Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pembenahan Tersandung Tiket

Seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri tengah giat melakukan reformasi birokrasi. Penertiban biaya tiket sebenarnya juga sudah dilakukan.

1 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANDRI Ghifari, alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung, mengaku lega. Lulusan fakultas ekonomi tahun 2006 ini sukses melewati tes isu substantif proses seleksi pegawai Departemen Luar Negeri 2008. Padahal, setahun sebelumnya, ia gagal pada tahap yang sama.

Kini Sandri dan seratus teman seangkatannya, angkatan 33, tengah menunggu giliran penugasan pada kantor perwakilan luar negeri. ”Paling cepat 2012 saya baru ditempatkan,” ujarnya kepada Tempo. Antrean memang panjang. Pada akhir 2009, giliran itu baru sampai angkatan 31. ”Saya disarankan studi S-2 dulu,” kata pria yang kini menjadi anggota staf biro administrasi tersebut.

Sejak 2001, Kementerian Luar Negeri—demikian sekarang namanya—memang menerapkan sistem meritokrasi dalam jenjang karier diplomatik. Tujuannya: meningkatkan kualitas dan profesionalisme. Di bawah Menteri Luar Negeri kala itu, Nur Hassan Wirajuda, pembenahan pun dilakukan. Menurut Hassan, perombakan harus dilakukan karena terjadi perubahan konstelasi politik di luar negeri dan Tanah Air pascareformasi 1998. ”Saya melihat struktur di departemen ini tidak lagi memadai sejak 1974,” kata Hassan ketika itu.

Berbeda dengan Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan, yang melakukan reformasi dengan perbaikan remunerasi, Kementerian Luar Negeri ”bergerak” tanpa iming-iming ”perbaikan gizi”. ”Reformasi kementerian ini dilakukan tanpa iming-iming uang,” kata Kepala Biro Administrasi Menteri, Teuku Faizasyah.

Pembenahan dimulai dari penataan organisasi di dalam dan luar negeri. Pada 2002, Kementerian membereskan struktur organisasi. Tiga direktorat jenderal, yakni hubungan ekonomi dan luar negeri, sosial-budaya, dan penerangan, dihapuskan. Kementerian lalu membuat tiga pengelompokan bidang kerja: operasional, fungsional, dan administrasi.

Pada 2004, pembenahan kemudian dilakukan terhadap 119 kantor perwakilan. Sekitar 200 pejabat diplomat ditarik pulang. Menurut Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Kementerian Luar Negeri Sritomo Wirodihardjo, dari 3.700 pegawai Kementerian, 900 di antaranya pejabat diplomatik di kantor perwakilan. ”Jumlah ini sangat gendut,” kata Sritomo, yang juga menjabat Ketua Tim Kerja Reformasi Birokrasi Kementerian Luar Negeri.

Menurut Sritomo, Kementerian mengukur kebutuhan kantor perwakilan berdasarkan indeks beban kerja diplomatik. Di negara yang beban kerja dan jumlah warga negara Indonesia-nya terbesar, misalnya, anggota staf dan pejabat diplomatiknya diperbanyak. Dengan pola seperti ini, otomatis jumlah diplomat di Afrika dan Eropa dipangkas. Adapun untuk kantor perwakilan yang banyak mengurusi tenaga kerja Indonesia, seperti di Malaysia dan Singapura, anggota stafnya ditambah. ”Ini untuk menghemat biaya dan mengoptimalkan SDM,” katanya.

Kementerian juga menaikkan standar proses seleksi calon diplomat. Sritomo mengakui, di waktu lalu, korupsi, kolusi, dan nepotisme banyak terjadi dalam proses penerimaan calon diplomat. ”Dulu saat saya di biro kepegawaian sering mendapat titipan dari jenderal,” katanya. Kini, ujarnya, setelah standar e-recruitment dipakai, praktek itu sudah berkurang. Faizasyah juga menegaskan, proses rekrutmen calon diplomat sekarang dijamin transparan, akuntabel, dan terukur. ”Bebas KKN,” katanya.

Kementerian juga memutuskan tidak lagi merekrut banyak anggota staf, tapi mengoptimalkan sumber daya manusia profesional. Pada 2003, misalnya, perbandingan jumlah anggota staf administrasi dan tenaga profesional 2 : 1. Sejak 2009, komposisi itu sudah terbalik. Para profesional itu, ujar Faizasyah, kini dipaksa bekerja mandiri. ”Bikin surat sendiri, analisis juga sendiri.”

Gebrakan lain adalah penerapan standar baru jenjang karier diplomatik. Hierarki diplomatik ini sendiri, di Indonesia, dimulai dari atase, lalu sekretaris ketiga, sekretaris kedua, sekretaris pertama, counselor, minister counselor, minister, dan duta besar. Kini setiap tahap itu harus ditempuh melalui pendidikan dan ujian dengan standar ketat. Untuk mencapai gelar sekretaris satu, misalnya, seseorang harus melalui sekolah dinas staf luar negeri dan memiliki skor TOEFL—kemampuan berbahasa Inggris—minimal 525. Sritomo mengakui, dulu, seorang diplomat, misalnya, bisa melompat ke jenjang karier dua tingkat di atasnya, padahal kualifikasinya jauh dari memadai. ”Track record-nya juga tidak jelas,” kata dia. Itu semua tentu berkat korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Perubahan ini, mau tidak mau, akhirnya membuat para diplomat senior menyesuaikan diri. Menurut Sritomo, banyak diplomat senior yang sulit memenuhi kualifikasi jenjang karier yang telah ditetapkan ini. ”Akibatnya, banyak yang tidak lulus dan kariernya mentok,” kata dia.

Menurut Wahyu Susilo, Kepala Divisi dan Advokasi International NGO Forum on Indonesian Development, selama ini penjenjangan diplomat tak lepas dari klik-klikan. ”Si ini orangnya ini, si itu orangnya itu,” kata Wahyu. Akibatnya, yang didapat diplomat tak profesional. ”Sekarang jauh lebih baik karena ada jenjang akademik,” ujar aktivis yang dikenal giat memperjuangkan nasib buruh Indonesia di luar negeri itu.

Faizasyah menegaskan, memang kejelasan jenjang karier diplomat inilah iming-iming yang diberikan untuk para calon diplomat. ”Kami tidak mengiming-imingi uang, tapi career planning dan career path yang lebih jelas,” katanya. Faizasyah menunjuk contoh Marty Natalegawa, yang kariernya melejit dan menjadi Menteri Luar Negeri pada usia 46 tahun. ”Itu salah satu daya tarik dan indikatornya,” katanya. ”Kalau seseorang berprestasi, akan ada reward dari sistem.”

Di luar semua ini, ujar Faizasyah, Kementerian Luar Negeri juga menerapkan budaya kerja tertib waktu, tertib administrasi, dan aman, sebagai bagian reformasi birokrasi. Adapun untuk perwakilan di luar negeri, dilakukan pembenahan dalam hal pelayanan, penyimpanan dokumen, dan fasilitas penampungan untuk warga negara Indonesia. Meski sudah dirintis sejak satu dekade silam, kerja besar ini, ujar Faizasyah, baru merampungkan 10 dari 23 kegiatan yang disyaratkan dalam reformasi birokrasi nasional. ”Sisanya harus selesai dalam waktu 30 bulan mendatang.”

Agar roda reformasi itu berderak kencang, sejak empat bulan lalu, sebuah tim konsultan direkrut untuk membantu memetakan kegiatan di kementerian ini. Jika semua ini beres, dokumen reformasi itu akan diserahkan ke Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara. ”Yang sama sekali belum dilakukan adalah analisis jabatan,” kata Judhi Kristantini, salah satu anggota tim konsultan.

Kini, di saat gencarnya reformasi itu dilakukan, tiba-tiba skandal tiket mengguncang kementerian ini. Menurut Sritomo, penertiban biaya perjalanan sebenarnya sudah dilakukan sebagai bagian program reformasi. ”Ke depan, kami akan membuat perjalanan dinas seefisien mungkin,” katanya.

Ninin Damayanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus