Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT memandikan jenazah Afif Maulana, 13 tahun, pada Senin sore, 10 Juni 2024, Afrinaldi kaget. Ia melihat banyak luka lebam di tubuh anak sulungnya itu. Ada bekas lebam di punggung, pinggang, hingga tangan di sekujur badannya. “Di perutnya juga ada bekas luka mirip sepatu besar,” kata pria 36 tahun itu kepada Tempo, Senin, 24 Juni 2024. Jejak luka lebam itu juga terlihat dari sejumlah foto jasad Afif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Afrinaldi dan keluarganya berdomisili di Kelurahan Cengkeh Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat. Afif ditemukan mengambang di bawah Jembatan Kuranji, Jalan Bypass, Padang, pada Ahad, 9 Juni 2024, sekitar pukul 11.00 WIB. Sejak pagi, Afrinaldi berupaya menghubungi nomor telepon seluler Afif, tapi selalu gagal. Afrinaldi dan keluarganya merasa syok mendengar kabar kematian Afif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya Afrinaldi mendapatkan informasi dari personel Kepolisian Sektor Kuranji bahwa anaknya meninggal karena terlibat tawuran, bukan disebabkan oleh penganiayaan polisi. Bapak dua anak itu bersama istrinya, Anggun Anggraeni, lantas berangkat ke Rumah Sakit Bhayangkara Padang untuk melihat jenazah Afif.
Dari sini kejanggalan dimulai. Mereka tidak diizinkan melihat jasad Afif hingga Senin, 10 Juni 2024, pada pukul 15.00, bahkan setelah jenazahnya diautopsi. Keluarga baru melihat jasad Afif setelah dipulangkan dari rumah sakit lalu dimandikan pihak keluarga. Ia dikuburkan pada hari itu juga. Afrinaldi memang menerima surat kematian. Tapi tak ada penjelasan penyebab kematian Afif. Pihak rumah sakit hanya menyebut Afif meninggal secara tidak wajar. Keluarga juga tak menerima hasil autopsi.
Karena merasa ada kejanggalan dalam kematian anaknya, Afrinaldi membuat laporan ke Kepolisian Resor Kota Padang setelah jenazah Afif dimakamkan pada Senin malam. Saat itu salah seorang personel Polresta Padang mengatakan kepada Afrinaldi bahwa Afif meninggal karena enam tulang rusuknya patah. Luka itu diklaim terjadi akibat tawuran. “Katanya sampai merobek paru-paru,” ucap Afrinaldi menirukan penjelasan polisi tersebut.
Salah satu keluarga melihat lokasi ditemukannya jasad AM, 13 tahun, di bawah Jembatan Kuranji, Padang, 9 Juni 2024. Tempo/Fachri Hamzah
Afrinaldi masih ragu terhadap keterangan itu. Ia bersama keluarganya lantas mendatangi Lembaga Bantuan Hukum Padang untuk berkonsultasi pada Rabu siang, 12 Juni 2024. Kepada Afrinaldi, tim LBH Padang meminta saksi dihadirkan untuk memastikan kebenaran ihwal peristiwa yang dialami Afif. Keluarga Afif menghadirkan remaja berinisial A, 17 tahun. Dia mengaku bersama Afif pada Ahad dinihari itu sekaligus menjadi orang terakhir yang melihat Afif masih hidup.
Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan saat itu A menandatangani kesediaannya untuk bersaksi. Kepada Indira, A mengatakan sedang memboncengkan Afif dengan sepeda motor pada Ahad tersebut sekitar pukul 04.00 WIB. Saat melintas di Jembatan Kuranji, keduanya bersirobok dengan personel Samapta Bhayangkara Kepolisian Daerah Sumatera Barat yang sedang berpatroli.
Sejak Sabtu malam, polisi memang tengah berpatroli di sejumlah tempat untuk mencegah tawuran antar-kelompok pemuda. Kedua personel Samapta itu memepet sepeda motor A, lalu menendangnya. Afif terpental ke pinggir jalan. “AM terlempar sekitar 2 meter,” tutur Indira menirukan kesaksian A.
A kemudian ditangkap dan dibawa ke Kepolisian Sektor Kuranji yang jaraknya sekitar 500 meter dari jembatan. Saat itu, masih menurut keterangan A kepada LBH Padang, A melihat Afif sempat berdiri dan dikelilingi oleh beberapa polisi yang memegangi rotan. Saat itulah A terakhir kali melihat Afif.
Selain A, ada belasan orang yang ditangkap pada malam itu. Mereka yang ditangkap pada malam itu langsung diinterogasi. Para polisi diduga turut menganiaya mereka. A mengaku wajahnya ditendang dua kali. Ia juga disetrum dan diancam. Kemudian mereka diboyong ke kantor Polda Sumatera Barat. Di sana mereka juga disiksa, dari disuruh berjalan jongkok hingga berguling-guling sampai muntah. “Hingga Ahad pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, barulah mereka dibolehkan pulang setelah berjanji tidak melakukan kesalahan lagi,” kata Indira.
Penelusuran LBH Padang mengungkapkan bahwa A dan belasan orang lain yang ditangkap dituduh hendak melakukan tawuran. Ada lima anak dan dua remaja berusia 18 tahun yang diduga disiksa polisi pada malam itu. Mereka dicambuk, disetrum, dipukul dengan rotan, ditendang, dan disundut dengan rokok. “Bahkan ada keterangan yang menyebutkan mereka dipaksa berciuman sesama jenis,” ucap Indira. Tapi Afif tak ada di antara orang-orang yang ditangkap itu.
Lima hari setelah A bersaksi di LBH Padang atau pada Senin, 17 Juni 2024, Polresta Padang turut memeriksanya. Sejak saat itu, A tidak bisa lagi dihubungi. Tim LBH juga sudah mendatangi rumah keluarga A di Kecamatan Lubuk Begalung, tapi A tetap tidak bisa ditemui. A diduga mengubah kesaksiannya setelah diperiksa polisi. “Keterangan A berbeda setelah dari Polresta Padang,” ujar Indira.
Tempo berupaya mewawancarai orang tua A dengan mendatangi rumah mereka di Padang. Surat permohonan wawancara juga sudah dititipkan ke rumah tersebut. Tapi hingga Jumat, 28 Juni 2024, surat yang dikirimkan tersebut tak kunjung direspons.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Padang Ajun Komisaris Besar Rully Indra Wijayanto menuturkan, setelah penyelidikan dilakukan, Afif diduga masuk ke rombongan konvoi yang ditengarai hendak melakukan tawuran. Rombongan tersebut melintas di Jembatan Kuranji sambil membawa berbagai jenis senjata tajam. Ia menjelaskan, polisi menangkap 18 orang, satu di antaranya masih ditahan, sementara yang lainnya sudah dipulangkan.
Rully memastikan, dari 18 orang yang ditangkap, polisi tidak menemukan nama Afif. Kepada polisi, A bersaksi bahwa Afif mengajaknya melompat ke bawah Jembatan Kuranji agar tidak ditangkap polisi. “Ajakan tersebut ditolak, lalu A memilih menyerahkan diri,” kata Rully. Jembatan Kuranji membentang sepanjang 100 meter dan ketinggiannya sekitar 14 meter dari permukaan sungai yang berbatu.
Polisi masih berkukuh tak menganiaya Afif. Namun Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono mengakui anak buahnya menyiksa pelaku lain yang ditahan pada malam itu. Ia menduga ada polisi yang melanggar prosedur. “Kami memang menemukan bukti penyiksaan oleh anggota,” ucap Suharyono. Ada 17 personel yang akan menjalani sidang etik. Suharyono memastikan pelanggaran itu tak berkaitan dengan kematian Afif.
LBH Padang lantas mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Selasa, 25 Juni 2024. Komnas HAM langsung mengumpulkan barang bukti dan melakukan pemeriksaan. Komisioner Bidang Pengaduan Komnas HAM, Hari Kurniawan, mengatakan, berdasarkan keterangan delapan korban yang diwawancarai, mereka mengaku disiksa. “Dari hasil visum kami menduga ada kekerasan,” ujar Hari.
Tim LBH Padang juga mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk para korban dan keluarga korban. Wakil Ketua LPSK Susilaningtias menuturkan, pihaknya akan meninjau permohonan yang diajukan. “LPSK akan melakukan asesmen terhadap permohonan itu,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fachri Hamzah dari Padang, M. Faiz Zaki, dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Luka Lebam Bercap Sepatu"