Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dampak Pembubaran Kabinet Perang Benjamin Netanyahu

Benjamin Netanyahu membubarkan kabinet perang, pengendali operasi militer di Gaza. Perlawanan oposisi makin besar.

30 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN warga Israel berunjuk rasa di depan kediaman Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Yerusalem dan dekat rumahnya di Kota Kaisarea untuk menuntut kesepakatan pertukaran sandera dengan Hamas pada Kamis, 27 Juni 2024. Pada hari yang sama, demonstran memblokade dua jalan raya utama—salah satunya menghubungkan Tel Aviv dengan Haifa—untuk menuntut pembubaran pemerintahan dan pemilihan umum dipercepat. Mereka mengibarkan spanduk besar bertulisan “Berapa banyak lagi darah yang akan tertumpah sampai kamu (Netanyahu) mundur?”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan pengunjuk rasa yang berafiliasi dengan kelompok Perubahan Arah juga mengurung diri di dalam kantor Histadrut, organisasi buruh terbesar Israel, di Tel Aviv pada Senin, 24 Juni 2024. Mereka menuntut Netanyahu segera membubarkan pemerintahan dan mengumumkan tanggal pemilihan umum. Pada hari yang sama, pengunjuk rasa memblokade jalan dekat persimpangan Gillot, Tel Aviv.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Para sandera diabaikan di Gaza, wilayah utara sedang terpuruk, dan perang lain terancam akan pecah. Pemerintah mengabaikan nyawa kita semua,” ucap para demonstran, seperti dikutip The Jerusalem Post. “Ini adalah situasi darurat. Jelas bahwa Netanyahu tidak cocok dan tidak layak.”

Unjuk rasa kini terjadi hampir setiap hari dengan tuntutan serupa: Netanyahu mundur dari pemerintahan dan pemilihan umum dipercepat. Hal ini terjadi setelah Netanyahu membubarkan kabinet perang, menyusul mundurnya Benny Gantz, bekas Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel dan pemimpin koalisi partai oposisi Persatuan Nasional, dan Gadi Eisenkot, anggota koalisi Gantz, pada 9 Juni 2024. Bubarnya kabinet ini dapat mengubah arah komando perang Negeri Yahudi dalam operasi militer di Gaza dan kini menghadapi serangan Hizbullah dari Libanon selatan.

Kabinet perang Netanyahu, menurut Ibnu Burdah, guru besar kajian dunia Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sebenarnya wujud taktis dari pemerintah persatuan, yang menyatukan pemerintah dan oposisi. “Kabinet perang itu semacam cermin koalisi baru,” katanya kepada Tempo, Ahad, 23 Juni 2024.

Netanyahu berkuasa setelah partainya, Likud, menang dalam pemilihan umum parlemen pada November 2022 dengan meraih 32 dari total 120 kursi parlemen. Dia menjadi perdana menteri dengan membentuk koalisi bersama beberapa partai politik kanan dan partai berbasis agama Yahudi.

Namun serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 mengubah keadaan. “Serangan itu menimbulkan sentimen baru mengenai kesamaan, yang menggerakkan politikus untuk menyatukan semua elemen, termasuk oposisi, merapat ke pemerintah,” ujar Ibnu.

Netanyahu lantas membentuk kabinet perang yang beranggotakan Menteri Pertahanan dari Likud, Yoav Gallant; Benny Gantz; Gadi Eisenkot; Menteri Urusan Strategis Ron Dermer; dan Aryeh Deri dari Shas, partai Yahudi ultra-ortodoks. Segala keputusan strategis mengenai perang di Gaza keluar dari kabinet ini. Sebagai bagian dari kesepakatan pembentukan kabinet darurat ini, Netanyahu dan Gantz setuju menangguhkan semua legislasi yang bukan perang dan tidak darurat, termasuk perombakan undang-undang yudisial.

Dalam perkembangannya, Gantz dan Netanyahu berselisih paham mengenai arah perang di Gaza. “Bagi Gantz, Netanyahu dianggap terlalu politis, tidak taktis, tidak strategis, dan tidak murni bertindak untuk kepentingan bangsa. Dia menilai Netanyahu mengedepankan kepentingan pribadi,” tutur Ibnu. “Terutama, isu yang keluar, menurut Gantz, skenario pascaperang tidak jelas. Misalnya siapa yang akan memerintah Gaza dan apakah Hamas akan diberi tempat nanti.”

Gantz menginginkan tentara Israel mengendalikan Gaza dan Gaza akan dikelola oleh pemerintahan sipil baru tanpa melibatkan Hamas. Namun Netanyahu tidak pernah membabarkan rencana pascaperang versinya. Gantz memberikan tenggat 8 Juni 2024 kepada Netanyahu untuk menjelaskan rencananya, tapi tenggat terlewat dan Netanyahu tetap membisu. “Netanyahu menghalangi kita mencapai kemenangan nyata di Gaza,” kata Gantz saat mengundurkan diri dari kabinet perang.

Ibnu menerangkan, Netanyahu memang sengaja mengulur-ulur waktu. “Netanyahu sepertinya sengaja mendiamkan masalah itu, tidak segera diputuskan, karena pada dasarnya dia menginginkan perang tetap berlanjut,” ucapnya.

Netanyahu mengaku telah mempertimbangkan negosiasi yang sedang berlangsung dengan Hamas untuk mengakhiri perang. Dia menyatakan siap membuat “kesepakatan parsial” dengan Hamas untuk mengembalikan beberapa sandera yang masih ditawan di Gaza, tapi menegaskan kembali pendiriannya bahwa perang akan terus berlanjut setelah diberlakukannya gencatan senjata “untuk mencapai tujuan melenyapkan” Hamas. “Saya belum siap menyerah,” kata Netanyahu kepada Channel 14 Television, media Israel, wawancara pertamanya sejak perang di Gaza pecah.

Gantz kini mendesak Netanyahu segera menggelar pemilihan umum. “Saya menyerukan kepada Netanyahu: tetapkan tanggal pemilihan umum yang disepakati. Jangan biarkan rakyat kami terkoyak,” ujarnya. Gantz menyerukan hal ini sejak April 2024. “Masyarakat Israel perlu memperbarui kontraknya dengan para pemimpinnya.”

Dengan bubarnya kabinet perang, kini Netanyahu dapat leluasa mengambil keputusan strategis. Tak ada lagi orang seperti Gantz yang selalu berbeda pendapat dengannya. “Netanyahu ingin mengambil untung dari situasi krisis ini dengan cara memegang sepenuhnya jalannya perang. Ini kan kembali ke situasi normal, ketika tidak ada kabinet perang yang bisa taktis. Netanyahu hanya perlu sedikit berkonsultasi dengan bawahannya, berkonsultasi dengan orang-orang yang dia sukai,” tutur Ibnu.

Situasi perang ini menguntungkan Netanyahu, yang sebenarnya sedang berhadapan dengan beberapa kasus hukum. Di antaranya dakwaan telah menerima gratifikasi dari jutawan Arnon Milchan. Dia juga didakwa menerima suap dari Arnon Mozes, pemilik Yedioth Ahronoth, dengan membuat aturan yang menguntungkan bisnis media Mozes dan, sebagai imbalannya, Yedioth Ahronoth akan menampilkan citra keluarga Netanyahu yang baik. Dia juga dituduh mendorong legislasi yang menguntungkan bisnis Shaul Elovitch, pemilik perusahaan telekomunikasi Bezeq.

Netanyahu bisa selamat karena posisinya sebagai perdana menteri yang memiliki kekebalan dari tuntutan pidana. “Dia akan lebih mungkin menjadi perdana menteri dalam keadaan perang daripada tidak ada perang. Makanya Netanyahu mendorong perang ini berkepanjangan,” ujar Ibnu.

Meskipun demikian, Netanyahu kini menghadapi banyak tekanan. Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), mendesaknya segera menghentikan perang. Di dalam negeri, dia juga ditekan oleh Gantz dan politikus oposisi lain.

Keadaan makin runyam setelah Mahkamah Agung menetapkan bahwa siswa seminari Yahudi ultra-ortodoks harus ikut wajib militer. Dua partai Yahudi, Shas dan Yudaisme Torah Bersatu, menentang putusan ini karena menganggap pengecualian wajib militer itu sebagai kunci untuk menjaga konstituen siswa Yahudi tetap berada di seminari.

Bila Netanyahu menjalankan putusan Mahkamah Agung, dua partai yang menjadi bagian dari koalisinya itu kemungkinan besar akan keluar dari koalisi. Hal ini bisa berujung pembubaran pemerintahan karena kedua partai menguasai 18 kursi di parlemen. Namun, “Mereka sudah berulang kali mengancam keluar, jadi sangat biasa. Tapi faktanya mereka tidak pernah keluar,” kata Ibnu.

Ibnu menyoroti tekanan yang lebih menentukan terhadap masa depan pemerintahan Netanyahu justru berasal dari berbagai demonstrasi yang belakangan ini terjadi dan menuntut Netanyahu mundur. “Tantangan barunya adalah tekanan publik, demonstrasi di jalanan. Apakah Netanyahu kuat atau tidak, itu akan menentukan,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Selepas Kabinet Perang Bubar"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus