Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengkritik penggunaan pasal makar untuk menjerat sejumlah aktivis oposisi yang kencang menyuarakan people power. “Penuntutan makar akhir-akhir ini bukan semata kasus hukum, tetapi lebih bernuansa politis,” ujar Fickar saat dihubungi Tempo pada Rabu, 15 Mei 2019.
Beberapa orang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan makar. Mereka adalah mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen, politikus senior Partai Gerindra Permadi, aktivis Lieus Sungkharisma, dan advokat Eggi Sudjana. Makar dalam konteks hukum diatur dalam Pasal 104, 106, dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kata Fickar, pada intinya diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden, memisahkan diri sebagian wilayah negara, dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca juga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam konteks negara demokrasi, kata Fickar, ketentuan makar tidak lagi relevan lantaran Undang-Undang Dasar 1945 menyediakan mekanisme pemakzulan presiden dan wakil presiden. Penerapan pasal makar itu, kata dia, lebih tepat diterapkan pada perbuatan yang bersifat teror. Namun kini, aparat cenderung menyederhanakan pengertian makar dengan aksi unjuk rasa. "Demikian juga dengan people power, padahal makar itu substansinya teroris."
Pada kasus 11 aktivis Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 silam, ujar Fickar, mereka yang dituduh makar, kasusnya tidak berlanjut sampai ke pengadilan dan menggantung begitu saja. Mereka yang ditangkap antara lain politikus Partai Gerindra, Eko Suryo Santjojo; Rachmawati Soekarnoputri; mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen; Brigadir Jenderal Purnawirawan Adityawarman Thaha; aktivis Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein; aktivis buruh Alvin Indra Al Fariz; Ratna Sarumpaet; dan Sri Bintang Pamungkas serta mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Hatta Taliwang.
Tindakan penetapan tersangka makar saat ini, kata Fickar, patut disayangkan karena terkesan jelas bahwa hukum digunakan sebagai alat kekuasaan. “Aparat hukum mestinya lebih arif memahami tahun politik, sehingga tidak terkesan represif.”
Lieus Sungkharisma mencak-mencak atas pemanggilan terhadap dirinya berkaitan kasus itu. “Saya enggak mau dikasih ‘gelar’ makar tapi enggak disidang-sidang. Itu kejahatan,” ujar Lieus Senin lalu, 15 Mei 2019.
Ia mengungkit tokoh 212 yang dituduh makar tiga tahun lalu. “Seperti Kivlan Zen itu jadi makar dua kali, yang pertama aja enggak bisa disidang.”