Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Parit mas dan tambang emas

Pembebasan tanah untuk parit mas ternyata tak pernah didasarkan atas mufakat. penduduk tak puas atas penetapan ganti rugi yang dipaksakan oleh wali kota.

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Jakarta menilai tanah bagaikan tambang emas. Tanah yang tadinya dikungkung rawa-rawa berpenyakit, sekarang bisa saja jadi pinggiran jalan utama. Tapi Gubernur Jakarta mengingatkan bahwa tanah harus punya fungsi sosial. Misalnya tanah 3000 meter persegi apabila dimiliki oleh 3 orang, hanya dapat dinikmati oleh bilangan orang itu saja. Tapi kalau tanah itu dapat dimanfaatkan lebih jauh, misalnya untuk lokasi hotel dan kantor, maka yang bisa menikmati bukan hanya 3, tapi jauh lebih banyak manusia. Dalam rangka perencanaan kota, jalan-jalan seperti Pramuka, Pemuda, Suprapto, dan jalan-jalan lain setingkat di bawah golongan Jalan Sudirtnan dan Thamrin akan dijadikan kawasan perkantoran . Idealnya memang harus tercapai persesuaian harga antara penghuni tanah dan badan-badan usaha yang akan menempati tanah itu, sesuai dengan perencanaan kota. Namun, menurut sebuah sumber TEMPO, bila pemerintah memberi kelonggaran semacam itu, jadwal kerja untuk pembangunan kota tidak bisa lancar, maka perlu, ada lembaga pengendalian harga tanah. Tapi penetapan harga yang ditentukan oleh Panitia Penaksir harga Negara itu, dalam banyak kejadian sukar dilaksanakan. Kalau si penghuni atau si empunya tanah menilai barangnya sama atau lebih dari emas, dan pemerintah kota lebih menekankan pada perencanaan kota, lalu bagaimana dengan perusahaan -- yang tentu saja komersiil -- yang mendapatkan peruntukan tanah baru bagi perluasan usahanya? Untuk NV EMKL Parit Mas, seperti cerita berikut ini, tanah yang dipersengketakan itu pastilah juga lebih berarti dari emas. Untuk keperluan perusahaan Parit Mas, keluarlah SK Gubernur, 26 Desember 1974. Di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih tersedia tanah seluas 6.150 meter persegi. Walikota Jakarta Pusat sejak Juni tahun lalu mulai berusaha mengosongkan areal bagi badan usaha swasta itu. Patokannya adalah harga yang ditetapkan Panitia Penaksir. Tanah hak milik dengan sertifikat diganti Rp 15 ribu/m2 sedangkan milik adat (Verponding Indonesia) Rp 12.500/ m2. Panggilan kepada penduduk tiga kali dilakukan ada yang datang ada juga yang tidak. Yang termasuk belakangan ini, antara lain Hong Ka Lung dan Ling. Mereka hanya mengirim utusan dan pesan agar harga dinaikkan 100 persen. "Untuk menjaga kewibawaan pemerintah maka dilakukan pembongkaran tanggal 21 Pebruari 1976", begitu antara lain laporan Wakil Walikota Jakarta Pusat, drs. A. Musyanief kepada Gubernr 5 hari setelah pembongkaran. Memang benar rumah yang persis di sebelah kiri dan kanan gedung Parit Mas sudah dibongkar. Rumah yang satu sama sekali tidak ditempati, dan yang ada di kiri Parit Mas kadang-kadang ditempati. Inilah yang kemudian digunakan Musyanief untuk menuduh kedua penduduk di atas sebagai manipulasi tanah, seperti dilaporkannya kepada Gubernur. Pesan Menteri Walaupun pembongkaran rumah-rumah penduduk untuk kepentingan Parit Mas sudah sejalan dengan perencanaan kota, pemerintah masih memberi kelonggaran kepada EMKL itu dan warga setempat untuk mencapai kesepakatan harga. Jika perundingan seret, barulah pemerintah turun tangan. Itu ujar Musyanief. Namun keterangan yang dikumpulkan TEMPO dari warga setempat bertolak belakang dengan keterangan Wakil Walikota itu. Penjelasan Ketua RW 06 Lingkungan III, Haji Rasyid cukup jelas. Tapi ia pagi-pagi sudah wanti-wanti agar dimaafkan bila keterangannya itu tidak mengenakkan. Ia hanya sekedar mengatakan yang diketahuinya dan samasekali tidak ingin menyinggung perasaan perseorangan, badan usaha apalagi pemerintah. Dan kepada segenap warganya ia sudah mengingatkan agar tidak melakukan tindakan yang merusak sebab bila begitu ia akan melaporkan oknum-oknum yang main hakim sendiri itu kepada polisi. Menurut cerita Rasyid, yang belum dua bulan menjadi Ketua RW itu, akhir Mei tahun lalu datang panggilan dari walikota agar penduduk datang ke kantor tanggal 3 Juni untuk membicarakan pembebasan tanah mereka. Banyak yang datang, dan terjadi debat karena harga yang ditetapkan terlalu rendah menurut pendapat penduduk. Sebulan kemudian datang panggilan lagi. Pada tahap ini penduduk tinggal diberi kesempatan untuk ambil ganti rugi. Selang tiga bulan lagi ada panggilan yang makin tegas. Isinya pembebasan tanah, disertai pemberitahuan bahwa pengosongan akn dilakukan Oktober itu juga. Para earga menangapai dan meminta agar diingat pesan Mentri Dalam Negeri dan Bubernur DKI Jakarta. POkoknya supaya kedua belah pihak jangan dirugikan dalam soal-soal pembebasan tanah. Dilhami Lalu apa saja pendekatan yang sudah dilakukan Parit MAs terhadap penduduk? Penduduk dan Ketua RW sama jawabannya. Tidak ada pendekatan sama sekali. Praktis yang aktif dalam pendekatan ganti rugi adalah Walikota.Dalam pembongkaran dua rumah di dekat gedung Parit Mas itu juga tidak ada pemberitahuan kepada ketua RT, RW, Kelurahan, Kecamatan dan Komsekko. Hanya pernah ada telpon dari EMKL itu kepada Anton, salah seorang pendudukk yang bersangkutan di kantornya ketika pembongkaran sedang berjalan. Secara tidak langsung, Rasyid pernah mempertemukan beberapa warganya dengan direksi perusahaan itu. Dimulai dengan kedatangan Madjid, seorang staf Dinas Agraria Jakarta Pusat. Musholla Al-Ikhlas, yang juga akan kena gusur, dibicarakan antara Rasyid dan pejabat Agraria itu. Pokokjnya Rasyid minta agar Agraria suka mencari gantinya yang sepadan, sebab warga sudah pula menyediakan tanahnya. Dengan sponyan Madjid menjawab: "Tidak bisa". Di saat itu juga Rasyid menyempaptkan bicara soal penambahan harga tapi tetap mendapat jawaban yang sama. Semantara itu M.Sholeh dan Maang rupanya merasa diilhami oleh ide Ketua RW-nya ini, dan setelah lewat proses sekitar satu bulan, mereka beruntung dapat bertemu dengan Ny. Dewi, Direktris Parit Mas di kantor walikota. Lebih beruntung lagi karena disitu si nyonya dapat menyetujui harga Rp. 13.750 bagi per meter tanah mereka ini artinya naik sepuluh persen dari penilai Panitia Penaksir. Uang kontan mereka terima saat itu juga, untuk tanah mereka seluas 300 meter persegi dan yanh leteknya di tengah-tengah tanah orang lain. Bagaiman penjelasan Parit Mas sendiri? Kuasa Direksinya, Buyung yang didatangi TEMPO tidak bersadia memberi keterangan apapun, sebab segalanya bisa dicari di kantor walikota. "Pokoknya keterangan Pemerintah mesti 100% benar", ujar Buyung. Semua ukuran pembebasan tanah dan pembongkaran menurut Buyung ada di tangan pemerintah. Maklumlah, dia sudah punya SK. Tapi betulkah sikap demikian?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus