Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSANDHI Sukatma tak kuasa menahan tangisnya. Dari balik jeruji ruang tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tangan ibunya menjulur membelai pundaknya. Sesekali pria 30 tahun itu sesenggukan saat ibunya, Suyanti, membesarkan hatinya. Di samping ibunya, istrinya, Tyas Rumanti, dan sejumlah kerabatnya juga terlihat berurai air mata. Semua larut dalam keharuan.
Rabu pekan lalu bekas karyawan PT Maritim Timur Jaya—salah satu perusahaan kelompok Artha Graha—ini bertemu dengan keluarganya. Pertemuan itu terjadi di sela-sela jeda sidangnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sejak dijebloskan ke tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, 15 Desember silam, dengan tuduhan menyimpan ekstasi, Aan, demikian ia biasa dipanggil, tak pernah bertemu dengan keluarganya. ”Dia itu korban rekayasa,” ujar Edwin Partogi, kuasa hukum Aan.
Terhadap tuduhan kepemilikan ekstasi tersebut, Aan sempat melakukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun tiga pekan lalu gugatan itu ditolak. Hakim tunggal Mustari menyatakan Aan sah sebagai tersangka pemilik narkoba.
Kasus Aan berawal pada 14 Desember silam. Saat itu, sekitar pukul 14.00, ia dipanggil menghadap bosnya di salah satu ruang di lantai delapan gedung Artha Graha, Jakarta. Pemanggilan ini berkaitan dengan penyelidikan Polda Maluku atas dugaan kepemilikan senjata api bekas Direktur Utama PT Maritim David Tjioe. Saat itu status Aan sebenarnya bukan lagi karyawan perusahaan perikanan yang beroperasi di Tual, Maluku Tenggara, tersebut. Sejak 25 November lalu dia telah di-PHK. Namun, lantaran harus membereskan administrasi keuangan, ia masih bolak-balik ke kantor.
Kepada Tempo yang menemuinya di tahanan Narkotika Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu, Aan bercerita, saat masuk ruangan, di sana ada Komisaris Utama PT Maritim Viktor Bungtilu Laiskodat; Kepala Keamanan Grup Artha Ronny Brata Wijaya; Kepala Pusat Pendidikan SG, Anwar; Komisaris Bank Artha Graha Andry Siantar; serta Direktur Reserse Kriminal Polda Maluku Komisaris Besar Jhon Siahaan bersama dua anak buahnya, Jhoni Wattimanela dan Obed Tutuarima.
Saat itu dia diminta menjelaskan perihal senjata yang dimilik David Tjioe. Aan menyatakan ia memang sempat diperintah David, yang saat itu baru dipecat dari jabatan Direktur Utama PT Maritim, mengemasi barang pribadinya bersama adik David di kantor PT Maritim di Tual. Kala itu, secara sekilas, ia sempat melihat sepucuk senjata yang kemudian segera disimpan adik David. Sebatas itulah yang ia ketahui.
Keterangan ini ternyata tak membuat para ”penginterogasi” puas. Sebagai orang dekat David ia dianggap banyak tahu sepak terjang mantan bosnya. Ia dianggap menyembunyikan sesuatu. ”Berkali-kali saya katakan hanya itu yang saya tahu,” kata Aan. Jawaban itu, menurut Aan, membuat Viktor marah. Viktor pun menampar dan melayangkan tinjunya.
Setelah penganiayaan itu, Viktor kemudian menyerahkan dirinya kepada para polisi dari Maluku itu. Ia digelandang ke ruang lain. Di sana kembali ia didesak menceritakan perihal senjata David. Di tengah interogasi ia diminta melepas celana dan bajunya. Saat itulah Jhoni Wattimanela menyatakan menemukan serbuk putih kebiruan dalam bungkus uang kertas lima puluh ribuan terselip di dompetnya. Itulah ekstasi!
Benda haram ini rupanya menjadi bekal dua polisi itu memproses Aan lebih lanjut. Mereka lantas mengontak Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya. Aan lantas digelandang ke Polda Metro Jaya. Saat itu ia sempat menghubungi istrinya, Tyas Rumanti. Namun Tyas, yang tiba pukul enam petang, dilarang menemuinya. Ia baru bertemu dengan suaminya pukul dua dini hari. Saat itu Tyas melihat wajah suaminya lebam-lebam akibat pukulan.
Kuasa hukum Aan mengadukan kasus penganiayaan itu ke Satuan Reserse Mobil Polda Metro Jaya. Mereka juga mengadukan penahanan Aan ke Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dua pekan lalu Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum sudah bertemu dengan Aan.
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Oegroseno membenarkan menemukan sejumlah pelanggaran etika profesi dalam penanganan Aan. Menurut Oegroseno, pemeriksaan di luar kantor polisi merupakan pelanggaran. Seharusnya, jika seorang polisi akan memeriksa saksi di wilayah hukum lain, ia berkoordinasi dengan polisi setempat. Aksi penggeledahan terhadap Aan, kata Oegroseno, juga melanggar Peraturan Kepala Polri tentang Implementasi Prinsip-prinsip Standar HAM dalam Tugas Kepolisian. ”Sanksi terhadap pelanggaran ini akan ditetapkan sidang komisi,” ujarnya.
Anggota Komnas HAM, Ridha Saleh, menegaskan telah terjadi pelanggaran HAM dalam penanganan Aan. Indikasinya, menurut Ridha, jelas. ”Pemeriksaan itu dilakukan tidak di tempat yang wajar,” ujarnya. ”Apalagi ada pemukulan dan penganiayaan.” Ridha menyatakan telah bertemu dengan Aan. Menurut Ridha, Aan menyatakan bukan pemilik narkoba itu. ”Ia mengaku karena di bawah tekanan,” ujar Ridha.
Ridha mempertanyakan perihal laporan penganiayaan Aan yang tidak ditindaklanjuti polisi. Komnas HAM, kata Ridha, akan memanggil anggota Polda Maluku yang memeriksa Aan. ”Kami akan menanyakan maksud pemeriksaan mereka di Artha Graha itu.” Ridha menduga ada motif lain di balik kasus senjata yang disidik polisi. Motif itu, menurut dia, bisa terkait dengan kepentingan bisnis atau kepentingan posisi suatu jabatan. ”Soalnya, Aan ini kan office finance yang memegang banyak rahasia perusahaan,” kata Ridha.
Dugaan yang sama dilontarkan salah satu anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa. ”Penanganan Aan penuh kejanggalan,” katanya. Penemuan narkoba di tubuh Aan, menurut Ahmad, janggal karena dia saat itu diperiksa untuk ketiga kalinya. ”Tidak masuk akal mengetahui akan diperiksa polisi, kok dia bawa narkoba,” kata Mas Achmad. Selain meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban melindungi Aan, pihaknya, kata Mas Achmad, telah meminta Kepala Polri Jenderal Bambang Danuri memeriksa anak buahnya yang menangani Aan tersebut.
Dari Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Anjan Pramuka—Direktur Narkoba—menegaskan Aan telah memenuhi alat bukti cukup. Selain ada barang bukti dan pengakuan tersangka, ada keterangan saksi yang menangkap Aan. Anjan mengakui pemeriksaan urine Aan hasilnya negatif. ”Tapi hasil uji urine kan tidak menjadi bukti dasar di persidangan,” ujar Anjan.
Polda Maluku sendiri enggan mengomentari kasus yang menyeret anggotanya. Kepada Tempo, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Maluku Ajun Komisaris Besar Johanes Huwae menyatakan pihaknya tak bisa menjelaskan kasus yang menyeret tiga anggota polisi Maluku itu. Dia juga menolak menjelaskan kenapa Direktur Reserse Kriminal Jhon Siahaan sampai terbang ke Jakarta memeriksa Aan. ”Dilarang Kepala Polda memberikan komentar tentang kasus itu,” katanya.
Viktor Bungtilu Laiskodat membantah jika dikatakan dia melakukan penganiayaan terhadap Aan. ”Saya tidak ada di lokasi kejadian,” ujarnya. Menurut Viktor, ia tak memiliki motif menganiaya Aan. Aan, kata dia, bukanlah siapa-siapa atau orang dengan jabatan penting. Jika ada masalah semacam itu, ia tak perlu turun tangan. ”Saya tinggal minta direksi rapikan itu,” katanya.
Viktor menduga tuduhan penganiayaan muncul akibat sikapnya melaporkan kepemilikan narkoba dan senjata ilegal David Tjioe. ”Saya yakin ini bukan semata Aan, tapi di belakang itu David,” katanya. Pemeriksaan Aan di Artha Graha, menurut dia, bukan pemeriksaan untuk kepentingan berita acara pemeriksaan, tapi untuk meminta keterangan. ”Aan anggota staf organik yang menempel pada David, karena itu dia dimintai keterangan,” katanya. Menurut Viktor, belakangan dari Aan diketahui senjata ilegal itu dititipkan David kepada perwira di Batalion Kavaleri 7 Panser Khusus Kodam Jaya. Senjata itu, kata dia, kini telah diamankan Polda Maluku.
Viktor membantah jika disebutkan menjebloskan Aan karena Aan orang penting yang memegang banyak rahasia perusahaan. Menurut dia, teori rekayasa itu justru terbalik. ”Jika Aan orang penting, mestinya diamankan,” ujarnya. Sebab, kata dia, kalau berseberangan, jika sakit hati, tentu dia bisa macam-macam.
Viktor sendiri meminta, jika Aan memiliki data penting, sebaiknya dibuka saja. ”Itu pasti tentang manajemen David, bukan hal-hal yang berurusan dengan kami.” David, kata Viktor, sejak dipecat kini menghilang dan tak jelas rimbanya. ”Dia juga telah menggelapkan uang perusahaan Rp 100 miliar,” ujarnya. David kini dikabarkan jika tidak di Singapura atau Hong Kong, kabur ke Cina. ”Selain diburu polisi karena urusan senjata ilegal, ia harus mempertanggungjawabkan keuangan perusahaan,” ujar Viktor.
Ramidi (Jakarta), Mochtar Touwe (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo