ini
penduduk tinggal diberi kesempatan untuk ambil ganti rugi.
Selang tiga bulan lagi ada panggilan yang makin tegas. Isinya
pembebasan tanah, disertai pemberitahuan bahwa pengosongan akn
dilakukan Oktober itu juga. Para earga menangapai dan meminta
agar diingat pesan Mentri Dalam Negeri dan Bubernur DKI Jakarta.
POkoknya supaya kedua belah pihak jangan dirugikan dalam
soal-soal pembebasan tanah.
Dilhami
Lalu apa saja pendekatan yang sudah dilakukan Parit MAs terhadap
penduduk? Penduduk dan Ketua RW sama jawabannya. Tidak ada
pendekatan sama sekali. Praktis yang aktif dalam pendekatan
ganti rugi adalah Walikota.Dalam pembongkaran dua rumah di dekat
gedung Parit Mas itu juga tidak ada pemberitahuan kepada ketua
RT, RW, Kelurahan, Kecamatan dan Komsekko. Hanya pernah ada
telpon dari EMKL itu kepada Anton, salah seorang pendudukk yang
bersangkutan di kantornya ketika pembongkaran sedang berjalan.
Secara tidak langsung, Rasyid pernah mempertemukan beberapa
warganya dengan direksi perusahaan itu. Dimulai dengan
kedatangan Madjid, seorang staf Dinas Agraria Jakarta Pusat.
Musholla Al-Ikhlas, yang juga akan kena gusur, dibicarakan
antara Rasyid dan pejabat Agraria itu. Pokokjnya Rasyid minta
agar Agraria suka mencari gantinya yang sepadan, sebab warga
sudah pula menyediakan tanahnya. Dengan sponyan Madjid menjawab:
"Tidak bisa". Di saat itu juga Rasyid menyempaptkan bicara soal
penambahan harga tapi tetap mendapat jawaban yang sama.
Semantara itu M.Sholeh dan Maang rupanya merasa diilhami oleh
ide Ketua RW-nya ini, dan setelah lewat proses sekitar satu
bulan, mereka beruntung dapat bertemu dengan Ny. Dewi, Direktris
Parit Mas di kantor walikota. Lebih beruntung lagi karena disitu
si nyonya dapat menyetujui harga Rp. 13.750 bagi per meter tanah
mereka ini artinya naik sepuluh persen dari penilai Panitia
Penaksir. Uang kontan mereka terima saat itu juga, untuk tanah
mereka seluas 300 meter persegi dan yanh leteknya di
tengah-tengah tanah orang lain.
Bagaiman penjelasan Parit Mas sendiri? Kuasa Direksinya, Buyung
yang didatangi TEMPO tidak bersadia memberi keterangan apapun,
sebab segalanya bisa dicari di kantor walikota. "Pokoknya
keterangan Pemerintah mesti 100% benar", ujar Buyung. Semua
ukuran pembebasan tanah dan pembongkaran menurut Buyung ada di
tangan pemerintah. Maklumlah, dia sudah punya SK. Tapi betulkah
sikap demikian?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini