Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Narapidana atau napi kasus narkoba menjadi yang terbanyak diganjar vonis hukuman mati di Indonesia. Terbaru adalah Mantan Kasat Narkoba Polres Lampung Selatan AKP Andri Gustami. Vonis mati diberikan majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandar Lampung karena ia terlibat peredaran narkoba jaringan Fredy Pratama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa Andri Gustami,” kata ketua majelis hakim Lingga Setiawan dalam amar putusan yang dibacanya dalam persidangan, Kamis, 29 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas mengapa narapidana kasus narkoba dijatuhi hukuman mati?
Sebagai Kasat Narkoba, yang seharusnya memberantas peredaran narkoba, Andri Gustami justru terbukti mengawal dan meloloskan narkotika milik jaringan Fredy Pratama sejak Mei hingga Juni 2023. Disebut sebagai kurir narkoba istimewa, ia berperan dalam melancarkan pengiriman narkoba saat melewati Lampung melalui Pelabuhan Bakauheni menuju Pelabuhan Merak, Banten.
Alasan narapidana kasus narkoba dijatuhi hukuman mati
Penggunaan hukuman mati masih menjadi perdebatan di internasional lantaran berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), yakni hak untuk hidup. ICCPR pun telah merekomendasikan penghapusan hukuman mati. Kendati demikian, Indonesia menjadi salah satu dari beberapa negara yang masih memberlakukan vonis pidana bunuh. Aturannya dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pidana yang bisa dikenai hukuman mati berdasarkan KUHP tersebut antara lain:
1. Makar dengan maksud membunuh Presiden dan wakil Presiden (Pasal 104 KUHP).
2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 ayat (2) KUHP).
3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 ayat (3) KUHP).
4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP).
5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat (3) KUHP).
6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP)
8. Pembajakan di laut yang menyebabkan kematian (Pasal 444 KUHP).
9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K ayat (2) dan Pasal 149 O ayat (2) KUHP).
Dilansir dari Antara, hukuman mati juga diatur di luar KUHP, salah satunya terkait narkotika yang diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pidana bunuh untuk terpidana kasus narkoba dalam beleid ini dijelaskan bertujuan untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan menimbulkan efek jera pelaku lainnya.
UU Narkotika sendiri pernah digugat. Penggugat ingin hukuman mati dalam aturan tersebut dihapus. Namun, Mahkamah Konstitusi atau MK menolak uji materi tersebut. Pengadilan Konstitusi menyatakan hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin UUD 1945.
“Lantaran hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak termasuk hak asasi yang diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945,” bunyi salah satu alasan MK.
Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain. Hal ini demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, HAM harus dibatasi dengan instrumen undang-undang, yakni hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.
Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 1. The General Assembly Of The United Nations, By Its Resolution 3 dan telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Narkotika.
Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, di antaranya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime).
“Sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati,” bunyi penjelasan MK.
Penerapan hukuman berat pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk ICCPR yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat 2 ICCPR memperbolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, terkhusus kejahatan yang paling serius.
Terkait UU HAM, MK memandang bahwa undang-undang tersebut juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban. Ibarat, membunuh pembunuh untuk mencegah pembunuhan berikutnya.