Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tiga polisi yang mendapat hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) akibat melakukan pemerasan terhadap penonton pergelaran musik Djakarta Warehouse Project 2024 atau DWP 2024 mengajukan banding. Ketiganya berasal dari Direktorat Resers Narkoba Polda Metro Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga polisi tersebut adalah Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak; Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, AKP Yudhy Triananta Syaeful; dan Kasubdit III Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, AKBP Malvino Edward Yusticia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan ketiganya menyatakan banding atas sanksi yang diberikan Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Trunoyudo menyatakan pihaknya akan memproses banding tersebut karena merupakan hak mereka.
“Atas putusan tersebut pelanggar menyatakan banding,” kata Trunoyudo seusai sidang kode etik di Gedung TNCC Mabes Polri, Kamis, 2 Januari 2025.
Karowabprof Divpropam Polri, Brigadir Jenderal Agus Wijayanto, menjelaskan hak untuk melakukan banding diajukan setelah tiga hari putusan sidang. Memori banding nantinya diajukan oleh pelanggar ke komisi banding untuk dipelajari.
“Dari mempelajari isi materi banding, kemudian akan diputuskan di sidang banding. Sidang banding tidak dihadiri oleh pelanggar, hanya oleh komisi banding,” ucap Agus didampingi Trunoyudo.
Agus belum bisa menduga-duga apakah materi banding yang diajukan oleh para pelanggar akan meringankan mereka. Dia menyebut kalau banding itu aan mempelajari memori dari pelanggar yang akan diajukan untuk diputuskan ulang.
“Apakah ada yang meringankan di banding? Dalam Perpol 7 Tahun 2022 ini memang hak terduga pelanggar diputus sidang kode etik profesi Polri haknya bisa banding,” kata Agus.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengapresiasi tindakan tegas yang dilakukan oleh Polri terhadap pelaku pelanggaran. Komisioner Kompolnas Choirul Anam menyebut bahwa lembaganya selaku pengawas eksternal kepolisian dilibatkan dalam proses sidang kasus ini.
“Kami mengapresiasi kepolisian yang melibatkan Kompolnas dalam kasus ini,” kata Komisioner Kompolnas Choirul Anam saat ditemui di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Anam menyebut sidang kode etik ini masih terus berlanjut untuk semua terduga pelaku pemerasan penonton DWP 2024. Hal ini juga dibarengi dengan pemeriksaan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan atau Propam Polri terkait keterlibatan para terduga pelaku dalam kasus pemerasan ini.
“Ditelusuri dari segi perencanaan, bagaimana itu bisa terselenggara, siapa yang menggerakkan, siapa memerintahkan. Penting untuk mengurainya supaya masalah ini terang benderang dan tidak boleh terjadi lagi,” ucap Anam.
Dalam kasus pemerasan ini, polisi mencatat ada 45 korban warga negara asing asal Malaysia. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Abdul Karim sebelumnya mengatakan telah menyita barang bukti Rp 2,5 miliar. Pemerasan ini terjadi saat festival musik DWP digelar di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat pada 13-15 Desember 2024 lalu.
Kasus ini mencuat setelah sejumlah korban bercerita di media sosial soal pemerasan yang dialami dengan modus razia narkoba. Mereka mengaku dipaksa menyerahkan sejumlah uang karena polisi mengancam akan menahan mereka.
Abdul menyebut terdapat 18 anggota Polri yang terdiri dari personel Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran terbukti melanggar kode etik. Mereka diduga melakukan pemerasan pada terhadap 45 penonton warga negara Malaysia saat hendak menghadiri konser musik DWP di Indonesia.
Para polisi yang bertugas di reserse narkoba itu melakukan tes urine secara acak kepada penonton DWP 2024. Mereka kemudian mengancam akan menahan orang tersebut apabila tidak membayar uang tebusan. Baik yang hasilnya positif mengkonsumsi narkoba ataupun tidak. Menurut Abdul Karim, nominal uang tebusan tersebut berbeda-beda .
"Total ada 45 warga negara Malaysia yang menjadi korban pemerasan dengan nilai barang bukti yang diamankan Rp 2,5 miliar," ucapnya di Gedung Mabes Polri, Selasa, 24 Desember 2024.