Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Pelaku Pencurian Data Pribadi di Bali Bayar Rp 25 Juta untuk Beli 300 Ribu NIK

Polda Bali mengungkap kasus pencurian data pribadi dengan modus registrasi ilegal SIM Card

17 Oktober 2024 | 09.54 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Reserse Siber Polda Bali mengatakan pelaku kejahatan siber di Denpasar membeli 300 ribu data pribadi dari dark web seharga Rp 25 juta. Data yang dijual tersebut merupakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Untuk data dijual dengan harga per Rp25 juta didapat oleh pelaku DBS sebanyak 300 ribu NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan KK (Kartu Keluarga)," kata Direktur Reserse Siber Polda Bali Ajun Komisaris Besar Ranefli Dian Candra di Denpasar, Bali, Rabu, 16 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ranefli menjelaskan DBS merupakan otak kejahatan pencurian data pribadi sejak awal 2022. Pelaku menggunakan data pribadi milik orang lain itu untuk melakukan registrasi kartu perdana dan memperoleh kode OTP. Nantinya kartu-kartu ini dijual kepada pembeli untuk membuat akun suatu aplikasi guna mengincar promo atau bermain judi online.

Sebelum merekrut belasan orang karyawannya, DBS bersama dua temannya pertama-tama membuka usaha konter sambil menjual kartu SIM yang sudah diregistrasi secara ilegal.

Awalnya, mereka memakai ponsel dengan NIK yang diperoleh dari dark web secara manual. Setelah lima bulan berjalan, tersangka DBS kemudian membeli dua buah laptop dan modem pool. Dalam satu modem pool, ada 16 kartu SIM yang langsung teregistrasi.

Pada Agustus 2024, DBS membeli tambahan 12 unit modem pool sehingga totalnya menjadi 168 unit. Seiring dengan besarnya pendapatan dan tingginya permintaan dari pelanggan, DBS merekrut anggota baru yang rata-rata berusia remaja.

Selain 12 orang tersangka yang sudah ditahan oleh Polda Bali, penyidik masih memburu beberapa orang lainnya yang menjadi DPO terlibat kasus tersebut. "Masih ada yang jadi DPO karena saat menggeledah kantor di Gatot Subroto kantor sudah kosong. Kami masih cari, sepertinya saat kami ke TKP ada yang memberi tahu ke sana sehingga saat kami tiba sudah kosong," kata Ranefli.

Mantan Kapolres Tabanan itu mengatakan belasan anggota komplotan pencuri data tersebut ditargetkan meregistrasi 3 ribu kartu dalam waktu 24 jam dengan sistem kerja secara bergantian. 

Menurut keterangan Ranefli, untuk menarik pelanggan, DBS bersama anggotanya membuat empat website sebagai media promosi dan transaksi. Masyarakat yang ingin memiliki kartu ilegal tinggal mendownload aplikasi, memilih layanan yang ingin didaftarkan lalu melakukan transaksi. "Nanti akan ditanya aplikasi apa. Di websitenya sudah terarah tergantung pemesannya mau apa," katanya.


Ranefli menyebutkan korban kebanyakan masyarakat yang ingin membuat akun aplikasi tertentu. Kepolisian juga menduga hasil kejahatan ini bisa melakukan kejahatan lainnya.

Otak kejahatan DBS merupakan lulusan SMK di salah satu sekolah kejuruan di Kota Denpasar.

Menurut keterangan Ranefli, belum ada dugaan yang mengarah pada kegunaan data khusus untuk buzzer. "Yang jelas pengakuannya untuk masyarakat yang membutuhkan kartu ilegal untuk membuat akun atau aplikasi apapun. Tetapi, patut kita duga peredaran cukup marak," katanya.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus