DALAM 10 hari terakhir bulan kemarin tercatat ada enam mayat
"orang bertatoo" ditemukan meringkuk dalam karung. Tubuh mereka
penuh bekas penganiayaan. Kedua tangan mereka terikat ke
belakang. Adakah "padang perburuan" merembet ke Jawa Barat?
Korban terakhir, ditemukan dekat jembatan Ciherang, Purwakarta,
Sabtu lalu. Mayat tersebut sudah mulai membusuk. Sama keadaannya
dengan mayat dalam karung yang ditemukan di Sungai Cikundul di
Kampung Jangari, Cianjur, tiga hari sebelumnya.
Tapi "penemuan terbesar" seminggu sebelumnya, 21 dan 22 Mei, di
bawah jembatan Kalianyar, Desa Sindang, di Indramayu: sekaligus
ditemukan empat karung berisi empat mayat. Dari kantung salah
satu korban ditemukan KTP atas nama Muhidin, warga Desa
Pasindangan, Cirebon Utara. Istrinya, Nyonya Idah, memastikan
bahwa mayat tersebut memang suaminya. Ia mengenali dari cincin
bermata pirus yang ada di jari mayat tersebut.
Dan, meski wajah serta tubuh mayat lainnya juga mulai membusuk,
Idah masih dapat mengenali dua mayat lainnya sebagai Madraji, 49
tahun, dan Kilus alias Majelis, 45 tahun. "Mereka teman baik
suami saya," katanya pekan lalu kepada TEMPO. Sedangkan mayat
yang seorang lagi, tak bisa dikenalinya. Polisi Indramayu pun
repot menentukan identitasnya -- sebab hampir tidak ada tanda
atau benda yang bisa dijadikan petunjuk.
Namun keras dugaan, korban yang tak bisa dikenali itu juga
kenalan Muhidin, yang menurut sumber di terminal oplet Cirebon,
merupakan komplotan pencopet. "Mereka sering beroperasi di atas
oplet,dan nongkrong membagi hasil di sebuah warung," kata sumber
itu. Sekali dua, kata sumber itu lagi, kawanan itu juga
beroperasi di atas bis antarkota jurusan Jakarta-Pekalongan.
Idah membantah. Kepadanya, Muhidin mengaku bekerja di sebuah
perusahaan bis tapi tidak pernah mengatakan apa jabatannya.
Hanya, dua hari sekali biasanya ia mendapat uang belanja Rp 5
ribu. Tapi terkadang Muhidin pulang ke rumah bilik --
peninggalan suami pertama Idah -- dengan tangan kosong.
Di ruang tamu, yang berlantai ubin itu, memang tak tampak ada
kemewahan -- kecuali satu set kursi dan sebuah tv hitam putih.
"Kalau Kang Muhidin pencopet, hidup saya pasti terjamin," kata
Idah, ibu tiga anak itu kepada TEMPO. Tapi kepada polisi,
seperti diceritakan komandan Reserse Kepolisian Indramayu Letnan
Jusup Soekarno kepada TEMPO, Idah mengaku bahwa suaminya adalah
"tukang todong dan pencopet" yang biasa bergerak di atas bis
antarkota.
Kehidupan keluarga Madraji -- terdiri dari dua istri dan 13 anak
-- juga pas-pasan. Rumah istri pertamanya di Desa Kesambi
Cirebon, hanyalah gedung tua warisan keluarga. Kepada Sunengsih,
istri pertama, Madraji mengaku berdagang kain. "Kalau dia
penjahat, masa pulang ke rumah hanya membawa uang Rp 2 ribu,"
katanya.
Sampai pekan lalu, polisi Indramayu belum bisa memastikan, siapa
pembunuh Muhidin dan kawan-kawan. Hanya, diperkirakan Jusup
Soekarno, pembunuhnya adalah teman-temannya sendiri, lebih 10
orang, dan motifnya "kemungkinan pembagian hasil yang tidak
merata."
Sama "sulitnya" menduga-duga tentang "penembak misterius" di
Jakarta -- yang selama bulan Mei, sampai tanggal 28, telah
merenggut 26 korban. Maka, sejak Januari lalu, jumlah korban
penembak gelap di Ibukota tercatat sudah mencapai angka 43
orang.
Dalam diskusi "Pencegahan Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam
Budaya Hukum Pancasila" di LBH Jakarta pekan lalu, dr. Abdul
Mun'im, ahli patologi forensik LKUI, menyatakan bahwa "korban
umumnya ditembak dari jarak sangat dekat, 25 cm -- 60 cm."
Bahkan ada yang mengalami luka "tembak tempel".
Yang menarik, kata Mun'im kepada TEMPO, korban yang diautopsi
LKUI banyak yang mengalami luka tembak lebih dari satu kali di
tubuh bagian atas. "Hal ini biasa dilakukan oleh penembak yang
ingin memastikan bahwa korbannya benar-benar telah meninggal,"
kata Mun'im. Menarik juga dikemukakan bahwa peluru umumnya
ditembakkan dari arah depan Korban maupun penembaknya juga
diperkirakan sama-sama dalam posisi berdiri berhadapan.
Di tubuh beberapa korban, Mun'im juga menemukan ada bekas luka
tembak yang berasal dari lebih satu jenis senjata api. Mun'im
memperkirakan, paling tidak ada tiga jenis senjata api yang
digunakan. Yang pertama, pistol yang anak pelurunya memutar ke
kiri. Kedua, adalah yang anak pelurunya memutar ke kanan. Dan
jenis ketiga, berasal dari kaliber yang lebih besar.
Tapi, dari jenis apa pun senjata yang dipakai, bagi dokter yang
telah banyak membantu membongkar kejahatan seperti Mun'im, bisa
memahami siapa adanya "penembak misterius" dan untuk apa mereka
bekerja. Bila kejahatan disamakan dengan penyakit, kata Mun'im,
penanganannya memang harus sesuai dengan stadium penyakit tadi.
"Penderita sakit gawat tak akan mempan bila hanya diberi
Aspirin," katanya. Yang dikhawatirkan Abdul Rahman Saleh,
direktur LBH Jakarta dalam diskusi di atas adalah bila terjadi
"salah obat" bagi yang belum tentu sakit gawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini