Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Pakar Pidana Kritik Pasal Makar yang Menjerat Aktivis Oposisi

Tindakan penetapan tersangka makar saat ini, kata Fickar, patut disayangkan karena terkesan jelas bahwa hukum digunakan sebagai alat kekuasaan.

15 Mei 2019 | 11.31 WIB

Politikus PAN Eggi Sudjana bersiap memenuhi panggilan pemeriksaan Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019. Dalam kesempatan tersebut, Eggi menjelaskan pernyataan people power yang dimaksud yaitu seruan atas dugaan kecurangan Pemilu yang ditujukan ke KPU dan Bawaslu. TEMPO/Muhammad Hidayat
Perbesar
Politikus PAN Eggi Sudjana bersiap memenuhi panggilan pemeriksaan Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019. Dalam kesempatan tersebut, Eggi menjelaskan pernyataan people power yang dimaksud yaitu seruan atas dugaan kecurangan Pemilu yang ditujukan ke KPU dan Bawaslu. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengkritik penggunaan pasal makar untuk menjerat sejumlah aktivis oposisi yang kencang menyuarakan people power. “Penuntutan makar akhir-akhir ini bukan semata kasus hukum, tetapi lebih bernuansa politis,” ujar Fickar saat dihubungi Tempo pada Rabu, 15 Mei 2019.

Beberapa orang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan makar. Mereka adalah mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen, politikus senior Partai Gerindra Permadi, aktivis Lieus Sungkharisma, dan advokat Eggi Sudjana. Makar dalam konteks hukum diatur dalam Pasal 104, 106, dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kata Fickar, pada intinya diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden, memisahkan diri sebagian wilayah negara, dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca juga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam konteks negara demokrasi, kata Fickar, ketentuan makar tidak lagi relevan lantaran Undang-Undang Dasar 1945 menyediakan mekanisme pemakzulan presiden dan wakil presiden. Penerapan pasal makar itu, kata dia, lebih tepat diterapkan pada perbuatan yang bersifat teror. Namun kini, aparat cenderung menyederhanakan pengertian makar dengan aksi unjuk rasa. "Demikian juga dengan people power, padahal makar itu substansinya teroris."

Pada kasus 11 aktivis Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 silam, ujar Fickar, mereka yang dituduh makar, kasusnya tidak berlanjut sampai ke pengadilan dan menggantung begitu saja. Mereka yang ditangkap antara lain politikus Partai Gerindra, Eko Suryo Santjojo; Rachmawati Soekarnoputri; mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen; Brigadir Jenderal Purnawirawan Adityawarman Thaha; aktivis Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein; aktivis buruh Alvin Indra Al Fariz; Ratna Sarumpaet; dan Sri Bintang Pamungkas serta mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Hatta Taliwang.

Tindakan penetapan tersangka makar saat ini, kata Fickar, patut disayangkan karena terkesan jelas bahwa hukum digunakan sebagai alat kekuasaan. “Aparat hukum mestinya lebih arif memahami tahun politik, sehingga tidak terkesan represif.”

Lieus Sungkharisma mencak-mencak atas pemanggilan terhadap dirinya berkaitan kasus itu. “Saya enggak mau dikasih ‘gelar’ makar tapi enggak disidang-sidang. Itu kejahatan,” ujar Lieus Senin lalu, 15 Mei 2019.

Ia mengungkit tokoh 212 yang dituduh makar tiga tahun lalu. “Seperti Kivlan Zen itu jadi makar dua kali, yang pertama aja enggak bisa disidang.” 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus