Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban-korban operasi gali

Abdul mun'in, ahli patologi forensik lkui, berbicara tentang korban-korban operasi gali (dalam diskusi "pencegahan kejahatan" di lbh. (krim)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM 10 hari terakhir bulan kemarin tercatat ada enam mayat "orang bertatoo" ditemukan meringkuk dalam karung. Tubuh mereka penuh bekas penganiayaan. Kedua tangan mereka terikat ke belakang. Adakah "padang perburuan" merembet ke Jawa Barat? Korban terakhir, ditemukan dekat jembatan Ciherang, Purwakarta, Sabtu lalu. Mayat tersebut sudah mulai membusuk. Sama keadaannya dengan mayat dalam karung yang ditemukan di Sungai Cikundul di Kampung Jangari, Cianjur, tiga hari sebelumnya. Tapi "penemuan terbesar" seminggu sebelumnya, 21 dan 22 Mei, di bawah jembatan Kalianyar, Desa Sindang, di Indramayu: sekaligus ditemukan empat karung berisi empat mayat. Dari kantung salah satu korban ditemukan KTP atas nama Muhidin, warga Desa Pasindangan, Cirebon Utara. Istrinya, Nyonya Idah, memastikan bahwa mayat tersebut memang suaminya. Ia mengenali dari cincin bermata pirus yang ada di jari mayat tersebut. Dan, meski wajah serta tubuh mayat lainnya juga mulai membusuk, Idah masih dapat mengenali dua mayat lainnya sebagai Madraji, 49 tahun, dan Kilus alias Majelis, 45 tahun. "Mereka teman baik suami saya," katanya pekan lalu kepada TEMPO. Sedangkan mayat yang seorang lagi, tak bisa dikenalinya. Polisi Indramayu pun repot menentukan identitasnya -- sebab hampir tidak ada tanda atau benda yang bisa dijadikan petunjuk. Namun keras dugaan, korban yang tak bisa dikenali itu juga kenalan Muhidin, yang menurut sumber di terminal oplet Cirebon, merupakan komplotan pencopet. "Mereka sering beroperasi di atas oplet,dan nongkrong membagi hasil di sebuah warung," kata sumber itu. Sekali dua, kata sumber itu lagi, kawanan itu juga beroperasi di atas bis antarkota jurusan Jakarta-Pekalongan. Idah membantah. Kepadanya, Muhidin mengaku bekerja di sebuah perusahaan bis tapi tidak pernah mengatakan apa jabatannya. Hanya, dua hari sekali biasanya ia mendapat uang belanja Rp 5 ribu. Tapi terkadang Muhidin pulang ke rumah bilik -- peninggalan suami pertama Idah -- dengan tangan kosong. Di ruang tamu, yang berlantai ubin itu, memang tak tampak ada kemewahan -- kecuali satu set kursi dan sebuah tv hitam putih. "Kalau Kang Muhidin pencopet, hidup saya pasti terjamin," kata Idah, ibu tiga anak itu kepada TEMPO. Tapi kepada polisi, seperti diceritakan komandan Reserse Kepolisian Indramayu Letnan Jusup Soekarno kepada TEMPO, Idah mengaku bahwa suaminya adalah "tukang todong dan pencopet" yang biasa bergerak di atas bis antarkota. Kehidupan keluarga Madraji -- terdiri dari dua istri dan 13 anak -- juga pas-pasan. Rumah istri pertamanya di Desa Kesambi Cirebon, hanyalah gedung tua warisan keluarga. Kepada Sunengsih, istri pertama, Madraji mengaku berdagang kain. "Kalau dia penjahat, masa pulang ke rumah hanya membawa uang Rp 2 ribu," katanya. Sampai pekan lalu, polisi Indramayu belum bisa memastikan, siapa pembunuh Muhidin dan kawan-kawan. Hanya, diperkirakan Jusup Soekarno, pembunuhnya adalah teman-temannya sendiri, lebih 10 orang, dan motifnya "kemungkinan pembagian hasil yang tidak merata." Sama "sulitnya" menduga-duga tentang "penembak misterius" di Jakarta -- yang selama bulan Mei, sampai tanggal 28, telah merenggut 26 korban. Maka, sejak Januari lalu, jumlah korban penembak gelap di Ibukota tercatat sudah mencapai angka 43 orang. Dalam diskusi "Pencegahan Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Budaya Hukum Pancasila" di LBH Jakarta pekan lalu, dr. Abdul Mun'im, ahli patologi forensik LKUI, menyatakan bahwa "korban umumnya ditembak dari jarak sangat dekat, 25 cm -- 60 cm." Bahkan ada yang mengalami luka "tembak tempel". Yang menarik, kata Mun'im kepada TEMPO, korban yang diautopsi LKUI banyak yang mengalami luka tembak lebih dari satu kali di tubuh bagian atas. "Hal ini biasa dilakukan oleh penembak yang ingin memastikan bahwa korbannya benar-benar telah meninggal," kata Mun'im. Menarik juga dikemukakan bahwa peluru umumnya ditembakkan dari arah depan Korban maupun penembaknya juga diperkirakan sama-sama dalam posisi berdiri berhadapan. Di tubuh beberapa korban, Mun'im juga menemukan ada bekas luka tembak yang berasal dari lebih satu jenis senjata api. Mun'im memperkirakan, paling tidak ada tiga jenis senjata api yang digunakan. Yang pertama, pistol yang anak pelurunya memutar ke kiri. Kedua, adalah yang anak pelurunya memutar ke kanan. Dan jenis ketiga, berasal dari kaliber yang lebih besar. Tapi, dari jenis apa pun senjata yang dipakai, bagi dokter yang telah banyak membantu membongkar kejahatan seperti Mun'im, bisa memahami siapa adanya "penembak misterius" dan untuk apa mereka bekerja. Bila kejahatan disamakan dengan penyakit, kata Mun'im, penanganannya memang harus sesuai dengan stadium penyakit tadi. "Penderita sakit gawat tak akan mempan bila hanya diberi Aspirin," katanya. Yang dikhawatirkan Abdul Rahman Saleh, direktur LBH Jakarta dalam diskusi di atas adalah bila terjadi "salah obat" bagi yang belum tentu sakit gawat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus