WANITA kumal yang selalu menggendong bocah itu bernama Habibah. Sudah hampir dua bulan, penduduk Desa Keude Sungai Raya, Kecamatan Rantau Selamat, Aceh Timur itu hidup luntang-lantung. Sejak kios dan rumahnya kena gusur, ia praktis menjadi gelandangan. Kerjanya hanya hilir mudik dari rumah ke rumah, kedai ke kedai, meminta sesuap nasi atau menumpang tidur. Kejadian yang mengubah nasib Habibah itu bermula pada 21 Agustus silam. Matahari waktu itu baru terbit. Habi bah, 41 tahun, sedang menata tandan-tandan pisang dagangannya, di kios miliknya di Pasar Keude Sungai Raya. Tiba-tiba serombongan tim ketertiban Kecamatan Rantau Selamat datang menyerbu. Serentak kios Habibah, yang memberinya penghasilan Rp 1.000 per hari, roboh berantakan. Habibah meronta dan meraung sambil memaki maki petugas. Tapi, "Seorang petugas tiba-tiba memukul saya," kata Habibah. Diperlakukan kasar, Habibah nekat melawan tim ketertiban yang terdiri dari pemuda, aparat kecamatan, dan anggota Koramil Rantau Selamat. Dalam penuturan Habibah, akibat perlawanan itu, ia dihajar hingga terjerembab di tanah. Selanjutnya, tangan dan kakinya diikat dengan tali nilon dan ia digotong ke rumah gubuknya, 50 meter dari kiosnya. Habibah meronta serta menangis keras, dan tetangga berdatangan. Disaksikan banyak warga, Habibah -- dalam keadaan terikat tangan -- dibawa ke puskesmas 300 meter dari gubuknya. "Seorang wanita berpakaian putih menyuntik pantat saya," ceritanya. Dari puskesmas itu Habibah -- disertai tiga anak dan Daud suaminya -- dipaksa naik bus yang kemudian membawanya ke Desa Laga Baro, Geudong, Aceh Utara, tempat ia berasal. Perjuangan Habibah patah. Ia tertidur pulas, dan tahu-tahu sudah sampai ke tanah kelahirannya yang ditinggalkannya tujuh tahun lalu. Ia merasa seperti baru siuman dari pengaruh bius yang dis untikkan. Tapi habibah tak menyerah. Di desa asalnya itu ia bertahan beberapa jam saja. Dengan alasan ingin minta keadilan, wanita buta huruf tersebut malam itu juga kembali naik bus menuju ke Keude Sungai Raya. Suami dan dua anaknya ditinggal. Sedangkan Nurbaiti, anak bung sunya yang masih berusia 17 bulan, dibawanya serta. Di desa itu ia terpaksa tinggal di meunasah (balai desa) atau di langgar-langgar, karena rumah gubuknya sudah dirobohkan. Soalnya, Camat Rantau Selamat dan Bupati Aceh Timur yang dimintai tolong untuk mengembalikan kiosnya tak mau menggubris. "Sudah 12 kali saya datang ke kantor bupati, tapi Pak Bupati tak mau menjumpai saya," ujar Habibah kesal. Atas saran seseorang, akhir September lalu, ia mengadu ke DPRD Aceh Timur. "Kasus ini sangat memprihatinkan. Sementara banyak orang ngomong hak asasi sampai ke mana-mana, di sini hak asasi malah dikangkangi," komentar Nur Ritonga, Ketua Fraksi PDI yang menerima pengaduan Habibah. Ia berjanji akan membantu memecahkan persoalan ini. Sementara itu, Camat Rantau Selamat Said Ali menolak disebut bertanggung jawab atas penggusuran itu. "Penggusuran itu adalah hasil kesepakatan warga, dan pemilik kios juga sudah setuju pindah lokasi," katanya. Kios-kios itu digusur karena lokasinya sangat dekat dengan jalan utama Medan-Banda Aceh, dan dekat masjid. "Kalau tak digusur, bisa mengganggu lalu lintas dan keindahan masjid," ujar Said. Said membantah pembongkaran kios-kios itu dilakukan secara paksa. Apalagi sampai memakai suntik bius segala. "Dia hanya disuntik antibiotik, karena tangan nya lecet sewaktu meronta melawan petugas," kata Said. Namun, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Aceh, Burhanuddin Yusuf, seperti dikutip Harian Serambi Indonesia, mengakui bahwa anak buahnya telah menyuntik Habibah dengan obat penenang. "Tujuannya agar wanita itu tenang, karena sebelumnya sempat ngamuk bahkan memukul petugas," katanya. Kisah penggusuran itu kini menjadi pergunjingan di Aceh Timur. "Haruskah Habibah dikorbankan demi modernisasi?" orang bertanya. "Dan dengan cara yang sangat tak manusiawi pula?" Aries Margono dan Munawar Chalil (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini