Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usia senja seharusnya dinikmati Abdoel Raoef Soehoed dengan ketenangan, bersama keluarga. Tapi hal itu agaknya sulit terjadi pada Menteri Perindustrian (1978-1983) di era Orde Baru ini. Di ulang tahunnya yang ke-90, Selasa, 2 Maret, status tersangka korupsi masih disandangnya. Status itu ditetapkan Kejaksaan Agung sejak Mei 2006.
Kejaksaan menuduh bapak beranak tujuh ini telah menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi. Uang negara itu, menurut Direktur Penyidikan Pidana Khusus Arminsyah, diambil dari premium hasil penjualan aluminium ingot produksi PT Indonesian Asahan Aluminium (Inalum) jatah pemerintah Indonesia, yang dijual di dalam negeri.
Premium itu seharusnya disetorkan ke negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Tapi oleh Soehoed, ”Uang itu justru disetorkan ke perusahaan pribadi,” kata Arminsyah saat ditemui Tempo di ruang kerjanya, Senin pekan lalu.
Perusahaan dimaksud adalah PT Aluminium Development Corporation (Aldevco), yang didirikan pada 29 Februari 1988 oleh Soehoed dan rekannya, Leon Harun Iskandar Sumantri serta Paul Samadiono Samadikun. Ketiganya bersama satu mantan direktur eksekutif, Abdul Razif, ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyalahgunaan premium itu berlangsung sejak 1988 hingga 1998. Menurut Risal Nurul Fitri, bekas jaksa penyidik, total kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 201 miliar. ”Ini hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,” ujar Risal, yang kini menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Blangpidie, Nanggroe Aceh Darussalam.
Soehoed membantah telah menyelewengkan uang negara. Dia juga menampik tudingan bahwa Aldevco milik pribadi. Buktinya ada pernyataan tertulis di hadapan notaris bahwa Aldevco milik negara dan akan dikembalikan ke negara bila diminta kembali.
”Kami sadar, Aldevco milik pemerintah, bukan pribadi,” tutur Soehoed saat menerima Tempo di kantornya, beberapa waktu lalu. Dengan suara pelan dan agak terbata-bata, Soehoed, yang pendengaran dan jantungnya tak lagi sempurna, menuturkan kasus yang menimpanya secara runut.
Modal pendirian Aldevco Rp 500 juta, kata dia, adalah uang pribadi, bukan dari Otorita Asahan ataupun premium penjualan aluminium. ”Lha, untuk dapat premium kan harus ada perusahaannya dulu,” dia melanjutkan.
Kakek yang lupa jumlah cucu dan cicitnya ini menambahkan bahwa pembentukan Aldevco atas perintah lisan mendiang Presiden Soeharto. Tugas Aldevco adalah membangun pabrik untuk mengolah aluminium kadar tinggi dari PT Inalum menjadi alloys, aluminium yang bersenyawa dengan logam lain. ”Perintah itu memang tidak tertulis,” katanya.
Silang sengkarut Aldevco, perusahaan swasta yang ”dimiliki” negara ini, disadari Soehoed, berawal dari sengketa antara Otorita Asahan dan Jepang—sebagai pemegang saham Inalum—soal hak penjualan aluminium jatah Indonesia. Otorita Asahan adalah badan yang dibentuk pemerintah untuk mengawasi pengembangan proyek Asahan—proyek listrik tenaga air dan peleburan aluminium Asahan. Lembaga yang dibentuk Presiden Soeharto pada 1976 ini diketuai Soehoed hingga 25 Maret 1999.
Sebagai pemegang saham 41 persen Inalum, menurut Soehoed, pemerintah berhak atas produksi aluminium sebanyak porsi saham. Lantaran Otorita Asahan sebagai lembaga pengawas tidak boleh berbisnis, dibentuklah Aldevco. Tugas perusahaan ini, selain mengembangkan industri aluminium, adalah memasarkan aluminium jatah Indonesia dari PT Inalum untuk dijual di dalam maupun luar negeri.
Dalam memperdagangkan alumunium ini, Aldevco bekerja sama dengan PT Berdikari. Aldevco menerima 90 persen dari laba penjualan aluminium dan Berdikari 10 persen. Aldevco juga menerima premium langsung dari para pembeli aluminium Inalum di luar negeri. Premium ini langsung masuk ke rekening Aldevco di luar negeri.
Soehoed mengatakan premium sama dengan komisi dari hasil kerja menjualkan aluminium. Sehingga tidak ada kewajiban Aldevco untuk menyetorkannya ke kas negara. ”Premium itu hak Aldevco,” tutur Soehoed.
Dari premium itu, ujar Soehoed, Aldevco membangun PT Asahan Aluminium Alloys (AAA), pabrik pengolah aluminium primer kadar tinggi yang dihasilkan Inalum. Pabrik yang berkongsi dengan Berdikari ini berlokasi di Kuala Tanjung, Asahan, Sumatera Utara, bersebelahan dengan pabrik Inalum. Aldevco juga membangun pabrik alumina di Kalimantan Barat, investasi di hotel, dan simpanan di bank dalam dan luar negeri.
Bisnis aluminium Aldevco terhenti pada 1998 ketika Bisuk Siahaan menggantikan Soehoed sebagai Ketua Otorita Asahan. Bisuk memerintahkan Inalum untuk menghentikan perdagangan aluminium dengan Aldevco. Perintah itu otomatis berdampak pada disetopnya pasokan aluminium ke PT AAA.
”Akibatnya, pabrik itu menganggur sampai sekarang,” tutur Soehoed, yang sejak berdiri hingga kini tetap menjabat Direktur Utama Aldevco. Sejak 1 Maret 2006 dia bahkan merangkap direktur umum dan keuangan. Adapun jajaran komisaris saat ini diisi oleh Sulaiman Said, Ita Gambiro, dan Middyningsih.
Arminsyah menerangkan, secara fakta Aldevco memang perusahaan swasta. Secara materi, Soehoed mengakui Aldevco milik pemerintah. Tapi, anehnya, kata dia, hingga perkara ini naik ke tingkat penyidikan, Soehoed belum juga mengembalikannya.
Menurut Risal, Soehoed beralasan pengembalian itu menunggu pemerintah meminta. Soehoed juga menolak untuk menyerahkan dokumen asli aset-aset Aldevco yang hendak disita kejaksaan. ”Tapi gedung Aldevco sudah kami sita,” katanya.
Pakar hukum perdata Universitas Airlangga, Rudi Prasetyo, menuturkan bahwa dugaan korupsi Soehoed cukup terang-benderang. Premium penjualan aluminium adalah hak pemerintah. Penggelontorannya ke Aldevco bertentangan dengan kewenangan Soehoed sebagai Ketua Otorita Asahan. Kecuali jika Aldevco didirikan sebagai persero—milik pemerintah. ”Kalau mau dimasukkan ke kas swasta, harus ada peraturan pemerintahnya dulu, yang memisahkan uang itu dari kekayaan negara,” paparnya.
Soehoed membenarkan telah menolak menyerahkan Aldevco ke kejaksaan. ”Karena bukan begitu janjinya,” dia berdalih. Menurut dia, perjanjiannya Aldevco dikembalikan ke negara. Dan itu, diakui Soehoed, sudah diusahakannya sejak 1999 ketika dirinya diberhentikan Presiden B.J. Habibie sebagai Ketua Otorita Asahan.
Tapi usaha Soehoed mengembalikan Aldevco selalu membentur tembok. Tak satu pun departemen di lingkup keuangan, perdagangan, dan industri yang menanggapinya. Secercah harapan baru muncul ketika kursi presiden dipegang Susilo Bambang Yudhoyono.
Yudhoyono memerintahkan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menindaklanjuti pengembalian Aldevco. Dalam suratnya tanggal 7 April 2009, Menteri Koordinator Perekonomian sebagai Ketua Badan Pembina Proyek Asahan memberikan persetujuan penyerahan Aldevco beserta seluruh asetnya kepada negara setelah menerima hasil audit BPKP periode Februari 1988 hingga 31 Desember 2007.
Dari hasil audit itu diketahui Aldevco memiliki aset yang tercatat Rp 18,8 miliar, aset yang tidak tercatat Rp 184,5 miliar, serta kewajiban Rp 2,5 miliar. ”Negara tidak mendapat beban kewajiban apa pun (aset lebih besar dari kewajiban),” demikian tulis Sri Mulyani.
Bereskah masalahnya? ”Belum,” kata Soehoed. Ia mempertanyakan status tersangkanya di kejaksaan. ”Bagaimana saya menyerahkan Aldevco kalau saya tetap tersangka?” ujarnya.
Arminsyah mengatakan penyidikan perkara Aldevco ini belum tuntas. Kejaksaan menunggu dulu hasil pembahasan di Kementerian Keuangan. Kejaksaan juga mempertimbangkan faktor usia Soehoed. Tapi, kata dia, Soehoed tidak bisa menunggu status tersangkanya dicabut dulu baru aset dikembalikan.
Anne L. Handayani, Erwin Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo